Transnational Crime and Terrorism (Persinggungan Diantara Keduanya)


Latar belakang :
Globalisasi yang mewarnai kehidupan masyarakat dunia dewasa ini pada dasarnya adalah fasilitator utama dari berbagai tindak kejahatan/kriminal transnasional, terutama terkait dengan isu terorisme. Meskipun dalam berbagai literatur, konsepsi kejahatan/kriminal dipisahkan dengan konsepsi terorisme namun dalam makalah ini akan dijabarkan penelaahan yang lebih mendalam mengenai sinergi antara kedua konsep di atas dan menunjukkan dengan beberapa kasus bahwa terorisme adalah bentuk nyata dari transnational organized crime yang merupakan produk langsung dari praktek-praktek globalisasi.
II. Kerangka Analisa
Konsepsi Globalisasi, Transnational Crimes, dan Transnational Terrorism
Dewasa ini dunia seakan tanpa batas karena manusia dan barang dapat bergerak dengan mudahnya dari negara yang satu ke negara yang lain. Informasi maupun keadaan yang tengah terjadi di suatu negara pun dapat diakses dengan gampang oleh masyarakat yang hidup di negara berbeda. Masyarakat tidak hanya menjadi bagian dari komunitas suatu negara melainkan juga telah menjadi warga negara internasional yang hidup di perkampungan global. Kondisi inilah yang kemudian dikenal sebagai globalisasi. Secara umum, globalisasi merupakan suatu proses terus menerus, di mana terjadi interkoneksitas dari berbagai bidang yang membuat dunia ini menjadi sebuah tempat tunggal yang dihuni oleh masyarakat dunia.[1]

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan globalisasi yaitunya, internationalization (an intensification of cross-border interactions and interdependence between countries), liberalization (a process of removing government-imposed restrictions on movements between countries in order to create an ‘open’,’integrated’ world economy), universalization (spread of various objects and experiences to people at all corners of the earth), westernization (an Americanized form) dan deterritorialization (a shift in geography whereby territorial places, territorial distances and territorial borders lose some of their previously overriding influences). Singkatnya, globalisasi mengacu pada sebuah proses dimana hubungan sosial secara relatif tidak terkait lagi dengan aspek teritorial geografi sehingga kehidupan manusia berlangsung dalam dunia yang dipandang sebagai sebuah single place (borderless/global social sphere). Global sphere ini merupakan sebuah transborder networks dengan karakter supraterritorial dan transworld[2]

Berkembangnya hubungan-hubungan transnasional sebagai efek dari globalisasi juga berdampak pada kemunculan berbagai tindak kejahatan yang sifatnya juga melintasi negara-negara sehingga disebut dengan transnational crimes.

