Militer dan tindakan pemberantasan(atau penanggulangan?) terorisme


Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradapan yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama. Oleh sebab itu, perang melawan terorisme menjadi komitmen semua negara dan semua agama di dunia ini. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme yang beroperasi diberbagai negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerjasama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung (support infrastructure).
Dari catatan sejarah dapat diketahui bahwa tindakan terorisme sebagai cara (means) atau senjata bagi kelompok yang lemah atau tertekan terhadap yang kuat seperti dilakukan oleh kelompok IRA di Irlandia, Red Army di Jepang, Palestina di daerah pendudukan Israel, gerilyawan NPA di Philipina, Harakat Al Anshar ( dikenal juga sebagai harakat Al Muhajidin ) di Pakistan, Gerilyawan Laskar Jhangvi di Kasmir, Jamaat Ulema-i-Islami dan Sepha-i-Sahaba di Pakistan), Macan Tamil di Srilanka, Aum Shinrikyo di Jepang. Namun yang paling terkenal karena mempunyai jaringan luas secara global dan mempunyai akses ke berbagai kelompok teroris atau kelompok radikal militan dan dengan dukungan dana yang besar adalah organisasi Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Organisasi ini mempunyai infrastruktur operasional ( operasional infrastructure) dan infrastructur pendukung (support infrastructure).
Tidak mudah untuk meramalkan kapan dan dimana akan terjadi aksi teror sehingga dengan demikian konsep-konsep penangkapan secara fisik tidak akan pernah dapat dilakukan secara efektif dalam mencegah aksi teror. Dana yang diperlukan untuk itu sangat besar dan dibutuhkan pengalikasian perhatian dan sumber daya yang sangat besar secara terus menerus dan melelahkan. Kondisi tersebut menyebabkan negara perlu menerapkan kerjasama antar aktor keamanan nasional dalam upaya pemberantasan terorisme, namun tidak mudah dalam implementasinya. Hal ini dikarenakan adanya kesan cukup kuat bahwa langkah-langkah operasional penindakan aksi teror oleh seluruh komponen keamanan nasional membangkitkan trauma masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan dan sisten hukum yang berlaku untuk menangani terorisme hanya merupakan alat kekuasaan otoriter militeristik untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan yang anti demokrasi dan melanggar hak azasi manusia, serta membungkam hak-hak politik masyarakat dan memasung kreatifitas serta menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Wacana bahwa militer perlu terlibat dalam pemberantasan terorisme akhir-akhir ini kembali mencuat ke permukaan. Tidak ada larangan bagi negara untuk merangkul berbagai komponen bangsa, tidak terkecuali militer, dalam memerangi tindakan terorisme. Di Indonesia, militer sebagai salah satu pemangku kepentingan pertahanan telah dibekali kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut seperti pada DenJaka (AL), Den Gultor (AD) dan Den Bravo (AU). Pada umumnya tugas pokok militer adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, serta melindungi seluruh komponen bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok tersebut salah satunya dimanifestasikan dalam operasi militer selain perang yang mencakup tindakan mengatasi aksi terorisme. Namun demikian, hal tersebut menyimpan problema bila diletakkan dalam kerangka koordinasi keamanan nasional dimana negara belum mempunyai kesatuan persepsi mengenai keamanan nasional. Pemerintah, parlemen, hingga masyarakat sipil, membicarakan ‘keamanan nasional,’ namun sebenarnya mereka tidak sedang membicarakan hal yang sama.
Menyangkut tentara dan pemberantasan terorisme, pokok masalah yang perlu dicermati dalam pengelolaan Keamanan Nasional adalah kewenangan aparat keamanan diatur agar tidak terlalu luas sehingga berpotensi memunculkan tindakan-tindakan tidak akuntabel. Seperti yang terjadi dalam persepsi terhadap RUU KamNas Indonesia, tentara dan lembaga intelijen, diinterpretasikan memiliki kewenangan untuk menyadap, memeriksa, menangkap, dan melakukan tindakan paksa lainnya terhadap pihak-pihak tertentu yang diduga mengancam keamanan nasional, dengan tanpa sepengetahuan serta persetujuan pengadilan.
Dalam konteks keamanan nasional,, keterlibatan militer dalam pemberantasan terorisme hendaknya diperjelas wilayah kewenangannya. Dalam kondisi seperti apa tentara bisa dilibatkan, dan bentuk keterlibatan seperti apa yang bisa dijalankan oleh tentara. Jika pertimbangan untuk melibatkan tentara adalah komando teritorial (koter), maka harus ada penjelasan peran apa yang bisa dijalankan oleh pasukan yang bersiaga di koter. Apakah mereka diperbolehkan untuk memiliki inisiatif melakukan pemetaan, mengepung gerakan radikalisme di daerah, atau lebih bersifat menunggu arahan dari aparat penegak hukum. Lebih jauh lagi, dalam mengatasi masalah terorisme secara komprehensif, kepala negara harus memperhitungkan proporsi kebijakan kontra-terorisme dengan pendekatan militer serta non-militer untuk menetapkan sejauhmana arah keterlibatan tentara dalam urusan kontra-terorisme.
Belajar dari Amerika Serikat, militer telah ditetapkan sejak awal sebagai ujung tombak kekuatan bersenjata dalam operasi pemberantasan terorisme di luar negeri. Sedangkan untuk di dalam negeri, peran serupa dijalankan oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri (Department of Homeland Security) –yang dibentuk atas prinsip PATRIOT Act- dan Biro Federal Investigasi (FBI). Di AS, telah terlihat pembagian tugas yang jelas di antara berbagai lembaga negara, meskipun terdapat masalah koordinasi ataupun rivalitas birokrasi. Pada era George W. Bush. Jr, mobilisasi tentara ditujukan kepada Irak dan kejatuhan Saddam Husein, sedangkan di era Barrack Obama, perhatian dialihkan kepada kamp-kamp persembunyian Al-Qaeda ataupun kelompok mujahidin di daerah perbatasan Afghanistan-Pakistan.
Berkaca dari pengalaman AS, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyusun kerangka makro keamanan nasional yang jelas dan dipahami oleh segenap pemangku kepentingan, kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret yang sesuai dengan tujuan  negara. Bagaimanapun, publik tentu berharap keterlibatan militer dalam operasi kontra-terorisme akan membuahkan hasil yang baik, namun dengan tetap menjunjung prinsip demokrasi, penghormatan hak-hak sipil dan HAM.
Kebijakan keamanan nasional yang mempertimbangkan prinsip demokrasi dapat dicerminkan dengan mempertegas wilayah kewenangan militer, yaitu militer memiliki peranan dalam pemberantasan terorisme di antaranya dengan melakukan tugas pengamanan dan pertahanan wilayah guna mencegah adanya penyusupan terorisme dari luar negeri. Selain mempertegas domain kewenangan militer, pengawasan oleh publik melalui lembaga-lembaga yang bergerak pada sektro penghormatan, pemajuan dan perlindungan HAM dapat menjadi penyeimbang bagi akuntabilitas dan transparansi operasi militer selain perang terhadap ancaman terorisme.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process