KEBIJAKAN KEAMANAN NASIONAL REPUBLIK TURKI TERHADAP TERORISME

I.                   Pendahuluan
Amerika Serikat kini adalah satu-satunya negara superpower di dunia, dan perjuangan melawan terorisme telah menjadi prioritas nomor satu bagi negara tersebut. Namun Amerika sebenarnya minim pengalaman dalam melawan terorisme, karenanya pengalaman negara-negara lain menjadi modal pelajaran yang utama dalam menyusun kebijakan melawan terorisme.  Perjuangan panjang dan sulit negara Inggris dalam melawan IRA (Irish Republican Army) dan ekstrimis Islam domestic, pengembangan kelengkapan kontraterorisme Perancis sejak pengeboman oleh teroris di Metro pada medio 1990-an, serta adaptasi kebijakan kontra terorisme Turki terhadap penghormatan hak asasi manusia dan sekaligus tetap mengandalkan intervensi dan intelijen,  menjadi modal utama  assessment  negara-negara dalam penyusunan kerangka kebijakan kontra terorisme, tidak terkecuali Indonesia.
Pasca serangan 9/11 seluruh dunia mulai menaruh perhatian yang sungguh-sngguh terhadap fenomena terorisme. Negara-negara seperti Turki, Inggris dan Spanyol telah berhadapan dengan masalah tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Dengan mempelajari karakteristik negara-negara tersebut dalam menghadapi keunikan terorisme pada masing-masing negara akan memberikan pelajaran dan pengalaman yang berharga bagi pembuat kebijakan terkait penanganan terorisme.
Dalam makalah ini, focus utama lesson learned bagi upaya penyusunan kerangka kebijakan kontra terorisme negara-negara, berkaca pada pengalaman Turki dalam melawan terorisme di negaranya. Seperti disinggung sebelumnya Turki telah berjuang melawan terorisme kurang lebih selama 40 tahun terakhir dengan jumlah korban sekitar 4000 jiwa. Bertolak dari pengalaman tersebut dan atmosfer sistem politik dunia yang semakin demokratis, maka Turki mengembangkan strategi kebijakan kontra terorisme yang lebih ramah terhadap hak asasi manusia sementara di sisi lain tetap mengandalkan intervensi dan intelijen sebagai alat utamanya.
Pembahasan  makalah ini diawali dengan perspektif negara Turki mengenai kemunculan awal terorisme. Ali Ozdogan, seorang polisi Turki, dalam makalahnya mencoba untuk mencari faktor global, sosial dan politik mana yang mempengaruhi suplai dari pengikut organisasi terorisme, dalam konteks global. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, ali mengusulkan model penelitian multi variasi yang mencakup tiga jenis kaftor yang diduga berkaitan dengan suplai pengikut terorisme, yaitu struktur sosial, institusi politik dan konteks kapital global. Dari segi terorisme global, setelah menganalisa data yang didapat dari 28 negara antara tahun 1991-1997, ditemukan bahwa faktor institusi dan posisis sebuah negara dalam sistem global sangat perpengaruh dalam penciptaan organisasi terorisme di negara masing-masing.[1] Ali mengatakan sesungguhnya banyak literature yang membahas mengenai pertanyaan yang diajukan dalam menjelaskan kemunculan terorisme tersebut meskipun dalam sudut pandang yang berbeda, namun menurutnya terdapat inkonsistensi pada masing-masing literature dalam menemukan jawaban dari pertanyaan penelitian tersebut. Inkonsistensi tersebut menyangkut perhatian terhadap hasil penelitian meskipun dilakukan dengan pengukuran yang belum valid. Oleh karenanya dalam makalahnya, Ozdogan mencoba untuk memecahkan masalah akar permasalahan terorisme dengan menganalisa struktur sosial, politik dan posisi negara dimana terorisme tersebut berasal, serta dengan mengasumsikan bahwa jumlah insiden yang terjadi mencerminkan kuantitas terorisme dan jumlah korban yang muncul mengindikasikan kualitas dari serangan terorisme. Analisa Ozdogan menggunakan teori deprivasi relative oleh Gurr[2]. Temuan empiris yang didapat dalam penelitian Ozdogan adalah bahwa struktur politik dan posisi sebuah negara dalam sistem global sangat menentukan karakteristi kemunculan terorisme di dalamnya. Oleh karenaya, pada hakekatnya hal ini menimbulkan harapan bagi usaha kontraterorisme bahwa lebih mudah untuk merubah institusi politik dibanding struktur sosial masayarakat dalam sebuah negara untuk menghindari ataupun mengurangi kemunculan terorisme[3].