Istilah transnasionalisme pertama kali muncul di awal abad ke 20 untuk menggambarkan cara pemahaman baru tentang hubungan antar kebudayaan. transnasionalisme adalah sebuah gerakan sosial yang tumbuh karena meningkatnya interkonektifitas antar manusia di seluruh permukaan bumi dan semakin memudarnya batas-batas negara. Menurut Thomas L.Friedman, globalisasi yang menjadi pendorong utama gerakan transnasionalisme adalah sebuah sistem dunia abad 21 yang menitikberatkan kepada integrasi dunia yang tidak mengenal sekat sama sekali. Selain menerapkan konsep pasar bebas, runtuhnya tembok berlin dan munculnya internet merupakan tonggak penting bagi babak baru yang dinamakan globalisasi. Runtuhnya batas negara dan munculnya jaringan yang sangat luas mengakibatkan individu-individu dapat berbuat apa saja di panggung dunia, baik atau buruk tanpa perantara negara. Globalisasi telah membuka kesempatan bagi individu-individu yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kejahatan transnasional.
Menurut Thomas L. Friedman, globalisasi yang menjadi pendorong utama gerakan transnasionalisme adalah sebuah sistem dunia abad 21 yang menitikberatkan kepada integrasi dunia yang tidak mengenal sekat sama sekali. Selain penerapan konsep pasar bebas, runtuhnya tembok Berlin dan munculnya internet merupakan tonggak penting bagi babak baru yang dinamakan globalisasi. Menurut Friedman, globalisasi memiliki tiga landasan keseimbangan: (1) keseimbangan tradisional yang menandai hubungan antar bangsa (nation state); (2) keseimbangan antara suatu bangsa/negara dengan pasar ekonomi dunia (global market); dan (3) keseimbangan antara individu dan negara (individual and the nation state).
Kejahatan transnasional, menurut pendapat yang dikemukakan oleh Bassiouni (1986), bahwa suatu tindak pidana internasional harus mengandung tiga unsur yakni: unsur internasional, unsur transnasional, dan unsur kebutuhan (necessity). Unsur internasional ini meliputi unsur ancaman secara langsung terhadap perdamaian dunia, ancaman secara tidak langsung atas perdamaian dan keamanan di dunia dan menggoyahkan perasaan kemanusiaan. Unsur transnasional meliputi unsur : tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dari satu Negara, tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara dari lebih satu Negara, dan sarana prasarana serta metode-metode yang dipergunakan melampaui batas teritorial suatu negara. Sedangkan unsur kebutuhan (necessity) termasuk ke dalam unsur kebutuhan akan kerjasama antara negara negara untuk melakukan penanggulangan. Dari pengertian Bassiouni ini dapat dilihat bahwa kejahatan transnasional itu adalah kejahatan yang tidak mengenal batas teritorial suatu negara (borderless). Modus operasi, bentuk atau jenisnya, serta locus delic-nya melibatkan beberapa negara dan sistem hukum berbagai Negara.
Secara global, mencuatnya persoalan kejahatan transnasional seperti penyelundupan manusia (human trafficking), peredaran narkoba (drug - trafficking), penyelundupan kayu (illegal logging), aksi-aksi pembajakan, kejahatan internet (cyber crime), terorisme, pencucian uang (money laundering), penyelundupan senjata, dan aneka kejahatan ekonomi internasonal lainnya, hakikatnya merupakan rentetan dari laju globalisasi. Pada dasarnya tidak ada negara yang aman dari ancaman kejahatan transnasional. Namun kejahatan transnasional akan semakin menemukan lahan subur untuk beroperasi di negara-negara di mana state authority - nya berada dalam keadaan lemah. Selain itu, kondisi geografi juga cukup menentukan. Contohnya, posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki garis batas panjang dan terbuka, tentu saja sangat potensial menjadi lahan operasi kelompok kejahatan transnasional. Ada beberapa karakter utama dari kejahatan transnasional yaitunya, kejahatan transnasional biasanya mengambil bentuk kejahatan terorganisasi (transnational organized crimes) yang sulit dibongkar dengan pendekatan penyelidikan hukum semata, kejahatan transnasional melibatkan jaringan-jaringan di beberapa negara serta sebagian besar kejahatan transnasional bermotif  power dan benefit yang menjanjikan keuntungan menggiurkan sehingga dengan mudah merekrut pemain lokal karena terjadinya pertemuan kepentingan.[3]

Dalam banyak kasus, transnational crimes merupakan aksi-aksi yang terorganisir dan sistematik berupa transnational organized crimes. Istilah Transnational Organized Crimes (TOC) merujuk pada UN Convention against Transnational Organized Crime atau yang dikenal sebagai Konvensi Palermo. Kejahatan yang memenuhi karakteristik Transnational Organized Crimes ini yaitunya dilakukan lebih dari satu negara, atau dilakukan di satu negara namun bagian penting seperti persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengendalian dilakukan di negara lain, atau dilakukan di satu negara tetapi melibatkan kelompok kriminal yang terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu negara, atau dilaksanakan di satu negara tetapi berdampak pada negara lain.[4]
Perbedaaan karakteristik tersebut dapat dilihat pada table dibawah ini[5]:
Trans-Crime
·      Continuation business by criminal means
·      Profit centered-objective by illicit business strategies
·      Criminal attack to manage risk and take over market share
·      Specific targets (politicians, law enforcement person, journalist or rivals)
·      Corruptions as major instrument
·      Alliance as stable supplier relations
·      Transactional networks
Terrorist Networks
·      Continuation politics by indiscriminate violence
·      Political organization, although motivated by religious fundamental
·      Terror attack as final result of whole s[6]et activities
·      Maximum psychology impact
·      Elusive distributed networks, implication tend to increase
·      Alliance as transfer ideological and operational task representation
·      Networks cells to carry out attacks
·      Paid a high price for frontal assault
·      Using violence to protect, advance their economic and financial interest or self-exist
·      Using cooperative alliance and transnational networks (agile and highly adaptable)
·      Prison is the perfect place to develop linkages

