Anak miskin tidak berhak bersekolah?


Mereka sangat senang memperdebatkan betapa tidak adilnya pengecualian bagi anak-anak miskin untuk bersekolah, bahwa hukum mensyaratkan agar anak-anak bersekolah untuk melindunginya dari bekerja di usia dini, dan merumuskan bagaimana penddikan seharusnya diorganisasi untuk memfasilitasi semua ras, golongan dan status dalam menikmati pendidikan. Namun, adakah hal-hal tersebut benar-benar telah kita lihat-dengar-rasa telah diejawantahkan sekarang ini?
Saya tidak akan bilang siapa mereka itu, bahwa kemungkinan saya juga tidak tahu siapa sesungguhnya mereka atau bahkan mungkin saya telah menjadi bagian dari mereka. Satu hal yang saya tahu dan jadikan prinsip bahwa pendidikan harus tetap merupakan layanan publik gratis dalam era perdagangan layanan pendidikan untuk mengumpulkan keuntungan yang melebihi bantuan internasional di bidang pendidikan itu sendiri. Kalimat ini saya temukan dalam sebuah buku yang bagi sebagian, tidaklah semenarik novel, buku investasi, hobi, trilogi bahkan tetralogi yang sedang tenar belakangan ini.
Memang permasalahan hak atas pendidikan masih merupakan mandat yang harus disikapi diantara hak ekonomi, sosial dan budaya yang “masih juga” termarginalkan dalam agenda global. Premisnya sederhana, bukankah seharusnya biaya pendidikan dapat ditekan kalau perlu sampai ke titik nol. Namun hal ini seakan menjadi pengabaian massal, bahwa yang diutamakan secara makro adalah menjaga ekonomi cenderung stabil dan mencuri momen untuk bergerak ke arah maju, secara mikro lebih mencekam, kekhawatiran terhadap kebutuhan pokok telah mengalahkan segalanya. Mengabaikan anak-anak usia sekolah untuk menjaga diri sendiri, mendorong mereka terjerumus dalam dunia perburuhan hingga kejahatan. Hal ini terbentuk ketika hak atas pendidikan yang berperan sebagai dasar bagi pemenuhan hak-hak asasi lain, disangkal dan dilanggar. Kemudian kesimpulan yang diambil justru lebih membuat “tragis” dunia pendidikan, salah siapa miskin?. Memang terdapat konsensus penuh bahwa pemerintah harus menyediakan sekolah bagi setiap anak, konsensus parsial yang memberikan hak atas pilihan pendidikan anak kepada orangtua masing-masing. Permasalahannya dapatkah kita tagih realisasi dari pernyataan tersebut? kepada siapa mengalamatkan keluh kesahnya? dan banyak lagi pertanyaan yang tidak terjawab lainnya
Negara-negara di seluruh dunia pun gamang menentukan standar pendidikan, bahkan budaya pendidikan masing-masing. Segala standar diambil dari contoh-contoh negara maju, tanpa memperhatikan aspek kecocokan pendidikan di negara mereka dipaksa menjadi tikus percobaan, dan jika “sekali lagi” menghasilkan kegagalan mereka akan “sekali lagi” menentukan patokan baru lainnya. Katarina Tomasevski justru memperlihatkan realitas lain dari perkembangan pendidikan yang lebih mendasar.
Di dalam komunitas internasional, satu pihak mendukung penyerahan pendidikan ke dalam pasar bebas, yang lain berargumentasi pendidikan harus dimonopoli oleh pendanaan pemerintah dari pembayaran pajak. Di satu negara anak perempuan dikeluarkan sekolah karena berkerudung, sebaliknya di negara lain anak perempuan dilarang masuk jika tidak mengenakan kerudung. Sebagian memiliki akses internet, yang lainnya menyelesaikan sekolah tanpa melihat satu buku pun dalam bahasa yang mereka pahami. Beberapa murid dipaksa menghafal dogma yang resmi berlaku disertai hukuman fisik jika mereka gagal melakukannya. Penjelasan yang memungkinkan seorang dari planet Mars memahami kompleksitas dan ragam pendidikan dalam dunia dewasa ini belum juga ditemukan.