Pada pembahasan selanjutnya mencoba untuk menunjukkan kesuksesan turki dalam menghadapi terorisme melalui liberalisasi politik yang dipicu oleh terbentuknya Uni Eropa, meskipun Turki kini menghadapi ancaman terabrukan dari terorirsme yang dilakukan oleh kaum separatis Kurdi. Ancaman keamanan yng dihadapi oleh Turki secara tradisional adalah berupa ancaman teroris oleh tiga kelompok yaitu kelompok Kiri, radikal Islam dan separatis Kurdi[4]. Kelompok Kiri mulai menyimpang secara besar-besaran pada akhirPerang Dingin. Sementara disisi lain penggabungan sejumlah partai politik Islam ke dalam satu wadah pada masa ferormasi demokrasi di akhir 90-an dan awal tahun 2000 telah menyebabkan terorisme Islam domestic melemah dan termarginalkan. Akan tetapi, meskipun Kurdi telah mendapatkan kebebasannya, namun PKK (organisasi yang berada di balik gerakan separatis Kurdi) telah mengalami peningkatan pergerakan dengan memanfaatkan kemerdekaan Kurdi untuk melakukan re-organisasi dan menguatkan kembali gerakan-gerakan terorisme Islam.

I.                   Sejarah dibalik terorisme Turki
Kekaisaran Ottoman menjadi penguasa dan power yang paling dominan bagi beberapa negara di Eropa selama berabad-abad. Namun pada akhir abad ke- 19, pasca kekalahan pada Perang Dunia I, kekaisaran tersebut kehilangan kekuasaannya dan jatuh sehingga pada akhir 1920-an memberikan kesempatan bagi Republic Turki untuk berdiri. Pada awal pembentukannya Turki menghadapi tiga jenis ancaman bagi negara tersebut. Secara internal, fundamentalisme agama dan separatism etnik menjadi batu sandungan bagi negara tersebut. Sedangkan bahaya invasi Soviet ke Turki menjadi ancaman eksternal yang dihadapi. Selama periode 1920-1930 an, kebijakan domestik Turki berfokus pada pengimplementasian kebijakan de-islamisasi, de-arabisasi dan reformasi Barat atau dikenal dengan Kemalism dan dimaksudkan untuk mendekatkan masyarakat Turki dengan dunia Barat. Militer Turki memainkan peranan penting bagi negara tersebut. Mereka diberi hak veto pada pertemuan Dewan Keamanan Nasional, menguasai pemerintahan dan mendesain konstitusi baru (1960-1983) dengan tujuan membendung negara dari ketiga ancaman utamanya. Militer pada akhirnya berperan dalam mengakhiri perjuangan terorisme dengan melakukan invasi secara besar-besaran pada awal 1980-an.
Pada tahun 1950 sistem multipartai diresmikan, hal ini mengakibatkan demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan buruh pekerja, sehingga melakukan demonstrasi illegal yang sporadic. Pada tahun 1959, pasukan pemerintah Turki membunuh seorang demonstran dan sebagai hasilnya aksi pemogokan dan demonstrasi meningkat, terutama pada akhir 1970-an. Sejak Desember 1975 hingga April 1983 muncul sebanyak 40.073 serangan terorisme yang kebanyakan terjadi di kota-kota besar. Hal ini menyebabkan 319 orang terbunuh pada tahun 1977. Jumlah ini meningkat menjadi 1.095 pada tahun 1978 dan 1.362 pada tahun 1979. Diantara tahun 1978 hingga 1980 sejumlah 5.000 orang terbunuh, 822.632 senjata dan 5.454.925 amunisi diamankan[5].