III. Pembahasan
Globalisasi yang menawarkan berbagai kemudahan dalam kehidupan sekaligus juga menjadi fasilitas bagi berbagai tindak ilegal bahkan melewati batas-batas yurisdiksi negara akan menjadi bentuk ancaman baru terhadap keamanan negara itu sendiri. Selain berbagai tindak kriminal lain, terorisme juga merupakan produk dari marjinalisasi kelompok yang dihasilkan dari globalisasi. Marginalisasi tersebut muncul karena terciptanya kesenjangan antara negara kaya dan negara miskin akibat globalisasi. Secara nyata kelompok teroris di negara yang satu dengan kelompok di negara lainnya mampu membuat jaringan dengan menggunakan peralatan teknologi dari globalisasi, seraya mengabaikan adanya batas-batas negara. Bahkan dengan memanfaatkan globalisasi, kelompok terorisme mendapat kemudahan akses pendanaan, baik yang legal seperti melalui berbagai kelompok usaha dan lembaga-lembaga non-profit maupun kelompok bisnis ilegal. Tersebarnya ide terorisme dengan semua kegiatannya semakin memperluas ancaman teror. Peristiwa Bom Bali 2002 merupakan bukti bahwa terorisme global merupakan ancaman keamanan nyata bagi dunia.[7]

Pada dasarnya, terorisme bukanlah hal baru, sebab bila merujuk pada tindakan kekerasan untuk menyebarkan ketakutan masal, hal itu telah dilakukan pada abad I Masehi. Saat itu kelompok sekte Yahudi yang dikenal dengan nama Zealot berjuang melawan kekaisaran Romawi di Judea dengan cara membunuh warga biasa di siang hari di tengah kota Yerusalem. Pembunuhan dilakukan oleh sicarii atau orang-orang bergolok yang menyembunyikan sica atau golok di balik jubahnya. Dalam aksinya mereka juga tidak segan-segan menculik petugas kuil demi mendapat tebusan serta menggunakan racun dalam skala besar. Istilah teror pertama kali dikenal pada zaman revolusi Perancis. Regime de le terreur dipakai untuk menyebut pemerintah hasil Revolusi Perancis tahun 1795 yang menggunakan kekerasan secara brutal kepada orang-orang anti-pemerintah. Istilah ini semakin banyak digunakan pada 1970-an. Ketika itu teror yang terjadi berskala nasional atau lingkup domestik saja. Namun seiring perubahan tata dunia, teror pun meningkat skalanya menjadi global.[8]

Puncaknya adalah tragedi 9/11 pada 2001 lalu di AS dimana sejak saat itu isu terorisme menjadi agenda utama dalam sejumlah pertemuan organisasi kawasan maupun organisasi internasional. AS menjadi target serangan karena dinilai sebagai negara yang aktivitasnya mengkerdilkan sekelompok orang tertentu. Namun tidak pernah dapat diprediksi sebelumnya bahwa teroris melancarkan aksi jauh di luar AS, meskipun targetnya adalah simbol-simbol eksistensi AS beserta negara-negara sahabatnya. Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 seakan-akan membuka mata masyarakat internasional, bahwa kegiatan terorisme bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Sebagai contoh untuk kawasan Asia Tenggara saja beberapa kelompok pemberontak yang kerap menggunakan kekerasan sehingga menyebarkan ketakutan di masyarakat. Pasca tragedi 9/11 di AS, terorisme  tumbuh pesat di Asia Tenggara. Hal tersebut didukung dengan kondisi topografi kawasan Asia Tenggara yang memiliki ribuan pulau-pulau kecil sehingga menyulitkan penjagaan pantai. Apalagi ada banyak hutan di Asia Tenggara yang kemudian dijadikan kamp pelatihan bagi para teroris. Berikut ini adalah beberapa kelompok pemberontak dan teroris yang ada di Asia Tenggara:[9]
No
Kelompok
Negara
Tujuan
Keterangan
Status
1
Pattani United Liberation Organization PULO
Thailand
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam
Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan Abu Sayyaf Group (ASG)

