KONFLIK PERBATASAN 2 RAKSASA TIMUR: JEPANG DAN CHINA


I
PENDAHULUAN

Dewasa ini masih banyak negara yang menghadapi persoalan perbatasan dengan tetangganya yang belum terselesaikan lewat perundingan. Salah satu contohnya adalah ketegangan hubungan antara dua negara maju di Asia yang saling bersebelahan, Jepang dengan China. Demonstrasi-demonstrasi telah terjadi di China dan Jepang pada saat rakyat di kedua negara terus mengecam tetangga mereka berkaitan dengan sengketa, yang berpusat pada kepulauan tak berpenghuni di Laut China Timur yang diklaim oleh Tokyo dan Beijing[1]. Jepang menyebutnya Senkaku sedangkan Cina Diaoyu.
            Sebelumnya, kedua negara tersebut terlebih dahulu bersitegang dalam insiden tabrakan kapal nelayan Cina dengan dua kapal patroli Jepang di perairan dekat kepulauan yang sedang dipersengketakan tersebut pada 7 September lalu hingga membuat hubungan kedua negara jatuh ke titik terendah dalam enam tahun terakhir[2]. Insiden tersebut ternyata merembet ke hal-hal lain. Yang paling terasa imbasnya, hubungan ekonomi kedua negara menjadi carut marut. Klaim Jepang didasarkan pada hasil survei selama 10 tahun yang dilakukan pihak Jepang di kepulauan tersebut, yang menetapkan bahwa kepulauan itu terra nullius (bahasa Latin, yang berarti tak berpenghuni), dan tidak ada tanda-tanda yang membuktikan bahwa kepulauan itu pernah dikuasai oleh Cina. Kedua negara mempunyai kepentingan dengan kepulauan ini, selain karena kandungan minyaknya yang melimpah, juga karena menyangkut jalur perairan, dan populasi ikan yang melimpah di wilayah tersebut, hingga Taiwan pun juga ikut dalam bursa perebutan pulau tersebut[3].
Berdasarkan realita tersebut, makalah ini akan mejawab persoalan mengenai mengapa Jepang dan China sebagai negara maju, bersitegang dalam persoalan perbatasan. Melalui paper ini diharapkan dapat diketahui apa yang mendasari tindakan sengketa perbatasan yang terjadi diantara kedua negara yang notabene adalah negara maju sehingga dapat dilihat seberapa signifikan pengaruh perebutan perbatasan terhadap power yang dimiliki masing-masing negara, karena kemungkinannya yang dapat pula mengganggu hubungan antar negara dalam kawasan dan internasional.
Untuk lebih memfokuskan deskripsi mengenai fenomena tersebut, penulis akan melandaskan diri pada asumsi-asumsi realisme dalam menganalisa konflik perbatasan yang dialami oleh Jepang dan China, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan untuk melakukan analisa tersebut, didapat melalui studi literatur, berbagai artikel yang membahas konflik perbatasan maupun surat kabar yang membahas konflik kedua negara tersebut.

II
KERANGKA BERPIKIR

Realisme merupakan satu-satunya perspektif yang masih proporsional dalam studi Hubungan Internasional. Sebenarnya, realisme ini merupakan warisan dari filsafat kuno dengan ditambah kritikan yang kuat dari orang-orang yang berpaham liberal. Konsep realisme dalam filsafat dan dalam Hubungan Internasional memiliki arti yang berbeda, di mana dalam Hubungan Internasional, realisme mempelajari hubungan antarnegara. Realisme sebagai suatu paradigma lebih bersifat spesifik sehingga tidak bisa dimiliki oleh bidang ilmu yang lain. Realisme mendominasi studi hubungan internasional antara tahun 1940-an sampai dengan 1950-an.
Asumsi-asumsi realisme adalah:       
1.      Negara adalah aktor yang utama dan terpenting. Aktor-aktor lain diakui keberadaannya, namun subordinat terhadap negara.
2.      Negara adalah aktor manunggal (unitary), sering dianalogikan sebagai billiard ball yang solid.
3.      Negara bersifat rasional, dalam artian selalu bertindak dengan memperhitungkan cost-benefit atau untung-rugi
4.      Isu keamanan menempati prioritas utama, sering disebut high politics. Isu-isu lain dianggap sekunder (low politics)
5.      Pandangan sinis mengenai sifat dasar dari manusia.
6.      Keyakinan bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual, dan cara yang dipakai untuk mengatasi konflik tersebut adalah dengan melalui jalan peperangan.
7.      Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan internasional dan ketahanan suatu negara.
8.      Rasa tidak percaya bahwa politik internasional dapat berkembang sama baiknya dengan politik domestik karena keadaan yang ada di dalam suatu sistem internasional bersifat anarkis.