Terorisme telah menjadi bagian dominan dari agenda sosial politik sejak tahun 1960-an. Kelompok teroris muncul karena hal berikut[6]:
a.       Urbanisasi yang terjadi di dalam masyarakat pedesaan akibat kemiskinan yang terjadi di wilayahnya;
b.      Peningkatan pengangguran dan kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat;
c.       Pergerakan pemuda yang terjadi secara internasional;
d.      Peraturan baru yang diadopsi pada konstitusi 1961 yang memberikan legalitas yang lebar bagi kebebasan berbicara dan berorganisasi;
e.       Problem Kurdi
Data yang dirilis menunjukkan hubungan antara latar belakang pendidikan dari mereka yang telah ditahan terkait dengan terorisme di Turki, sebagai berikut[7]:
- Pengangguran:  42.5%
- Pelajar: 12% 
- Pekerja/Buruh: 14% 
- Pegawai negeri: 5.5% 
- wirausahawan: 26%
Bila ditelusuri lebih lanjut, latar belakang pendidikan orang tua pelaku sebagai berikut:
- Buruh dan pegawai negeri: 29% 
- Petani: 24% 
- Pensiun: 14% 
- Wirausahawan: 33%.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa kebanyakan organisasi terorisme beranggotakan mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Salah satu alasannya adalah karena hukum di Turki memberikan hukuman yang lebih ringan disbanding orang dewasa. Alasan lainnya adalah karena pemuda lebih mudah untuk di doktrin.
Pada tahun 1990-an, Turki berhadapan dengan tiga masalah yaitu krisis ekonomi, stabilitas politik dan terorisme. Kekacauan domestik dan imbas dari situasi internasional menyebabkan Turki pada medio 1990-an menjadi negara yang kacau balau. Pada periode tersebut, aktivitas terorisme yang pada awal 1980-an telah dibasmi dengan kudeta militer menguat kembali. Hal ini didukung dengan kembalinya pemerintahan sipil dan aturan-aturan sipil yang ada di dalamnya.  Secara garis besarnya aktivitas terorisme oleh organisasi illegal pada garis besarnya meliputi separatism Kurdi, Islam radikal dan golongan Marxis (Left-wing). Gerakan separatism Kurdi yang dipelopori oleh Partiya Karekeren Kurdistan (PKK) menjadi ancaman utama yang dihadapi oleh pemerintahan Turki. Tujuan utama kelompok separatis Kurdi adalah untuk mewujudkan negara Kurdi yang independen di selatan negara Turki yang didominasi oleh suku Kurdi. Harapan utama mereka adalah untuk mengembangkan wilayah yang mencakup didalamnya Irak Utara, Syria Utara dan Iran Barat. PKK bertanggung jawab atas sebagianbesar kasus terorisme dan telah menelan korban sebanyak lebih dari 35.000 jiwa sejak pertengahan tahun 1980-an. Perubahan peta serangan juga terjadi pada tahu 1990-an, dimana sebelumnya aktivitas terorisme mereka sebagian besar terjadi di timur dan selatan Turki, kini bergeser ke pusat kota dan organisasi Turki yang berkedudukan di luar negeri (kebanyakan di Eropa Barat).[8]
Hampir semua organisasi terorisme menggunakan kematian sebagai hukuman bagi yang mengkhianati organisasi. Semua kelompok terorisme menggunakan berbagai sarana media massa sebagai ebntuk komunikasi dalam mempublikasikan ideology dan mencari dukungan, mulai dari menyebarkan rekaman, membangun siaran radio, mengoperasikan kanal TV dari luar negeri, menerbitkan jurnal dan surat kabar, membuat halaman web, untuk menyampaikan pesan dan propaganda kepada publik hamper semua kelompok teroris bertujuan untuk menghancurkan sistem legal dan rejim politik pemerintahan Republik Turki. Organisasi berbasis agama biasanya menyerang restoran dan took yang memperjualbelikan alcohol. Organisasi sayap kiri menyerang pasukan keamanan, bangunan dan mobil, membunuh pejabat pemerintahan, eks-militer dan eks pasukan keamanan. Beberapa kelompok Kurdi beroperasi dengan membunuh pejabat pemerintahan termasuk guru dan ulama yang bekerja di timur dan tenggara provinsi Turki.
Kelompok teroris membekali anggotanya dengan pendidikan militer yang mencakup tehnik membunuh, perampok, serangan bersenjata dengan tiba-tiba, mempersiapkan bom dan Molotov, perang gerilya, penyamaran dan intelijen, menculik pejaat penting, pengelabuan public dan pasukan keamanan, termasuk tehnik pengobatan. Keseluruhan organisasi memperoleh dana baik dari operasi illegal maupun langkah-langkah legal.