2
Guragan Mujahideen Islam Pattani
Thailand
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam
Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan AQ and JI

3
Wae Ka Raeh
Thailand
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam
Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan AQ and JI

4
Hmong Guerilla
Laos
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalis

5
Cambodian Freedom Fighters (CFF)
Cambodia
Politik lokal


6
Khmer Rouge
Cambodia
Politik lokal


7
Karen National Union
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalis

8
Kachin Defense Army
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalist

9
Eastern Shan State Army
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalist

10
Ommat Liberation Front
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalis

11
Kawthoolei Muslim Liberation Front
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalis

12
Muslim Liberation Organization of Burma
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalis

13
Jemaah Islamiyah
Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Kamboja
Membentuk Negara Islam di Asia Tenggara
Motivasi keagamaan, terkait dengan AQ
Dimasukkan dalam daftar organisasi teroris oleh AS dan PBB
14
Abu Sayyaf Group (ASG)
Filipina Selatan
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam
Motivasi keagamaan, terkait dengan AQ
Dimasukkan dalam daftar organisasi teroris oleh AS
15
Moro Islamic Liberation Front (MILF)
South Phillipines
Tuntutan Otonomi, pemisahan diri, dan pembentukan negara Islam
Motivasi keagamaan, terkait dengan JI

16
Moro National Liberation Front (MNLF)
Filipina Selatan
Tuntutan Otonomi, pemisahan diri
Ethnonationalis

17
New People’s Army
Filipina
Politik lokal
Komunis
Dimasukkan dalam daftar organisasi teroris oleh AS

Dari table diatas, ada beberapa organisasi teroris yang dapat diklasifikasikan sebagai transnational organized crimes diantaranya adalah Jemaah Islamiyah, kelompok Abu Sayyaf dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) . Ketiga kelompok ini memiliki keterkaitan langsung dengan jaringan terorisme internasional yaitunya Al-Qaeda dan telah memiliki jaringan operasi maupun struktural di berbagai negara.

Jema’ah Islamiyah (JI)

PBB telah menetapkan Jamaah Islamiah sebagai organisasi terorisme internasional dan merupakan bagian dari jaringan Al-Qaedah. Al-Qaeda memulai infiltrasinya melalui orang-orang radikal Indonesia yang berada di Malaysia. Pada tahun 1992 Abdulah Sungkar mendirikan Jamaah Islamiah setelah ia bertemu dengan Osama bin Laden di Afganistan dan menetapkan secara resmi bahwa Jamaah Islamiah adalah Assosiate Group dari Al-Qaeda. Selama di Malaysia Al-Qaeda mengembangkan Jamaah Islamiah menjadi suatu PAN ASIA NETWORK.. Kelompok ini berakar dari Daulah Islamiah/Darul Islam, yang mengumandangkan suatu perjuangan jihad untuk membentuk Daulah Islamiah  yaitu suatu Republik Islam yang mencakup Thailand Selatan, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam dan Philipina Selatan.. Darul Islam berkembang di akhir tahun 1940an dan terus berupaya melawan pemerintahan RI. Pada tahun 1969, Abu Bakar Ba’asyir bersama dengan Abdullah Sungkar diduga melakukan operasi untuk mengembangkan Darul Islam. Menurut PG Rajamohan dalam tulisannya tentang JI, di era pemerintahan Soeharto, Ba’asyir pernah dijebloskan ke penjara tanpa peradilan karena dinilai membahayakan. Setelah keluar dari penjara, Ba’asyir memilih pergi ke Malaysia pada 1985 dan menjadi guru mengaji. Saat itulah dia dianggap sebagai pendiri JI, di mana pengikutnya tersebar hingga di luar Malaysia. Ba’asyir bahkan merekrut sukarelawan untuk berjuang melawan Brigade anti-Muslim Soviet di Afghanistan. Pada 1990, Ba’asyir bertemu Hambali, seorang pria yang menginginkan berdirinya kekhalifahan Islam di Asia Tenggara yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunai dan Kamboja. Kemudian Ba’asyir menjadi pemimpin politik organisasi tersebut, sedangkan Hambali menjadi pemimpin militer. Bahkan Hambali mendirikan perusahaan Konsojaya untuk memfasilitasi pencucian uang sebagai bentuk dukungan pada keuangan dan logistik JI. Meski demikian Ba’asyir menyatakan dirinya tidak terkait dan tidak tahu menahu tentang JI. Selain itu, JI juga mendukung gerakan Islam di seluruh dunia. Berdasar laporan AS, banyak pemimpin JI yang mendapat pelatihan di camp teroris Pakistan dan Afghanistan. Karena itulah mereka memiliki hubungan dekat dengan Al Qaeda dan Taliban. Lebih dari itu, Al Qaeda juga diyakini sebagai sumber pendana utama bagi JI dan menyediakan logistik untuk mendukung kegiatan teroris.[10]