Konsep-konsep kunci dalam realisme:
  1. Anarki, tidak selalu mengimplikasikan chaos, namun hanya berarti ketiadaan kewenangan politik. Sistem anarkis (anarchic system) berarti prinsip yang mengatur politik internasional (the ordering principle) dan yang mendefinisikan strukturnya.
  2. Balance of power, merujuk pada ekuilibrium di antara negara-negara. Kaum realis historis memandangnya sebagai produk dari diplomasi (keseimbangan buatan/contrived balance) sedangkan kaum realis struktural berpendapat bahwa sistem memiliki kecenderungan menuju ekuilibrium alami (keseimbangan yang terjadi dengan sendirinya).
  3. Kapabilitas, menururt Waltz, konsep ini dapat diukur melalui ukuran populasi dan ukuran wilayah, sumber daya alam, kekuatan ekonomi, militer, dan kompetensi.
  4. Hegemoni, yaitu pengaruh yang ditancapkan oleh great powers terhadap negara-negara lain di dalam sistem. Jangkauan pengaruh bervariasi dari kepemimpinan hingga dominasi.
  5. Hegemonic stability theory, penjelasan dasar kaum realis mengenai kerja sama yang berpendapat bahwa negara yang dominan diperlukan untuk memastikan ekonomi politik internasional dan perdagangan bebas yang liberal. Menurut Hobbes, hegemoni stabilitas adalah suatu ‘fitrah’. Kaum realis memunculkan teori kapabilitas yang ditandai dengan melemahnya Amerika Serikat di bidang ekonomi.
  6. International system, dalam pengertian yang paling sederhana, adalah sistem yang terdiri dari negara-negara. Menurut Holsti, Sistem Internasional adalah setiap kumpulan dari satuan-satuan politik yang independen (dapat berupa nation-state, tribe, city-state, empire, dan lain-lain) yang saling berinteraksi dengan frekuensi yang cukup luas dan berdasarkan proses-proses yang teratur.
  7. National interest, konsep yang dikemukakan oleh kaum realis dan para pemimpin negara untuk menandakan hal yang paling penting dalam negara.Yang menempati urutan teratas dalam daftar national interest adalah survival.
  8. Power, dapat ditafsirkan sebagai kemampuan untuk mengendalikan hasil. Contohnya negara A dapat membuat negara B melakukan tindakan yang memaksimalkan kepentingan negara A. Kaum realis cenderung mereduksi pengertian power menjadi force (militer). Dalam konsep realis, power bersifat relasional, artinya tidak beroperasi dalam kevakuman, melainkan dalam hubungannya dengan negara lain, dan relatif, bukannya absolut, artinya diukur berdasarkan power negara lain.
  9. National Power, konsep ini bersifat kontekstual dalam artian, hanya bisa dinilai dari elemen-elemen power itu sendiri yang mencakup kapabilitas militer, sumber daya ekonomi, dan ukuran populasi. Dan hanya dalam hubungannya dengan aktor-aktor lain atau antara aktor dan situasi dimana power tersebut diterapkan.
  10. Distribution of power, pembagian kekuasaan di antara great powers. Dalam sistem internasional terjadi distribution of power yang menentukan karakteristik struktur, dan dapat bervariasi, apakah unipolar, bipolar, atau multipolar.
  11. Struggle of power, perjuangan untuk mencapai power.
  12. Self-help, dalam lingkungan yang anarkis, negara-negara tidak dapat berasumsi bahwa negara lain akan membantu mempertahankan diri mereka, meskipun mereka adalah sekutu. Hal ini merupakan salah satu esensi realisme di mana negara-negara harus berusaha mempertahankan dirinya sendiri dengan meningkatkan kapabilitas militernya.
  13. Statisme, ideologi yang mendukung organisasi manusia ke dalam komunitas-komunitas tertentu; nilai-nilai dan kepercayaan bahwa komunitas dilindungi dan dipertahankan oleh negara. Hal ini juga merupakan esensi realisme.
  14. State of war, sebuah kondisi yang dideskripsikan oleh realis klasik, di mana tidak ada konflik aktual, namun berupa kondisi perang dingin yang permanen, yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi perang.
  15. Survival, prioritas pertama bagi para pemimpin negara, ditekankan oleh kaum realis historis seperti Machiavelli, Meinecke, dan Weber. Berdasarkan pemikiran ini, tujuan negara yang lain, seperti perdamaian, ketertiban, dan kemakmuran hanya akan terwujud setelah tercapai survival.
  16. Aliansi, sebuah kesepakatan di antara dua negara atau lebih untuk bekerja sama dalam isu-isu keamanan bersama.
  17. Dual moral standard, sebuah pemikiran bahwa terdapat prinsip benar dan salah yang terpisah antara penduduk secara individual dan bagi negara.
  18. Ethic of resposibility, bagi kaum realis historis, konsep ini adalah batasan-batasan etika dalam politik internasional yang melibatkan penitikberatan pada sejumlah konsekuensi dan kesadaran bahwa  tindakan yang tidak melibatkan moral dapat menghasilkan sesuatu yang positif.
  19. Interdependensi, suatu kondisi dimana tindakan dari satu negara berdampak pada negara-negara lain (dapat berupa interdependensi strategis atau ekonomis). Kaum realis menyamakan interdependensi dengan vulnerability.
  20. Idealisme, berpendapat behwa gagasan-gagasan memiliki dampak penting dalam peristiwa-peristiwa politik internasional, dan bahwa gagasan-gagasan tersebut dapat menghasilkan perubahan. Istilah ini dijuluki oleh kaum realis sebagai utopianisme karena meremehkan logika power politics dan batasan-batasan dalam menjalankan tindakan politik.
Berdasarkan kerangka berpikir tersebut diatas, maka penulis mengambil hipotesa bahwa konflik perbatasan yang memperebutkan gugusan kepulauan di Laut Cina Timur oleh Jepang dan China lebih disebabkan oleh nature dari sistem internasional yang anarki sehingga kedua negara secara rasional mempunyai kepentingan terhadap kepulauan tersebut, untuk mencapai national interest mereka, yaitu survival. Kenyataan bahwa di dalam gugusan kepulauan tersebut terdapat ikan yang melimpah dan sumber daya minyak, membuat Jepang dan China menganggap kepemilikan terhadap kedua sumber tersebut dapat merepresentasikan power yang dimiliki, paling tidak di kawasan Asia Timur. Struggle for power merupakan hal yang rasional, bahkan oleh negara maju sekalipun untuk mencapai/mempertahankan hegemoni.
III
POLITIK LUAR NEGERI CHINA DAN JEPANG