Persoalan mengenai bagaimana pendidikan seharusnya dijalankan, norma-norma baku dibuat dan ditentukan, serta kendala-kendala yang mungkin terjadi hanya menjadi konsumsi orang dewasa tanpa melibatkan pikiran dan asumsi-asumsi murid itu sendiri. Bahwa para murid ini adalah “target terkunci” dari tujuan penyusun kebijakan dan bukannya mengajak mereka untuk menentukan target bersama. Pendekatan berdasarkan dalil ini seharusnya tidak lagi terjadi pada praktek pengembangan pendidikan, utamanya di negara berkembang maupun tertinggal. Dan pemerintahan memegang peran yang menakutkan, sebagai pelindung dan utama sekaligus pelanggar utama hak asasi manusia (sebagaimana Janus).
Alasan yang paling sering digunakan untuk menepis realita kurangnya kesempatan anak  bersekolah adalah ketidakmampuan pemerintah mereka untuk membiayainya. Oleh karena itu, atas dasar pembenaran tersebut, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan ke dalam sekaligus mengirimkan proposal bantuan ke luar sebanyak mungkin untuk menjaring dana. Hasilnya? sekian persen untuk menjaga stabilitas ekonomi, sekian persen untuk mengurangi ratio utang terhadap PDB, sekian persen subsidi, baru sisanya diluncurkan sesuai maksud (tentunya dipotong biaya birokrasi dan mungkin juga korupsi). Konsekuensi penyelewengan sumber-sumber daya dari maksud sebenarnya ditambah sektor pelayanan publik yang kritis, menjadikan pendidikan dalam kondisi disfungsi yang akut.  Banyak sekolah, terutama dari institusi dasar dan lanjutan, harus meminta berbagai biaya dan pajak kepada murid sebagai akibat langsung pendanaan yang tidak mencukupi, padalah mereka telah mendapat skema bantuan operasional. Bahwa sebenarnya anak-anak menderita kerugian ganda akibat korupsi. Pertama, mereka kehilangan berbagai pengembangan dan kemajuan karena uang yang harusnya untuk keperluan sekolah-sekolah telah dicuri. Kedua, akibat kerugian pertama mereka harus membayar kembali kepada sekolah-sekolah untuk kepentingan pengembangan dan kemajuan diri mereka. Dan puncaknya negara-negara harus menghadapi ketidakpercayaan dari negara maupun lembaga donor. Daalm hal ini negara maupun lembaga donor tersebut tidaklah bersalah. Ingat, lembaga donor tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan uang mereka. Tekanan kepada mereka untuk mengeluarkan uang bahkan lebih besar dari tekanan kepada penerima untuk mengumpulkan uang tersebut. bagaimana mulanya bisa terjadi? Dana yang dialokasikan untuk kebutuhan pendidikan mungkin banyak yang terhisap oleh birokrasinya sendiri. Bahwa pendapatan pajak atau bantuan disalurkan pemerintah kepada pegawainya sendiri. Kontrol politik yang sangat tinggi terhadap pelayanan sipil banyak dilakukan oleh pemerintah dan sering menjangkau hingga kepada para guru. Lingkaran setan ini mustahil diuraikan, akibatnya anak-anak tidak bisa lagi ke sekolah karena dialog donor dan penerima menemui jalan buntu.
Investasi untuk pendidikan secara historis dibebankan kepada negara karena investasi semacam ini memberikan hasil setelah waktu yang lama dan hanya jika dikombinasikan dengan aset-aset lainnya. Hal ini memberikan pengaruh pada sejarah wajib belajar, selama anggaran masih memungkinkan wajib belajar masih akan dilanjutkan. Namun menjadi pertanyaan, bagaimana jika anggaran tidak lagi mencukupi  akankah masih diteruskan wajib belajar atau jika anggaran bisa ditingkatkan akankah wajib belajar diperpanjang periodenya?
Pemikiran bahwa pendidikan gratis dan belajar wajib adalah berkaitan, bahwa pendidikan seharusnya dibuat gratis sehingga bisa menjadi wajib, telah hilang. Bahkan para orangtua semakin dibebani biaya-biaya tak langsung pendidikan yang semakin naik pula (seperti transportasi, makanan di sekolah, dll) dan mungkin berada di luar jangkauan mereka lagi. Anehnya, lagi-lagi yang disalahkan adalah kemiskinan, bukannya kebijakan pilihan pemerintah yang seringkali tidak konsisten yang menghambat kemajuan anak. Hal ini diperparah dengan semakin banyaknya kesempatan yang ditawarkan sektor swasta untuk mempekerjakan anak-anak tersebut dengan imbalan dan skema “Belajar Sambil Dibayar”.
