HUMAN RIGHTS ABUSE IN THE NAME OF COUNTER TERRORISM (Case Study of Xinjiang Uighur Autonomous Region)


I.   Pendahuluan
Tragedi 11 September WTC telah mengingatkan akan ancaman terhdap perdamaian dan keamanan dunia yang selalu muncul secara tidak terduga dan eksplosif. Teror hadir dan menjelma dalam kehidupan sebagai momok yang sewaktu-waktu dapat memicu gangguan nasional dan global sebagai sumber dan akibat dari pengaruh globalisasi di zaman yang serba canggih dan modern ini. Logis jika terdapat tuntutan mengenai perlunya peningkatan kewaspadaan dari berbagai pihak, khususnya penegak hukum untuk bertindak secara seksama terhadap fenomena terorisme yang muncul. Tidak ada jaminan bahwa negara dengan sistem keamanan yang canggih lantas aman dari gangguan terorisme. Amerika Serikat contohnya, harus menerima realitas memalukan sekaligus memilukan dari serangan terorisme, dengan menjadi sasaran utama sekaligus pembuktian bahwa negara adidaya tersebut gagal menjalankan fungsinya sebagai polisi dunia yang melindungi sekaligus menjamin keamanan dunia.
Aksi terorisme dilakukan selain sebagai upaya menarik perhatian juga menciptakan disorientasi atau upaya mengurangi bahkan menghilangkan kekuasaan pemerintah di dalam negara[1]. Persoalan inilah yang menjadikan seluruh negara di dunia menaruh perhatian yang sangat intensif terhadap upaya kontrateror di dalam negeri masing-masing. Dan perdebatan mengenai konsep dan strategi yang paling efektif untuk memerangi terorisme sama berlarutnya dengan menentukan definisi terorisme itu sendiri. Bahkan pada kasus Uighur Xinjiang, kelompok presenter membeberkan asumsi dari penyalahgunaan fenomena terorisme dan kontra terorisme berhadapan dengan kepentingan pemerintah China dalam mengurangi kemampuan bahkan cenderung berusaha melenyapkan generasi Uighur. Hal ini yang reviewer coba kaji lebih jauh, apakah penerapan strategi kontra terorisme terhadap bangsa Uighur sudah sesuai, sama halnya dengan kesesuaian untuk mengganggap bahwa Uighur adalah teroris.
Dalam sebuah laporan yang berjudul The Sociology and Psichology of Terrorism: Who become a terrorist and Why, divisi riset Federal AS menyebutkan ada lima ciri dari kelompok teroris yakni separatis-nasionalis, fundamentalis-religius, religious baru, revolusioner-sosial dan teroris sayap kanan. Klasifikasi ini didasarkan menurut latar belakang politik dan ideology. Sementara National Advisory Committee dalam The report of The Task Force on Disorders and Terrorism, membagi terorisme dalam lima tipologi, yaitu:
1.   Terorisme Politik, mencakup perilaku kriminal yang dilakukan dengan kekerasan yang didesain terutama untuk menimbulkan ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis;
2.   Terorisme non politik, dilakukan untuk tujuan keuntungan pribadi, termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi;
3.   Quasi Terrorism, menggambarkan aktivitas yang bersifat incidental untuk melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya menyerupai terorisme tetapi tidak mempunyai unsure esensial;
4.   Terorisme Politik Terbatas, menunjuk pada perbuatan terorisme yang dilakukan untuk tujuan atau motif politik tetapi tidak merupakan bagian dari suatu kmpanye bersama untuk menguasai pengendalian negara;
5.   State Terrorism, terjadi di suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan.
Menentukan karakteristik dan tipoligi terorisme mana yang terjadi di Xinjiang, menjadi dasar awal penentuan strategi kontra terorisme di seluruh dunia. Reviewer tidak melihat aspek tersebut diungkapkan dengan lebih dalam oleh para presenter dalam menganalisa kasus Uighur, sehingga asumsi yang diajukan tidak dilengkapi dengan literature dan bukti kuat yang dapat dijadikan bahan pendukung. Terorisme mengikuti proses logika tertentu, sehingga dapat dianggap menunjukkan rasionalitas kolektif. Mengkomparasikan literature dengan fakta yang terjadi di lapangan dapat memperjelas dan memperkuat asumsi yang disampaikan. Pada tahap ini asumsi reviewer, bahwa aksi yang dilakukan oleh Uighur di Xinjiang adalah cirri dari teroris separatis nasionalis akibat penindasan yang dilakukan oleh negara terhadapnya.
Perebutan kekuasaan dengan jalan kekerasan telah menjadi akar budaya masyarakat China sejak jaman dinasti. Pengalaman historis bangsa ini mencerminkan paradigma Hobbesian begitu melekat dan akan terus berkembang di negara dengan kultur kekerasan sebagai jalan perebutan kekuasaan. Pilihan untuk menggunakan strategi hard power akan menjadi rasional akibat terjaganya tradisi kekerasan tersebut. Kalkulasi dari segi apapun akan menjawab strategi ini efektif dalam mengatasi gejala dan manifestasi ancaman terorisme seperti yang dilakukan oelh pemerintah China terhadap Uighur di Xinjiang, terlebih China adalah negara sosialis dimana segala upaya penciptaan stabilitas keamanan negara adalah hal yang sah untuk dilakukan.
Demokratisasi yang berkembang pesat menciptakan persepsi bahwa strategi penciptaan stabilitas keamanan dengan cara-cara represif rentan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berakibat pada tingginya angka kekerasan militer terhadap masyakat sipil yang cenderung tidak mengindahkan doktrin ius ad bellum. Penyelesaian konflik melalui negosiasi, kompromi diplomatik dan supremasi hukum dipandang lebih efisien dan efektif tanpa menabrak prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. quo desiderat pacem, praeparet pacem.