A.     Perkembangan Politik Luar Negeri China
Republik Rakyat Cina juga disebut Republik Rakyat Tiongkok, adalah sebuah negara komunis yang terdiri dari hampir seluruh wilayah kebudayaan, sejarah, dan geografis yang dikenal sebagai Cina. Sejak didirikan pada 1949, RRC telah dipimpin oleh Partai Komunis Cina. Sekalipun seringkali dilihat sebagai negara komunis, kebanyakan ekonomi republik ini telah diswastakan sejak tiga dasawarsa yang lalu. Walau bagaimanapun, pemerintah masih mengawasi ekonominya secara politik terutama dengan perusahaan-perusahaan milik pemerintah dan sektor perbankan. Secara politik, ia masih tetap menjadi pemerintahan satu partai. RRC adalah negara dengan penduduk terbanyak di dunia, dengan populasi melebihi 1,3 milyar jiwa, yang mayoritas merupakan bersuku bangsa Han. RRC juga adalah negara terbesar di Asia Timur, dan ketiga terluas di dunia, setelah Rusia dan Kanada. RRC berbatasan dengan 14 negara: Afganistan, Bhutan, Myanmar, India, Kazakhstan, Kirgizia, Korea Utara, Laos, Mongolia, Nepal, Pakistan, Rusia, Tajikistan dan Vietnam[4].
Perubahan kebijakan politik luar negeri Cina, dari sistem politik tirai bambu menjadi sistem politik yang lebih terbuka terbukti mendukung Cina memasuki pasar dunia. Warna politik Cina, sepeninggalan Deng Xiaoping ditentukan oleh tokoh-tokoh konservatif Li Peng, tokoh reformasi Zhu Rongji, Qiao Shi dan tokoh jalan tengah Jiang Zemin. Faktor lain yang menentukan stabilitas politik Cina adalah adanya dukungan militer baik dari kalangan Komisi Pusat maupun tokoh-tokoh pimpinan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Dalam bidang luar negeri, Cina tetap melaksanakan politik luar negeri yang independen atas dasar prinsip hidup berdampingan, sesuai dengan kebijakan `Peaceful Coexsistance`, yaitu: menghormati kedaulatan negara lain, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, semua negara memiliki derajat yang sama dan saling menghormati dalam hubungan internasional, penyelesaian sengketa dalam hubungan internasional diselesaikan melalui konsultasi secara bersahabat, dan tidak melakukan agresi pada negara lain[5].
Secara umum, Cina tidak mempunyai kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam posisi kekuatan lain dan memahami bagaimana kekuatan-kekuatan lain itu memandang tingkah lakunya. Kekawatiran-kekawatiran para tetangga Cina tentang tujuan Cina saat ia mengembangkan kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang lebih besar dianggap oleh Beijing sebagai propagasi teori Cina sebagai ancaman, ketimbang dihadapi dengan aturan-aturan jaminan dan pengembangan kepercayaan.