II.                Kontra-Terorisme Republik Turki
Turki telah berdampingan dengan teroris sejak negara tersebut berdiri pada tahun 1923. Tiga permasalahn utama yang dihadapi oleh negara tersebut adalah fundamentalisme agama, separatism etnis Kurdi dan dominasi komunisme Soviet. Ketiganya telah memunculkan serangan terorisme, terutama pada masa pergerakan mahasiswa pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Meskipun pada 12 September 1980 kudeta militer telah mengakhiri pergerakan terorisme, namun  kembalinya peraturan sipil pada 1983 memunculkan lagi aksi-aksi terorisme.  Restorasi pemerintahan sipil memungkinkan organisasi terorisme terdahulu melakukan knsolidasi dan memunculkan organisasi-organisasi baru. Hinga akhir Maret 1983 12.307 orang tertangkap, 7.200 orang dihukum, dan 650 orang dalam pengawasan akibat dicurigai. Pada periode 12 September 1980 hingga 15 Agustus 1984 tidak terjadi aksi terorisme. Namun pada 15 Agustus 1984, PKK kembali melancarkan serangan yang pertama kerhadap militer dan pemerintahan di Eruh-Sirnak. Sejak saat itu kejadian terorisme terus meningkat.
Source: Directorate General of Security Affairs[9]
Perkembangan terorisme pada tahun 200-an menunjukkan bahwa meskipun Turki telah membawa beban berat dalam upaya perlawanan terhadap terorisme selama bertahun-tahun, namun sebenarnya resiko ancaman terorisme periode millennium sebenarnya mengalami penurunan[10]. Hal ini dikarenakan organisasi terorisme melemah sejak penangkapan dan kematian para pemimpinnya dalam operasi keamanan serta proses reformasi demokrasi yang menyebabkan integrasi partai islam dengan partai konservatif.  Selain itu, keruntuhan Soviet juga menumbangkan paham komunisme sehingga memutus aksi terorisme beraliran kiri. Peran aktif Turki di dunia Barat, baik dalam upaya kerjasama kontra terorisme dan perbaikan ekonomi juga membatasi ruang gerak dan perkembangan teroris domestik.
Namun begitu, aktivitas terorisme PKK masih saja berlangsung pada masa-masa demokrasi dan reformasi Turki meskipun provinsi di Tenggara Turki, yang menjadi akar tuntutan, telah mengalami perubahan dan normalisasi kehidupan. Setelah pasukan keamanan membunuh 14 militan PKK pada 26 Maret 2006, PKK mengatur demonstrasi di Dirbiyan dan provinsi di tenggara Turki lainnya dengan menggunakan wanita dan anak-anak sebagai garis terdepan. PKK kemudian meledakkan 4 buah sarana transportasi public di Istanbul. Serangan ini mengakibatkan 15 nyawa melayang, baik akibatb peledakan bus maupun demonstrasi yang menggunakan wanita dan anak-anak sebagai tameng. Kemunculan kembali PKK dan serangannya menampakkan bahwa meskipun negara berhasil menumpas ancaman terorisme namun negara gagal dalam kebijakan pemerataan pembangunan, terutama di bagian tenggara Turki. Disparitas regional menjadi masalah nyata yang dihadapi oleh Turki, dimana sebagian besar provinsi di selatan dan tenggara Turki memiliki penduduk yang lebih miskin dibanding wilayah lainnya. Reformasi demokrasi dalam beberapa tahun terakhir memperluas kebebasan warga untuk berbicara dan tidak ragu-ragu menujukkan tuntutan mereka, tidak terkecuali bagi PKK dalam meuntut kemerdekaan. Pasca tertangkapnya Ocalan (pendiri PKK) pada 1 Januari 1999, PKK melakukan perubahan metode dan pola gerakan serta serangan, yang mencakup perubahan definisi ideology, strategi, struktur organisasi  dan tujuan akhir mereka.
