2.3 Kampanye “War on Terrorism” dan implikasinya terhadap Asia Tenggara


Sesaat setelah serangan 11 September 2001, Presiden George W. Bush langsung membuat pernyataan ungkapan keprihatinan dan kekecewaannya atas peristiwa tersebut. Dalam pidatonya, Bush mengatakan bahwa serangan tersebut bukan hanya menyerang Amerika Serikat tetapi juga jantung dan jiwa peradaban dunia sehingga masyarakat global harus mampu melawan sebuah perang baru yang berbeda. [1]
Tekad AS memerangi terorisme terlihat jelas ketika AS menjadikan “war against terrorism” sebagai bagian dari Strategi Keamanan Nasional AS 2002. Upaya AS memberantas terorisme ini tidak terbatas pada wilayah teritorial AS saja tetapi juga diseluruh penjuru dunia, dimana kelompok-kelompok militan dan teroris bersembunyi. Afganistan bukan satu-satunya wilayah dimana AS berusaha menangkap dan menghancurkan kelompok Taliban dan Al-Qaeda. Tetapi ribuan kelompok teroris yang terlatih secara militer dan sebagian besar diantaranya merupakan jaringan Al-Qaeda, telah tersebar di berbagai kawasan seperti belahan benua Amerika utara dan selatan, Eropa, Afrika, Timur Tengah, serta Asia.[2]
Hal tersulit dalam perang melawan terorisme adalah untuk menemukan musuh, karena musuh disini bukan lagi negara, tetapi kelompok-kelompok orang yang membentuk jaringan-jaringan teroris. Untuk itu AS menegaskan bahwa dibutuhkan kerjasama yang baik antar negara dan kawasan agar kampanye ini menjadi efektif.[3]
Akan tetapi, untuk meyakinkan dunia bahwa “war against terorrism” juga merupakan upaya AS untuk menciptakan keamanan dan perdamaian masyarakat internasional yang lebih baik, bukanlah hal yang  mudah. Penyebabnya adalah karena terjadi perdebatan diantara negara-negara mengenai terminologi terorisme itu sendiri, termasuk pro dan kontra mengenai kategori kelompok-kelompok yang ditetapkan sebagai teroris internasional. Oleh karena itu AS memandang perlu mengadakan perang terhadap pemikiran-pemikiran untuk memenangkan pertempuran melawan terorisme internasional. Cara-cara yang akan dilakukan AS meliputi: [4]
1.      Dengan mempergunakan pengaruh besar AS dan bekerjasama dengan negara-negara sahabat dan sekutu, Menegaskan bahwa seluruh tindakan terorisme adalah “haram” sehingga terorisme akan dipandang setara dengan perbudakan, pembajakan, serta pembunuhan masal. Dengan demikian tidak ada negara yang dapat menghargai atau mendukung prilaku teroris, sebaliknya harus ditentang.
2.      Mendukungi pemerintahan moderat dan modern khususnya dikawasan dengan penganut mayoritas muslim, untuk menjamin bahwa tidak ada tempat dimana kondisi dan ideologi yang membantu kemajuan perkembangan terorisme
3.      Mengurangi kondisi-kondisi yang menimbulkan terorisme dengan cara membuat masyarakat internasional untuk fokus terhadap sumber-sumber yang menimbulkan kondisi tersebut.
Mempergunakan diplomasi publik yang efektif untuk memajukan aliran informasi yang bebas untuk membangkitkan harapan-harapan dan aspirasi kebebasan dalam lingkungan yang “ruled by the sponsors of global terrorism”.
Kemampuan AS dalam menciptakan perspektif global mengenai ancaman teroris, diikuti dengan keprihatinan dunia terhadap serangan 11 September, adalah modal yang besar bagi AS guna menekan negara-negara lain agar mendukung dan bekerjasama dalam pemberantasan terorisme, sebagai “global war on terrorism”.