B.      Perkembangan Politik Luar Negeri Jepang
Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah timur Laut Jepang, dan bertetangga dengan Republik Rakyat Cina, Korea, dan Rusia. Pulau-pulau paling utara berada di Laut Okhotsk, dan wilayah paling selatan berupa kelompok pulau-pulau kecil di Laut Cina Timur, tepatnya di sebelah selatan Okinawa yang bertetangga dengan Taiwan. Jepang terdiri dari 6.852 pulau yang membuatnya merupakan suatu kepulauan. Pulau-pulau utama dari utara ke selatan adalah Hokkaido, Honshu (pulau terbesar), Shikoku, dan Kyushu. Sekitar 97% wilayah daratan Jepang berada di keempat pulau terbesarnya. Sebagian besar pulau di Jepang bergunung-gunung, dan sebagian di antaranya merupakan gunung berapi. Penduduk Jepang berjumlah 128 juta orang, dan berada di peringkat ke-10 negara berpenduduk terbanyak di dunia. Tokyo secara de facto adalah ibu kota Jepang, dan berkedudukan sebagai sebuah prefektur. Sebagai daerah metropolitan terluas di dunia, Tokyo Raya berpenduduk lebih dari 30 juta orang[6].
Setelah kekalahannya di Perang Dunia Kedua, Jepang memfokuskan pembangunan dalam negerinya dan melakukan politik luar negeri yang low profile. Tetapi, kini, perubahan dramatis sedang terjadi. pasukan Jepang akan bergabung dengan pasukan multinasional di bawah pimpinan Perserikatan Bangsa-Bangsa sepanjang peran mereka terbatas pada misi-misi kemanusiaan. Sebelumnya, Jepang lebih memilih diplomasi melalui kontribusi moneter dan bantuan finansial. Tetapi, tampaknya krisis di Irak membuat Jepang memikirkan ulang tradisi diplomasinya yang telah berjalan sejak pascaperang. Jepang mulai menjalankan partisipasi yang lebih aktif dalam kegiatan menjaga perdamaian internasional secara perlahan sejak awal 1990an, mulai dari pengiriman pasukan ke Kamboja, Timor Timur, dan terakhir ke wilayah Samudra Hindia tempat pasukan maritim Jepang menyediakan dukungan logistik bagi pasukan AS di Afganistan. Perubahan kebijakan Jepang dapat dikaitkan dengan perubahan kebijakan yang terjadi di AS dan seruan AS yang meminta dukungan sekutunya terhadap operasi-operasi militernya di luar negeri setelah peristiwa 11 September 2001. Pakta pertahanan AS-Jepang perlahan-lahan mengalami pergeseran. Kini, dengan kebijakan antiterorisme Presiden Bush, Jepang diharapkan tidak sekadar menyediakan basis pasukan AS, tetapi turut lebih berpartisipasi.
Sebagai kekuatan ekonomi di Asia, Jepang memiliki hak dan kewajiban yang tak dapat dianggap remeh. Isu-isu seperti Semenanjung Korea, Kepulauan Spratly, dan Taiwan masih menjadi problem bagi stabilitas. Maka dari itu, kerja sama keamanan AS-Jepang masih menjadi elemen penting untuk menegakkan keamanan di Asia Pasifik. Dengan kecenderungan baru ini, pemberian Official Development Assistance (ODA) ada kemungkinan akan menurun prioritasnya. Kebijakan luar negeri Jepang akan lebih merupakan kombinasi antara pemberian bantuan/dukungan kemanusiaan dan perdamaian, yang diperkirakan akan menjadi dasar diplomasi aktif Jepang yang baru[7].