Source: S. Ozeren and H. Cinoglu / The Turkish Counter-Terrorism Experience, hal 158
Kunci sukses keberhasilan Turki melawan terorisme oleh Suleyman Ozeren dan Huseyin Cinoglu terletak pada keberhasilan Menteri Dalam Negeri dalam melakukan diplomasi dan pekerjaan untuk menemukan akar permasalah terorisme di negaranya. Aktivitas kontra terorisme di Turki dikendalikan oleh Menteri Dalam Negeri. Dibawah Mendagri, terdapat dua struktur yang bertanggungjawab melaksanakan operasi anti-terorisme, yaitu Polisi Nasional Turki (bertanggungjawab terhadap perkotaan) dan gendarmerie (bertanggungjawab di pedesaan). Sementara itu tanggungjawab kontra-terorisme diserahkan kepada Badan Intelijen Nasional (MIT- Milli Istihbarat Teskilati) bersama dengan departemen intelijen dari Kepolisian. Karena organisasi teroris aktif dan bergerak baik di perkotaan maupu di pedesaan, maka Directorate of Counterterrorism Coordination atau Directoral General of Security Affair (DGSA) dibentuk oleh perdana menteri untuk efektivitas dan efisiensi koordinasi diantara ketiga lembaga tersebut[11]. Fungsi kontraterorisme yang dipercayakan kepada Kepolisian, diterjemahkan ke dalam tiga departemen yang dimilikinya, yaitu Departemen Anti Terorisme, Departemen Intelijen dan Departemen Operasi Spesial seperti Densus di Indonesia). Organisasi pepartemen ini dibentuk dengan dua struktur organisasinyayang pertama adalah unit pusat yang berkedudukan di Ankara, yang disebut departemen dan yang kedua adalah divisi dari departemen tersebut di perkotaan dan pedesaan. Departemen tidak memiliki posisi superior dari divisi perkotaan maupun pedesaan. Namun departemen di Ankara memfasilitasi koordinasi dan kolaborasi diantara departemen dan daerah. Departemen melakukan administrasi personil, koordinasi pendidikan dan pelatihan, dan perantara komunikasi diantara divisi dan daerah.
Departemen Intelijen Kepolisian melakukan pengumpulan datamelalui aktivitas intelijen di dalam Turki untuk didistribusikan kepada departemen terkait. Densus bertanggung jawab terhadap operasi melawan target teroris, dengan kuasa penggrebekan baik di kota maupun desa. Departemen anti terorisme bertanggungjawab dalam kontra terorisme secara umum, mengidentifikasi dan menangkap pelaku yang mendukung maupun yang berhubungan dengan teroris, dengan menggunakan metode penyadapan, yang dibenarkan oleh undang-undang.
Turki menggunakan berbagai variasi pendekatan untuk menumpas terorisme, dan yang paling efektif adalah diplomasi dan upaya yang menekankan pada usaha memahami akar permasalahan terorisme. Diplomasi Turki melibatkan hubungan bilateral, namun mengalami kendala seiring dengan tidak adanya dukungan/perhatian baik dari AS maupun Uni Eropa. Diplomasi Turki hanya berhasil terhadap Syria yang memaksa Ocalan, untuk pergi dari negara tersebut. Kerjasama yang dilakukan dengan berbagai NGO dalam menggali sumber terorisme, komunitas penegak hukum mencoba untuk membangun kepercayaan diantara komunitas yang terkena dampak aktivitas terorisme maupun kontra terorisme[12].