Kebijakan AS untuk memimpin perang melawan terorisme semakin terlihat dengan dikeluarkannya resolusi DK PBB No.1373 Tahun 2001. Resolusi tersebut memuat langkah-langkah dalam menanggulangi terorisme dan mendukung tindakan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Dengan demikian, AS memiliki kemudahan akses dalam menghadirkan militernya di luar negeri dengan dalih terorisme. Hal ini menjadi kekhawatiran banyak negara, terutama mereka yang tidak cukup kuat untuk menolak penetrasi militer AS kedalam wilayahnya. Seperti yang selalu ditekankan pemerintah AS bahwa perang ini tidak berhenti sampai disini (Afghanistan), maka kecenderungan pasca perang di Afghanistan dan Iraq adalah melanjutkan dengan memberikan perhatian terhadap aktivitas terorisme di belahan lain dunia. [5]
Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat merasakan dampak langsung dari langkah-langkah AS tersebut. Karena tidak lama setelah AS menyerang Afghanistan, pejabat pemerintahan Bush mengumumkan adanya upaya Osama Bin Laden dan pengikutnya untuk memperluas kegiatan-kegiatan mereka di Asia Tenggara, tidak hanya di Filipina, tetapi juga di Singapura dan Indonesia[6]. Berbagai media cetak AS juga banyak mengeluarkan artikel mengenai potensi teror dari gerakan-gerakan kelompok Islam radikal yang berkembang dengan subur di Asia Tenggara. Implikasi lebih jauh yang dirasakan Asia Tenggara adalah ketika PBB resmi menyatakan bahwa kelompok “Jamaah Islamiah” digolongkan sebagai organisasi teroris internasional. Keputusan PBB ini tentu saja sangat mempengaruhi Asia Tenggara, dimana selama ini AS selalu menekankan bahwa Jamaah Islamiah merupakan perpanjangan tangan Al-Qaeda, dan jaringannya menyebar di Malaysia, Singapura, serta Indonesia. Sehingga AS mempunyai kekuatan untuk menekan pemerintahan  negara-negara Asia Tenggara agar lebih aktif bekerjasama dalam memberantas terorisme seperti yang diinginkan AS. Di Indonesia, keputusan  terbaru yang dikeluarkan oleh Departemen Keamanan AS bahwa Jamaah Ansyarut Tauhid sebagai bagian dari kelompok terorisme semakin melegitiasi campur tangan AS di Indonesia sebagi bagian dari upaya pemberantasan terorisme di seluruh dunia. [7]
Pada akhirnya “War on Terrorism”, menjadi instrumen AS untuk dapat menghadirkan kekuatan militernya diluar teritorialnya. Khususnya bagi Asia Tenggara, indikasi menjadi “second front” dari perang melawan terorisme semakin terlihat jelas. AS telah menempatkan Asia Tenggara menjadi salah satu prioritas dalam kebijakan luar negeri-nya setelah sekian lama kawasan ini menghilang dari layar radar AS. Sebagai kawasan dengan tingkat prioritas kepentingan yang tinggi, maka AS perlu memastikan kehadiran kekuatan militernya di Asia Tenggara untuk menjaga kepentingan-kepentingan tersebut.


[1] Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, “Kampanye AS dan Dunia Internasional untuk mengakhiri Terorisme global”, (Washington D.C: Departement Of State, 2001), hal. 8 
[2] The National Security Strategy of The United States of America.2002 hal 5
[3] Ibid. hal 6
[4] Loc. cit.
[5] Sheldon W. Simon, “Southeast Asia and the U.S. War on Terrorism”, laporan untuk pertemuan ke-23 Simposium Pasifik, National Defense University, Washington D.C, 21-22 Februari 2002, hal. 27, http://www.nbr.org/publications/analysis  diakses 2 April pukul 20.00 WIB
[6] Joseph Gerson, “The East Asian Front of World War III”, Desember 2001/Januari 2002, http://www.afsc.org/pwork/0112/011214.htm , diakses 2 April 2012 pukul 20.10 WIB
[7] Pernyataan Lengkap Deplu RI tentang JAT. http://news.detik.com/read/2012/02/24/114656/1850682/10/pernyataan-lengkap-deplu-as-soal-jat-organisasi-teroris diakses 2 April 2012 pukul 20.30 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process