Di Asia Tenggara, JI dibagi dalam 4 wilayah operasi, yakni Mantiqi 1 (Malaysia, Singapura dan Thailand Selatan), menitikberatkan pada pendanaan. Mantiqi 2 (Indonesia: Jawa dan Sumatera), dititikberatkan sebagai wilayah jihad, Mantiqi 3 (Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia Timur, Indonesia: Kalimantan dan Sulawesi), dititikberatkan sebagai daerah pelatihan., dan Mantiqi 4 (Australia), menitikberatkan pada aspek ekonomi dan pendanaan sebagaimana dapat digambarkan sebagai berikut:

 
Sumber: Nasir Abas (Mantan Anggota Jamaah Islamiah)
Tujuan utama dari JI adalah membentuk negara Islam yang meliputi Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan Filipina. Aksi teror yang dilakukan JI seperti terlihat dalam pengeboman di Bali dan di Jakarta adalah tipikal Al Qaeda, di mana yang menjadi target serangan adalah kepentingan AS dan sekutunya. Sejak tahun 2000, JI aktif melakukan teror yang antara lain dengan melakukan pengeboman di Bali pada 2002 dan 2005, pengeboman Kedubes AS di Jakarta, pengeboman Hotel JW Marriott Jakarta pada 2004, dan yang terbaru adalah pengeboman Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott Jakarta pada pertengahan 2009. Deplu AS menyatakan, pada 2001 diperkirakan ada 200 kegiatan yang dilakukan anggota JI di Malaysia. Di saat yang sama, pemerintah Singapura memperkirakan total anggota JI hampir 5.000 orang.[11]

JI sebagai sebuah aksi terorisme transnasional telah beroperasi dan membangun kamp-kamp pelatihan di beberapa Negara Asia Tenggara bahkan hingga ke Afghanistan dan terkait langsung dengan Al-Qaeda. Jaringan transnasional JI ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber: Nasir Abas (Mantan Anggota Jamaah Islamiah)


Sumber: Nasir Abas (Mantan Anggota Jamaah Islamiah)

Dari gambar-gambar di atas dapat ditegaskan bahwa JI adalah sebuah gerakan terorisme yang telah beraksi melintasi batas-batas kedaulatan Negara terutama untuk kawasan Asia Tenggara.