C.      Hubungan Jepang dan China
Walaupun kedua negara telah sebentar-sebentar berperang sejak tahun 1931, perang berskala besar baru dimulai sejak tahun 1937 dan berakhir dengan menyerahnya Jepang pada tahun 1945. Perang ini merupakan akibat dari kebijakan imperialis Jepang yang sudah berlangsung selama beberapa dekade. Jepang bermaksud mendominasi China secara politis dan militer untuk menjaga cadangan bahan baku dan sumber daya alam yang sangat banyak dimiliki China. Pada saat yang bersamaan, kebangkitan nasionalisme China dan kebulatan tekad membuat perlawanan tidak bisa dihindari. Sebelum tahun 1937, kedua pihak sudah bertempur dalam insiden-insiden kecil dan lokal untuk menghindari perang secara terbuka. Invasi Manchuria oleh Jepang pada tahun 1931 dikenal dengan nama Insiden Mukden. Bagian akhir dari penyerangan ini adalah Insiden Jembatan Marco Polo tahun 1937 yang menandai awal perang besar-besaran antara kedua negara. Sejak tahun 1937 sampai 1941, China berperang sendiri melawan Jepang. Setelah peristiwa penyerangan terhadap Pearl Harbour terjadi, Perang Sino-Jepang Kedua pun bergabung dengan konflik yang lebih besar, Perang Dunia II.
Pada tanggal 2 Oktober tahun 1971, China mengemukakan 3 prinsip pemulihan hubungan diplomatik China-Jepang, yaitu Republik Rakyat China adalah satu-satunya pemerintah sah yang mewakili China; Taiwan adalah bagian yang suci dan tak terpisahkan dari wilayah RRT; Perjanjian Perdamaian Jepang-Jiang Kai -sek adalah ilegal dan tidak sah dan harus dibatalkan. Pada tanggal 25 September tahun 1972, Perdana Menteri Jepang ketika itu Kakue Tanaka berkunjung ke China dan pada tanggal 29 pemerintah China dan Jepang mengemukakan deklarasi bersama tentang direalisasinya normalisasi hubungan China-Jepang.
Hubungan keseluruhan kedua negara kini memelihara momentum perkembangan, dan kerjasama pragmatis kedua negara di berbagai bidang mencapai hasil positif. Di bidang ekonomi, China dan Jepang saling menjadi mitra dagang yang penting. Jepang berturut-turut selama 10 tahun ini menjadi mitra dagang terbesar bagi China. China menjadi negara mitra dagang kedua terbesar dan pasar ekspor kedua besarnya bagi Jepang. Di bidang kerja sama ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan kesehatan, sesudah normalisasi hubungan China-Jepang, kedua pihak telah membentuk hubungan kerja sama iptek antar- pemerintah dan pada bulan Mei tahun 1980 menandatangani Persetujuan Kerja sama Iptek China-Jepang. Tanggal 6 Desember tahun 1979, China dan Jepang menandatangani Persetujuan Pertukaran Kebudayaan China-Jepang yang menetapkan pengembangan pertukaran kedua negara di bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan dan olahraga. Pada tahun 2002, pemerintah kedua negara memutuskan untuk menyelenggarakan Tahun Kebudayaan China dan Tahun Kebudayaan Jepang. Kini dalam hubungan China-Jepang, masih terdapat banyak masalah peka yang perlu dihadapi dengan sungguh-sungguh.
Pertama, masalah pengertian sejarah. Ini merupakan masalah politik yang sensitif dalam hubungan China-Jepang. Sejak tahun 2001, terjadi beberapa kali peristiwa Jepang mengubah buku pelajaran sejarah dengan tidak mempedulikan fakta sejarah, memutarbalikan fakta sejarah agresi Jepang di China, serta Perdana Menteri Koizumi berkali-kali berziarah ke Kuil Yasukuni, kesemua itu telah dengan serius mengganggu hubungan China-Jepang.
Kedua, adalah masalah Taiwan. Pendirian China dalam masalah Taiwan adalah jelas, yaitu tidak menentang Taiwan dan Jepang mengadakan pertukaran antar-pemerintah, tapi dengan tegas menentang pertukaran resmi dalam bentuk apapun, menelurkan " dua China " atau " satu China satu Taiwan", menuntut Jepang dengan jelas memberi komitmen untuk tidak mencantumkan Taiwan dalam lingkup kerja sama keamanan Jepang-Amerika Serikat.
Ketiga, masalah Pulau Diaoyu. Pulau tersebut terletak kira-kira 92 mil di sebelah timur laut Kota Khilong, Propinsi Taiwan China, merupakan kepulauan yurisdiksi Pulau Taiwan. Pulau Diaoyu sejak dahulu adalah wilayah China, dan sama seperti Taiwan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari wilayah China. China mempunyai kedaulatan yang tak terbantahkan terhadap Kepulauan Diaoyu dan perairan di sekitarnya. Pendirian China itu mempunyai bukti penuh sejarah dan hukum. Bulan Desember tahun 1943, China, AS dan Inggris dalam Deklarasi Kairo menetapkan, wilayah China termasuk daerah timur laut, Taiwan dan Kepulauan Penghu yang dirampas Jepang harus dikembalikan kepada China, yang kemudian disetujui Jepang pada tahun 1945.
Keempat, masalah kerja sama keamanan Jepang-AS. Fokus penting yang diperhatikan China ialah masalah yang berkaitan dengan Taiwan, dan arah militer yang ditempuh Jepang. China sejauh ini melalui berbagai jalur berkali-kali menyatakan keseriusannya dan pendirian terkait.
Kelima, masalah kompensasi perang. Pemerintah Jepang pada tahun 1972 ketika mengadakan perundingan mengenai normalisasi hubungan diplomatik China-Jepang, dengan tegas menyatakan sedih atas tanggung jawab besar atas perang yang dilancarkan Jepang terhadap rakyat China dan menyatakan mawas diri terhadap hal itu. Di bawah prasyarat itu, pemerintah China dengan bertolak dari kepentingan mendasar negara, memutuskan untuk melepaskan tuntutan ganti rugi perang terhadap Jepang, dan keputusan itu dicantumkan dalam Pernyataan Bersama China-Jepang yang ditandatangani kedua negara tahun 1972, dan dikuatkan kembali dalam bentuk dokumen hukum tahun 1978.
Keenam, masalah peninggalan senjata kimia Jepang di China. Selama perang agresi Jepang di China, Jepang terang-terangan melanggar konvensi internasional, menggunakan senjata kimia, mengakibatkan korban tewas dan cedera di pihak tentara dan rakyat China dalam jumlah besar. Ketika Jepang kalah perang, segera memendam dan membuang senjata kimia di setempat dalam jumlah besar. Sejauh ini, kira-kira 30 tempat di belasan propinsi di China, telah ditemukan senjata kimia yang ditinggalkan Jepang, senjata tersebut telah mengakibatkan ancaman serius bagai keamanan jiwa dan harta benda rakyat China serta lingkungan ekologi.