Memilih strategi yang tepat bergantung pada cara pandang terhadap terorisme, sebagai bentuk dari kejahatan murni atau taktik perang yang digunakan oleh organisasi untuk mencapai tujuan politik. Pengadilan HAM dunia dibawah naungan PBB mempunyai andil di dalam mengungkap kejahatan kemanusiaan yang ada pada kasus China dan Uighur, reviewer menduga pemerintah China yang justru melanggar prinsip-prinsip HAM terhadap warga negaranya guna kepentingan nasional, dengan menjadikan alasan pelanggaran HAM sebagai dasar pengenaan suku minoritas tersebut ke dalam kategori teroris. Sejauh yang reviewer tahu, kasus Uighur lebih mengarah pada separatisme akibat perlakukan diskriminatif China terhadap bangsa Uighur dengan melakukan hasutan sentiment nasionalisme politik. Penerapan kebijakan kontra terorisme dalam mengatasi separatisme sangatlah tidak tepat. Reviewer sependapat dengan jalan analisa kelompok presenter dengan menyandingkan fakta pelanggaran HAM dengan Strategi Global Kontra Terorisme PBB dalam resolusi 60/288, sehingga dapat diketahui pihak manakah yang lebih banyak melakukan pelanggaran HAM. Selain itu ada pula resolusi Dewan Keamanan nomor 1390. Fakta-fakta yang tersedia pada kasus Xinjiang kurang kuat dalam membuktikan klaim China atas aksi terorisme yang dilakukan oleh bangsa Uighur. Tragedy 11/9 dan kebijakan yang keluar dalam upaya kontra terorisme telah jauh disimpangkan dari target awal penanganan terorisme itu sendiri. Setiap negara (termasuk juga China) mengikuti perang AS terhadap terorisme dan pada waktu yang sama menindas rakyatnya sendiri. Apabila hal ini terus berlanjut, kontra terorisme akan menjadi ancaman yang lebih besar dibanding ancaman terorisme itu sendiri (State making terrorism itself). Apabila sebuh negara sudah masuk apda kondisi dimana kontra terorisme sema destruktifnya dengan terorisme itu sendiri, maka layak dimasukkan dalam kategori Rouge State. PBB sebagai salah satu pilar pencipta ketertiban dunia, selayaknya tegas dalam menentukan sikap dan ikut serta dalam penanganan kasus dimana pemerintah sebuah negara yang justru melakukan aksi kekerasan yang melanggar prinsip HAM kepada rakyatnya. Peran kuat negara China dewasa ini dalam sektor ekonomi akan menjadi hambatan bagi negara-negara lain dan peradilan HAM dunia guna mengambil langkah investigasi dan penerapan sanksi kepada yang bersangkutan. Anomali perlakukan ini memang tidak dapat dihindari, namun komitmen seluruh negara dalam melakukan upaya kontra terorisme dengan berprinsip pada demokratisasi dan HAM hendaknya dijadikan kekuatan dalam mengatasi keraguan negara-negara lain dan PBB dalam menjatuhkan sanksi kepada negara adidaya, China dan AS
Menghadapi eskalasi ancaman terorisme diperlukan gerak cekatan para penegak hukum dalam menangani aksi, namun juga harus dipertimbangkan ada tidaknya pelanggaran terhadap HAM dan prinsip-prinsip yang berkembang universal sebagai konsekuensi perkembangan demokrasi di dunia. Hal yang lebih penting, sebuah negara tidak boleh salah dalam menentukan dan melakukan klaim terhadap sebuah kasus maupun etnis tertentu sebagai teroris. Dalam mengimplementasikan kebijakan, negara juga diawasi gerak-geriknya oleh negara lain, sebagai patokan persepsi dalam melakukan hubungan diplomatik, sehingga kesalahan cara pandang pemerintah terhadap kasus dan penyelesaiannya yang terjadi di dalam negara akan mempengaruhi hubungan itu sendiri. Pada akhirnya, seperti juga von Hippel, Krueger menyebut pentingnya para pengambil kebijakan di pemerintah lebih cerdik dan memakai smart power, yakni menggabungkan pendekatan soft power dan hard power dalam gerakan anti dan kontra terorisme. Para penguasa harus memahami masalah ekonomi dan sosial agar setiap keputusan yang mereka buat tidak merugikan rakyat. Sedangkan, para petinggi militer dan kepolisian harus mengetahui latar belakang munculnya kriminalitas, insurgency, radikalisme dan terorisme sebelum menembakkan sebutir pelurupun.




DAFTAR PUSTAKA

·         Beckmen, J.2007. Comparative Legal Approaches to Homeland Security and Anti Terrorism. Cornwall: MPG Book
·         Borum, R. 2004. Psychology of terrorism. Tampa: University of South Florida. 2005
·         Crenshaw, Martha. 1981. The Causes of Terrorism. Comparatives Politics. Vol. 13 No. 4
·         Harmon, Christopher C. Terrorism Today: Strategies of Terrorist Groups
·         Horgan, John. “The Social and Psychological Characteristics of Terrorism and Terrorists,” in Root Causes of Terrorism: Myths, Realities and Ways Forward, edited by Tore Bjorgo. London: Routledge, 2005 pg.44
·         Reich, Walter.(1990) Origin of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind. New York: Cambridge University Press
·         Smelser, N.J “The Faces of Terrorism: Social and Psicological Dimension”. Princeton University Press. 2008
Sinai, Joshua. New Trends in Terrorism Studies: Strengths and Weakness, in Ranstorp, Magnus. 2007. Mapping Terrorism Research:” State of art,gaps and future direction


[1] Neumann R. Peter & M.L.R. Smith. The strategy of Terrorism

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process