Selama beberapa tahun terakhir, demokratisasi di Turki telah mengalami peningkatan yang baik. Pemerintahan Turki mempersiapkan Undang-Undang Anti Terorisme yang menambah masa hukuman bagi seseorang yang membuat atau mendukung organisasi terorisme, membatasi beberapa kebebasan pers dan individu serta memperluas kekuasaan pasukan keamanan dalam perang melawan terorisme. Beberapa poin mengenai Undang-Undang Anti Terorisme di Turki meliputi:
a.       Pimpinan ataupun perumus organisasi terror akan menghadapi hukuman 10-15 tahun penjara sementara pengikutnya akan diganjar 5-10 tahun penjara;
b.      Mereka yang mengungkap nama-nama yang tergabung dalam pasukan keamanan ataupun yang menyebarkan pernyataan para teroris diancam hukuman 1-3 tahun;
c.       Pemilik surat kabar yang mengungkap berita tentang pasukan keamanan ataupun menyebarkan pernyataan teroris akan dikenakan denda finansial;
d.      Surat kabar yang terbukti menjadi sarana bagi propaganda teroris akan ditutup;
e.       Mereka yang menggunakan symbol yang dimiliki teroris, atau menutupi wajah mereka saat berdemonstrasi (yang dianggap berhubungan dengan para teroris) akan dihukum 1-3 tahun;
f.       Orang tua yang anaknya terlibat dalam urusan terorisme, juga tidak luput dari hukuman;
g.      Pasukan keamanan diperbolehkan menyadap telefon seseorang yang diduga terkait dengan jaringan teroris;
Pemerintahan Turki membentuk badan baru yang diharapkan lebih efisien dalam membantu pemerintah menghadapi isu-isu terkait keamanan dan terorisme, dengan nama Directoral General of Security Affair (DGSA) yang akan bekerjasama dengan secretariat Dewan Nasional Anti Terrorisme yang dibentuk oleh Perdana Menteri Bulen Ecevit pada 1998. DGSA memiliki kompetensi operasional meliputi:
a.       Mengelola dan berkoordinasi dengan badan-badan yang berhubungan dengan keamanan dalam negeri, pertahanan negara dan anti terorisme (Angkatan Bersenjata, Intelijen Nasional, Commandership Keamanan Pesisir dan Perbatasan, serta Departemen Luar Negeri);
b.      Menyelidiki, menganalisa dan mengevaluasi isu-isu terkait keamanan dalam negeri, pertahanan negara dan anti terorisme serta kemudian menyusun proposal kebijakan;
c.       Mengkompilasi, mengevaluasi dan mengoordinasikan pembentukan penentuan keadaan darurat negara dan kewajiban bela negara;
d.      Bertindak sebagai sekretariat negara yang berhubungan dengan isu-isu terkait (keamanan dalam negeri, pertahanan negara dan anti terorisme);
e.       Melakukan tugas serupa yang diperintahkan oleh Perdana Menteri.
Selain hal tersebut, Perdana Menteri Tayyip Erdogan secara spesifik menekankan perlunya kebijakan terkait permasalahan Kurdi, seperti yang telah dilontarkan Suleyman Demiral (ex-predana menteri 1990-an), terpisah dengan topik terorisme secara nasional. Dalam sebuah pernyataan, Erdogan secaar tegas menjelaskan bahwa pemerintah memiliki prinsip terhadap permasalahan Kurdi yaitu:
a.       Pemerintah Turki tidak akan menyangkal seluruh masalah yang terkait eksistensi mereka dan berniat untuk menyelesaikan dengan menggunakan perangkat demokrasi sesuia dengan yang diamanatkan konstitusi;
b.      Namun pemerintah tidak akan menerima bahwa problem Kurdi tersebut dijadikan pembenaran untuk menggerakkan kekerasan, melakukan pembunuhan besar-besaran dan membunuh pasukan keamanan[13].

Kesimpulan
Reformasi demokrasi pada akhir 1990-an dan awal 2000 yang menghasilkan integrasi partai Islam seperti Partai Refah dan partai konservatif seperti AKP telah menyebabkan aktivitas Islam radikal terpecah dan termarginalisasi sehingga melemah. Pada akhirnya pemerintahan Turki kini hanya berhadapan dengan ancaman dari separatism etnis Kurdi yang berkaitan dengan aktivitas terorisme PKK.
Selama beberapa tahun terakhir, Turki telah melakukan beberapa langkah penting dalam mempersiapkan dan melaksanakan demokratisasi serta menyebarluaskan kebebasan seperti yang diamanatkan Uni Eropa. Setelah insiden terorisme yang dilakukan oleh etnis Kurdi yang didukung oleh PKK pada tahun 2006, pemerintahan Turki melakukan langkah penegakan hukum, menciptakan badan-badan dan organisasi, menyusun kebijakan publik terkait dengan langkah-langkah perlawanan terhadap terorisme, meninggalkan cara-cara invasi militer seperti yang pernah dilakukan pada tahun 1980-an. Ancaman yang dialami oleh pemerintahan Turki kini hanya separatism etnis Kurdi dan kaitannya dengan aktivitas teroris PKK. Kunci penanggulangan terorisme PKK adalah memisahkan asal dari PKK dan warga Turki yang berasal dari Kurdi. Oleh karena itu dengan memecahkan persoalan Kurdi, PKK tidak akan memupyai alasan untuk menggunakan kekerasan dan aktivitas teroris, sehingga akan termarginalkan.