Abu Sayyaf Group (ASG) dan Moro Islamic Liberation Front (MILF)
Kelompok Abu Sayyaf terbentuk pada 1991 dan berlokasi di Filipina selatan. Pendirinya adalah Abduragak Abubakar Janjalani yang tewas tertembak oleh polisi pada 1998. Pemimpin selanjutnya yakni Khaddafi Janjalani pernah masuk dalam daftar teroris paling dicari oleh FBI sebelum tewas pada 2006. Jumlah anggotanya kadang menurun dan di waktu lain meningkat tajam, bahkan pernah tercatat ada 4.000 orang yang menjadi anggota aktif. Tujuan kelompok ini adalah mendirikan negara Islam di Mindanao Barat dan di Kepulauan Sulu untuk selanjutnya mendirikan pan negara Islam di Asia Tenggara. ASG dikenal sebagai kelompok separatis paling keras. Mereka menggunakan teror untuk mendapatkan keuntungan finansial ataupun dalam menyerukan jihad. Bahkan kelompok ini tidak segan-segan mengunakan cara-cara yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kriminal murni seperti menculik, mengebom, membunuh, dan juga melakukan pemerasan serta terlibat dalam perdagangan obat-obat terlarang untuk mendanai aksi-aksi mereka. ASG ditengarai memiliki keterkaitan dengan JI karena mereka pernah memberikan tempat perlindungan bagi anggota JI dari Indonesia yang menjadi buron. Aksi kekerasan di Filipina juga dilakukan kelompok separatis Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang beroperasi di Mindanao, Kepulauan Sulu, Basilan dan Jolo. Sejak 1978 kelompok ini telah melakukan pemberontakan bersifat militer terhadap pemerintahan Filipina. Anggota organisasi ini sebelumnya tergabung Moro National Liberation Front (MNLF). Pemisahan dilakukan karena MNLF bersedia berdamai dengan pemerintah. Seperti halnya dengan ASG, MILF juga memiliki hubungan istimewa dengan JI. MILF telah memberikan izin untuk dilakukannya latihan militer bagi anggota JI di kamp-kamp yang dimilikinya. Kelompok ini juga kerap memberikan bantuan kepada ASG yang beroperasi di Basilan dan Jolo.[12]
Secara detail, interaksi dan keterkaitan antara kelompok-kelompok terorisme transnasional tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :[13]

ASG
MILF
JI
ASG pernah memberikan tempat perlindungan bagi anggota JI dari Indonesia yang menjadi buron.
MILF telah memberikan izin untuk dilakukannya latihan militer bagi anggota JI di kamp-kamp yang dimilikinya.
Mantiqi 3 yang juga meliputi Filipina Selatan memiliki hubungan dekat dengan MILF dalam mendapatkan senjata dan bahan peledak untuk mendukung pelatihan dan operasi.
AQ
Pendiri ASG adalah teman dari petinggi AQ, Osama bin Laden dna telah mengikuti pelatihan pada akhir 1980 di dekat Khost, Afghanistan.
Pada Desember 1991 hingga Mei 1992, seorang anggota Al Qaeda mendapat tugas melatih anggota ASG untuk membuat bom.
MILF pernah mengirimkan sekitar 700 anggotanya untuk mengikuti pelatihan militer dan bergabung dengan mujahidin di Afghanistan.
MILF mendapatkan bantuan pelatihan dari AQ yang dilakukan di Mindanao dan Afghanistan.
Salah satu anggota AQ membuat organisasi amal di Filipina untuk menyediakan bantuan melalui pendanaan pembangunan di bawah kontrol MILF.