Tanpa pendidikan, orang terhalang untuk mendapatkan akses ke pekerjaan. Pendidikan yang rendah justru merugikan karir mereka. Pendapatan yang rendah, mempengaruhi hari tua. Menangani ketidakseimbangan dalam kesempatan hidup tanpa menyadari dan mengakui atas hak-hak pendidikan adalah tidak mungkin. Oelh karena itu sejumlah besar masalah tidak dapat diselesaikan kecuali bila hak atas pendidikan ditangani dengan serius sebagai kunci jalan keluar bersama. Dari sudut pandang hak asasi manusia pendidikan adalah tujuan itu sendiri terpisah dari pandangan bahwa pendidikan itulah sarana mencapai tujuan. Pendidikan harusnya mendidik anak muda bahwa semua manusia memiliki hak-hak. Hal ini mendukung ketetapan akan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diantaranya:
1.    Semua orang memiliki hak atas pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidaknya untuk tahap dasar fundamental. Pendidikan dasar adalah wajib. Pendidikan teknis dan professional harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus dapat dicapai oleh siapapun berdasarkan kecakapan;
2.    Pendidikan akan diarahkan menuju perkembangan penuh kepribadian manusia dan memperkuat penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Pendidikan akan mempromosikan saling pengertian, toleransi dan persahabatan antar bangsa, kelompok rasa tau agama dan akan mendorong kegiatan-kegiatan PBB dalam mempertahankan perdamaian;
3.    Orangtua meiliki hak untuk memilih jenis pendidikan yang akan diberikan pada anak-anak mereka.
Perlu diingat, intisari muatan pendidikan adalah mengenai ketersediaan,akses untuk semua anak, dapat diterima serta kemampuan beradaptasi dengan para anak, mengikuti ukuran kepentingan setiap anak. Atas dasar hal tersebut, menjadi kewajiban pemerintah untuk benar-benar menyediakan dan terjaminnya pelaksanaan pendidikan di seluruh negara. Memang kewajiban ini menuntut kebutuhan investasi yang banyak. Disejajarkan dengan kebutuhan di bidang lain, hal ini menuntut kejelian pemerintah untuk memastikan akses atas pendidikan tidak terabaikan sejalan dengan pengembangan pendidikan itu sendiri. Mereka dengan akses yang kecil terhadap pendidikan biasanya akan meninggalkan warisan tersebut kepada generasi dibawahnya. Mematahkan lingkaran yang kejam ini membutuhkan campur tangan semua pihak, baik individual maupun secara kolektif, untuk meprioritaskan dan menyamakan skema pembiayaan pendidikan, dari tingkat lokal hingga global. Pemerintah harud dapat memastikan keberlangsungan pembiayaan atas pendidikan meskipun diwajibkan dengan pengecualisan bagi mereka yang terlalu miskin tidak harus membayar. Jika mereka yang mengalami kemalangan, tetap diwajibkan membayar sedangkan mereka tidak mampu, anak-anak ini akan dihukum dengan cara pengabaian atas pendidikan.
Dengan berubahnya bantuan internasional untuk mendanai pendidikan dasar, pendidikan lanjutan mengalami kekurangan dana publik. Hasilnya, perubahan berupa transfer pendidikan dari hukum publik menjadi hukum privat dengan memegang teguh prinsip ekonomi, redefinisi barang publik menjadi komoditas perdagangan bebas yang menggiurkan, dilakukan oleh badan layanan publik.
Pendidikan seharusnya menjadi gratis bagi para anak, sebab mereka tidak dapat membayar untuk diri mereka sendiri dan memang seharusnya demikian. Makna sesungguhnya dari wajib belajar adalah agar anak menerima pendidikan di sekolah. Pendidikan yang berbasis fee apalagi profit, akan memaksa siswa terbebani oleh orangtua untuk segera mengganti investasi dengan tidak perlu berlama-lama bersekolah, para anak pun akan berfikir ribuan kali untuk mengambil fasilitas pengembangan yang sudah barang tentu ada harganya. Terkecuali mereka yang dilahirkan dari kalangan atas. Bila lingkaran ini terus berjalan, permasalahan pendidikan makin lama terurai. Salah siapa?----                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process