D.     Perkembangan Konflik Perbatasan Jepang-China
Jepang menuduh China melanggar kesepakatan kedua negara dengan mulai melakukan proses pengeboran gas bumi di wilayah sengketa tanpa melibatkan Jepang. Sementara China menganggap aktivitasnya di daerah tersebut masih wajar dan legal. Sejak itu Jepang berulang kali meminta penjelasan tentang aktivitas tersebut kepada China melalui jalur diplomatik.
 Ladang gas di Laut China Timur, yang disebut Shirakaba oleh Jepang atau Chunxiao oleh China, itu sudah lama menjadi sengketa di antara kedua negara. Pada 2008, kedua negara yang sama-sama haus sumber daya energi dan mineral ini sepakat untuk melakukan eksplorasi bersama di lokasi tersebut. Perusahaan-perusahaan migas Jepang diizinkan ikut berinvestasi dalam pengembangan eksplorasi gas bumi di tempat itu. Akan tetapi, progres kerja sama ini terhambat setelah Jepang berulang kali memergoki China menjalankan operasi sendirian di kawasan tersebut.
Pada Mei 2010, pemimpin kedua negara sepakat meneruskan pembicaraan tentang kerja sama operasi itu, tetapi dibatalkan sepihak oleh pihak China, sebagai bentuk protes atas penangkapan kapal nelayan China oleh Jepang terkait insiden di daerah sengketa lainnya. Kementerian Luar Negeri China menanggapi keluhan Jepang tersebut dengan menegaskan, pihaknya punya hak untuk melakukan aktivitas apa pun di ladang minyak dan gas Chunxiao. Bahwa aktivitas China di kawasan Chunxiao adalah kegiatan yang wajar dan legal.
Pada 18 September 1931, militer Jepang menyerang kota Shenyang (waktu itu masih bernama Mukden) di bagian timur Laut China. Serangan ini menjadi awal pendudukan Jepang atas China, yang diwarnai kekejaman dan kepedihan selama hampir 14 tahun sampai akhir Perang Dunia II. Insiden Mukden ini selalu diperingati secara resmi dan diwarnai protes anti-Jepang di China setiap tahun. Meski mendorong sentimen anti-Jepang untuk menggelorakan semangat nasionalisme masyarakat China, pemerintahan Partai Komunis China masih lebih mementingkan stabilitas sosial di dalam negeri dan selalu curiga terhadap setiap gerakan independen yang bisa membesar tak terkendali dan bisa-bisa menentang pemerintah sendiri.
IV
ANALISA KONFLIK JEPANG – CHINA