KESIMPULAN

Dunia dewasa ini dihadapkan pada situasi dimana aktor-aktor non negara melakukan aksi-aksi lintas negara secara negatif yaitu organisasi kejahatan dan jaringan terorisme menjadi ancaman baru bagi keamanan negara dan keamanan internasional. Organisasi kejahatan transnasional dan terorisme ini sangat rasional dalam perilakunya dan menaruh kepercayaan pada struktur jaringan. Terdapat sejumlah kesamaan dan perbedaan terhadap keduanya. Sistem negara yang didominasi politik internasional sejak Westphalia 1648, mempunyai karakter selalu berperang dan adanya evolusi dari norma diplomatik dan konvensi. Negara memiliki kelemahan ketika menghadapi ancaman yang datang dari non-state actor dan transnational actor. Pemberontakan yang dilakukan oleh Iraq merupakan kumpulan dari kelompok pribumi yang memiliki kesamaan nasib akibat penindasan asing. Keberlanjutan pemberontakan tersebut menunjukkan kekuasaan militer konvensional tidak serta merta diandalkan untuk menjaga stabilitas politik negara.
Salah satu contoh nyata yang dapat memperlihatkan sinergi antara organisasi kejahatan transnasional dengan terorisme adalah jaringan Jamaah Islamiah dimana jaringan ini telah beroperasi melintasi batas-batas negara, terutama di Kawasan Asia Tenggara seperti  Mantiqi 1 (Malaysia, Singapura dan Thailand Selatan), menitikberatkan pada pendanaan. Mantiqi 2 (Indonesia: Jawa dan Sumatera), dititikberatkan sebagai wilayah jihad, Mantiqi 3 (Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia Timur, Indonesia: Kalimantan dan Sulawesi), dititikberatkan sebagai daerah pelatihan., dan Mantiqi 4 (Australia), menitikberatkan pada aspek ekonomi. Selain itu, camp pelatihan jaringan ini juga telah tersebar di negara-negara operasi utama di Asia Tenggara seperi Malaysia, Indonesia dan Filipina, bahkan pelatihan juga langsung dilakukan di beberapa daerah di Afghanistan yang merupakan pusat jaringan terorisme internasional.
Globalisasi sebagai alat yang berguna secara konseptual, dalam konteks progresifitas intensifikasi dan interaksi transnasional, dalam banyak bidang. Sebaliknya juga dapat dikatakan sebagai sejumlah isu dan permasalahan yang awalnya merupakan wilayah nasional, secara nasional dikenal dan menjadi isu global, akibat adanya peningkatan kapabilitas untuk memindahkan persoalan melintasi batas wilayah. Globalisasi telah mengekspansi manusia, mendorong mereka untuk mencari kesempatan diluar komunitas dan batas wilayah mereka, sehingga menciptakan peredaran ide yang terlalu banyak melalui teknologi dan komunikasi melalui mekanisme internet, telekomunikasi dan travel networks. Namun penerimaan globalisasi tidak selalu bersifat positif, dan dapat diidentifikasi beberapa hal yang bersifat negatif sebagai dampak globalisasi. Bagaimanapun, globalisasi telah menciptakan ketidakseimbangan global, regional dan internal. Globalisasi selalu menyoroti persoalan di luar kapasitas negara, termasuk ekonomi, politik, kesehatan, kriminalitas, terorisme, pelarangan senjata konvensional maupun senjata penghancur missal. Dalam hal ini globalisasi telah meghasilkan ancaman keamanan terhadaap komunitas dan individu yang mempunyai karakter terbuka.
Kejahatan transnasional yang melibatkan jaringan-jaringan di beberapa negara mengakibatkan perlunya kerjasama regional dan internasional di tingkat regional dan internasional. Untuk itu diperlukan kerjasama internasional terutama pertukaran data dan informasi dengan rekayasa dengan negara lain. Dalam kaitan ini, Departemen Luar Negeri sebagai focal point kerjasama internasional seharusnya mendapat dukungan semua pihak dalam melaksanakan one door policy terkait permasalahan tersebut. Peningkatan kerjasama antar penegak hukum di tingkat nasional seperti kepolisian, kejaksaan, imigrasi, bea cukai, serta kementerian keuangan terutama berkaitan dengan pemantauan dan analisa pergerakan arus keluar masuk warga negara asing dan aliran dana yang mungkin digunakan membiayai kejahatan transnasional juga menjadi kebutuhan.


[2] Scholte, Jan Aart. 2001. The Globalization of World Politics, dalam John Baylis dan Steve Smith,eds, The Globalization of World Politics; An Introduction to International Relations 2nd ed. Oxford: Oxford University Press. h. 14-15
[3] Purwono, Andi. Kejahatan Transnasional dan Human Security, dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0604/19/opi03.htm, diakses tanggal 6 november 2010
[4]  Sinaga, Lidya Christin. Diskusi Kejahatan Transnasional Bersama Deplu, dalam http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kegiatan/125-diskusi-kejahatan-transnasional-bersama-deplu, diakses tanggal 6 November 2010
[5] Sinaga, Lidya Christin. Diskusi Kejahatan Transnasional Bersama Deplu, dalam http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kegiatan/125-diskusi-kejahatan-transnasional-bersama-deplu, diakses tanggal 6 November 2010
[6] Williams, Phil. 2006. Strategy for a New World: Combating terrorism and transnational Organized Crime

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process