Pengalaman kontraterorisme Turki dapat dikatakan unik karena beberapa alasan. Yang pertama, negara tersebut berada di kawasan paling tidak stabil dan penuh kekerasan. Turki sangat dipengaruhi oleh persoalan seperti Palestina dan Israel, Balkan, Kaukus, Syria, serta Iran dan Irak. Polisi Turki dan aktor keamanan lainnya telah berhadapan dengan berbagai organisasi teroris dengan berbagai ideology, taktik, struktur organisasi, strategi financial, dan profil anggota. Pengalaman ini sangat berguna bagi negara-negara lain dalam menghadapi masalah keamanan. Kebijakan kontra terorisme Turki menunjukkan bahwa upaya penanggulangan terorisme Turki dilandaskan pada penegakan hukum (meskipun pernah menggunakan militer pada tahun 1980-an) dengan aktor keamanan Kepolisian Nasional, Gendarmerie dan Badan Intelijen Nasional, serta adanya desentralisasi kewenangan antar departemen maupun daerah.
Kunci dari keberhasilan perlawanan terhadap terorisme adalah kemampuan menyeimbangkan keamanan dengan kebebasan individu. Melakukan pembatasan kebebasan hakiki seseorang dengan melakukan langkah keamanan yang berlebihan hanya akan menyebabkan keunggulan pada pihak teroris. Yang harus dilakukan adalah menemukan langkah-langkah pengemangan strategi keamanan nasional melawan terorisme tanpa membatasi kebebasan individu dan hak asasi yang dimiliki, sehingga pada akhirnya, memudahkan dalam menemukan kelompok terorisme di antara masyarakat dimana mereka merasa termarginalkan akibat kebijakan tersebut.


Daftar Pustaka
-          Banu Eligur. 2006. Turkish American Relation Since 2003 Iraqi War: A Troubled Partnership in Middle East Brief. Massachusetts: Brandeis University
-          National Counter-Terrorism Strategies.  R.W. Orttung and A. Makarychev (Eds.) IOS Press, 2006
-          -------------------, Ahmed Sozen. Terrorism and The Politics of Anti Terrorism in Turkey. Halaman 131-144
-          ----------------, Ali Ozdgan. Where Do Terrorist Come From. Halaman 21-39
-          -------------------, Ali Caglar. Religion based Terrorism in Turkey. Halaman 145-154
-          ------------------, Suleyman Ozeren & Huseyin Cinoglu. The Turkish CounterTerrorism Experience. Hal 155-164
-          Rodoplu, Ulkmen et al. (2004) “Terrorism in Turkey.”  Prehospital and Disaster Medicine Web site. At:  http://pdm.medicine.wisc.edu/18-2pdfs/new152RodopluTurkey.pdf


[1] Ali Ozdgan. Where Do Terrorist Come From, in National Counter-Terrorism Strategies.  R.W. Orttung and A. Makarychev (Eds.) IOS Press, 2006 hal 21
[2] Ibid, hal 23
[3] Ibid, hal 39
[4] Ahmed Sozen. Terrorism and The Politics of Anti Terrorism in Turkey (in National Counter-Terrorism Strategies.  R.W. Orttung and A. Makarychev (Eds.) IOS Press, 2006) hal 131
[5] Ibid, hal 146
[6] Ali Caglar. Religion based Terrorism in Turkey (in National Counter-Terrorism Strategies.  R.W. Orttung and A. Makarychev (Eds.) IOS Press, 2006) hal 150
[7] Ibid, hal 152
[8] Ibid, hal 136
[9] Ibid, hal 147
[10] Rodoplu, Ulkmen et al. (2004) “Terrorism in Turkey.”  Prehospital and Disaster Medicine Web site. At:  http://pdm.medicine.wisc.edu/18-2pdfs/new152RodopluTurkey.pdf hal 158
[11] Suleyman Ozeren & Huseyin Cinoglu. The Turkish CounterTerrorism Experience (in National Counter-Terrorism Strategies.  R.W. Orttung and A. Makarychev (Eds.) IOS Press, 2006) hal 161
[12] Ibid, hal 162
[13] Ibid, hal 142

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process