Menanggapi konflik yang terjadi antara Jepang-China tersebut, realisme
sebagai perspektif tertua dalam ilmu hubungan internasional menjelaskan berbagai asumsi
dasarnya dan hubungannya dengan konflik Jepang-China. Asumsi dasar realis yang
pertama, dan yang paling utama adalah bahwa negara dipandang sebagai satu-satunya
aktor utama dalam ilmu hubungan internasional, realis memandang bahwa aktor yang
paling berpengaruh dan paling penting dalam ilmu hubungan internasional adalah negara.
Dalam konflik Jepang-China, pentingnya peran negara sebagai aktor utama dalam
  hubungan internasional sangat terasa. Hal ini dibuktikan dengan tidak signifikannya peran aktor lain, selain negara dalam konflik Jepang-China ini. Semisal, keberadaan Organisasi Internasional seperti PBB, ASEAN+3 maupun regional Asia Timur, yang ternyata tidak mampu memberi kontribusi yang signifikan bagi penyelesaian masalah perbatasan Jepang-China. Konflik Jepang-China tersebut hanya akan dan mungkin dapat diselesaikan bila negara-negara yang berkonflik, bersedia untuk berdamai yang sayangnya belum terlaksana.
Asumsi kedua kaum realis yang terbukti dalam kasus ini adalah bahwa hubungan antar negara bersifat konfliktual dan pada akhirnya harus diselesaikan melalui perang. Jepang dan China mengalami pasang-surut hubungan yang akhirnya juga berkonflik, seperti asumsi kaum realis. Realis memandang setiap hubungan antar negara pastilah mendatangkan konflik, karena dalam hubungannya tiap-tiap negara pasti akan mencari dan melakukan upaya-upaya sehubungan pemenuhan keinginan dan kepentingan nasional, sementara kepentingan nasional tiap negara tentulah berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan akan mudah sekali terjadi benturan-benturan kepentingan dalam hubungan antar negara, yang pada akhirnya akan berujung pada timbulnya konflik antar negara. Dan realis memandang, satu-satunya jalan bagi penyelesaian itu adalah perang, di mana pihak yang kuat kemudian akan mengalahkan pihak yang lemah, dan pihak yang kalah kemudian akan melakukan apa yang diinginkan pihak pemenang perang. Konflik perebutan wilayah seluas 7km2 di delapan pulau tak berpenghuni antar Jepang-China tinggal menunggu momentum untuk mencapai tahap perang. Perang ini, menurut realis, dapat dianggap sebagai jalan bagi penyelesaian konflik Jepang-China, atau dapat juga dianggap sebagai awal dari sebuah jalan panjang menuju terciptanya penyelesaian konflik Jepang-China.
Asumsi dasar realis ketiga yang terbukti relevan digunakan dalam menganalisa konflik perbatasan Jepang-China adalah bahwa (dalam hubungan internasional) ada konflik kepentingan yang dalam, baik antar negara maupun antar masyarakat. Menjelaskan mengenai anggapan kaum realis ini, penulis kembali menyebutkan kepentingan nasional Jepang maupun China dalam wilayah seluas 7km2 di sekitar kepulauan Senkaku (versi Jepang) dan Diaoyu (versi China) itu, yaitu bahwa baik Jepang maupun China ingin menguasai wilayah yang kaya akan sumber daya energi tersebut. Penguasaan akan wilayah yang menghasilkan minyak bumi dan gas alam tersebut merupakan unsur yang sangat penting bagi pemenuhan power kedua negara, yang dapat dikatakan memerlukan sumber daya yang lebih besar untuk menentukan posisinya di dunia.
Kepemilikan akan sumber energi terutama di masa-masa di mana energi dipandang sebagai sesuatu yang langka dan diperjuangkan oleh setiap negara seperti sekarang merupakan hal yang dapat meningkatkan bargaining position /posisi tawar suatu negara dalam dunia internasional, yang kemudian akan meningkatkan power suatu negara. Kepemilikan sumber energi tersebut juga kemudian akan membawa angin segar bagi perekonomian negara (dalam hal ini bagi Jepang maupun secara spesifik China yang mulai menggeliat dengan revolusi industrinya, tergantung wilayah itu akan jatuh ke tangan siapa), karena setiap negara akan berebut untuk membeli energi dari negara pemilik sumber energi tersebut. Peningkatan bargaining position yang kemudian berdampak pada peningkatan power yang dimiliki, serta kemajuan dalam bidang ekonomi; ketiga-tiganya merupakan unsur yang penting untuk mencapai kepentingan nasional setiap negara, dan ketiga unsur tersebut akan dapat dicapai dengan penguasaan wilayah seluas 7 km2 di kepulauan tersebut. Karena itu, tidak heran
wilayah tersebut begitu diperebutkan Jepang dan China karena wilayah tersebut sangat krusial perannya dalam upaya pencapaian kepentingan nasional kedua negara.


V
KESIMPULAN

Perspektif realisme sangat tepat jika digunakan untuk menganalisa kasus konflik perbatasan Jepang-China, berdasarkan asumsi dasar realis bahwa dalam interaksi internasional antar negara, suatu konflik pasti terjadi. Konflik itu mutlak dan pasti ada dalam hubungan antar negara, karena setiap negara akan terus memperjuangkan kepentingan nasionalnya masing-masing tanpa peduli pada negara lain, inilah yang menyebabkan pandangan kaum realis sering dikatakan amoral—seperti pandangan Joseph Frankel yang mengatakan bahwa kaum realis cenderung menolak nilai moral universal, dan sebaliknya bertindak berdasarkan kepentingan diri dan lebih mementingkan kekuasaan/power daripada keadilan.
Walaupun terdengar kejam, namun nyatanya hal inilah yang terjadi dalam hubungan antar negara di dunia internasional. Faktanya, negara lebih sering bertindak atas dasar dan dengan pengaruh power dan karena itu, hal-hal lain seperti moralitas dan nilai universal seringkali tidak mendapat porsi semestinya dalam hubungan internasional. Penekanan hubungan internasional dalam masalah perolehan dan peningkatan power juga sangat cocok diterapkan dalam konflik perbatasan Jepang-China, dengan penjelasan yang kurang-lebih mirip dengan penjelasan unsur kepentingan nasional di atas.
Untuk menyimpulkan, penulis kembali menyebutkan berbagai asumsi dasar realis yang kemudian telah dibuktikan kebenarannya dalam konflik perbatasan Jepang-China ini. Pertama, bahwa negara adalah satu-satunya aktor utama dalam hubungan internasional yang dibuktikan dengan minimnya peran aktor non negara seperti Organisasi Internasional dalam konflik perbatasan Jepang-China ini. Kedua, bahwa hubungan antar negara adalah hubungan yang bersifat konfliktual dan konflik antar mereka hanya dapat diselesaikan melalui perang yang akan dipertanyakan kebenarannya dengan pecahnya konflik bersenjata sebagai akibat konflik perebutan wilayah yang berkepanjangan. Ketiga, asumsi bahwa adanya konflik kepentingan yang dalam antar negara dan antar masyarakat yang kemudian dijelaskan dengan menyebutkan rasa sama- sama ingin memenuhi kepentingan nasional terkait dengan wilayah kaya minyak bumi dan gas alam yang sedang diperebutkan Jepang dan China, serta implikasi kepemilikan itu pada bargaining position dan power mereka. Serta keempat, pandangan bahwa kaum realis cenderung menolak nilai moral universal dan lebih mementingkan power daripada keadilan yang terbukti dengan memburuknya hubungan Jepang dan  China sebagai negara tetangga yang seharusnya menerapkan good neighbour policy, dan sebaliknya mulai saling menggunakan power-nya untuk menekan pihak yang lain.
Jika Jepang dan China dalam mencapai tujuannya lebih mengarah pada ancaman bagi negara lain atau justru negara tersebut tidak menjadi sebuah ancaman dan cenderung mencari kerjasama sebagai bentuk integritas dalam aturan internasional, maka dapat dikatakan bahwa kedua negara adalah negara yang menggunakan offensive atau defensive realism sebagai bentuk strategi negara tersebut dalam memainkan peranannya di dunia internasional. Banyak kaum elite China percaya bahwa dari segi luas wilayah, populasi, peradaban, sejarah, dan yang lebih penting, yaitu pertumbuhan ekonominya, China sangat layak dikategorikan sebagai negara great power karena itu hal tersebut dapat menjadi alasan bagi negara tersebut untuk meraih hegemoni atau sebaliknya, berusaha untuk mempertahankan balance of power nya di antara negara-negara tetangganya. Demikian halnya Jepang, meskipun masih dibatasi oleh AS.
Berbagai asumsi realis di atas terbukti benar dan terjadi dalam konflik perbatasan Jepang-China, dan asumsi di atas kembali mengingatkan kita pada pandangan kaum realis yang menurut penulis paling mewakili seluruh pandangan lain, yaitu bahwa dalam dunia internasional, konflik merupakan hal yang mutlak dan pasti ada. Dan bahwa hubungan internasional akan selalu berkisar pada usaha saling menjatuhkan antar negara, demi tercapainya national interest masing-masing. Pola interaksi sebuah negara ditentukan oleh bagaimana cara pandang negara tersebut dalam melihat sistem internasional. Ini artinya, bagaimana sebuah negara bertindak ditentukan oleh perspektif apa yang digunakan oleh negara tersebut untuk memandang atau menilai dinamika internasional yang berkembang. Dimana pada akhirnya, hasil penilaian tersebut akan diimplementasikan oleh negara dalam bentuk kebijakan luar negeri.



DAFTAR PUSTAKA

·         Archer, Clive. International Organizations. London: Routledge, 2000.
  • Baylis, John and Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations 2nd edition. Oxford: Oxford University Press.
·         Frankel, Benjamin. Roots of Realism. London: Frank Cass and Company, 1996
  • Griffiths, Martin and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key Concepts. London and New York: Routledge.
·         Jackson, Robert and George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press.
·         Morgenthau, Hans J. 1985. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Alfre A. Knopf.


[1] http://www.kawasanperbatasan.com/kawasan%20perbatasan,pengelolaan%20batas/konflik-perbatasan
[2] http://www.sijorimandiri.net/sm/index.php?option=com_content&view=article&id=3923:jepang-tolak-minta-maaf-ke-cina&catid=38:luar-negeri&Itemid=60
[3] http://www.mertodaily.com/index.php/international/134-konflik-klaim-wilayah-jepang-china
[4] http://www.chinatoday.com/general/a.htm
[5] http://indonesian.cri.cn/chinaabc/chapter4/chapter40201.htm
[6] http://fpcj.jp/old/e/mres/publication/ff/pdf_07/01_land.pdf
[7] http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=216&id=47&tab=2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process