Evolusi Jaringan Terorisme di Indonesia


Peristiwa bom GBIS Kepunton, Solo 25 September 2011, membuat perhatian aparat hukum dan pengamat kembali beralih kepada isu kelompok-kelompok radikal dan terkait dengan aksi terorisme tersebut. Analisa yang dilakukan sebagian besar pengamat dan aparat penegak hukum di dalam mengungkap kasus tersebut seringkali dilakukan dengan mencari keterkaitan jaringan di antara para anggota maupun kelompok-kelompok teroris. Jika ditelusuri lebih jauh akan dapat diungkap mengenai bagaimana fenomena terorisme lahir, berkembang dan berevolusi di Indonesia.  International Crisis Group (ICG) chapter Indonesia, dibawah koordinator Sydney Jones, menaruh perhatian yang sama dalam menjelaskan fenomena evolusi jaringan terorisme di Indonesia dan mensosialisasikan hasil temuannya untuk membantu penanggulangan terorisme.
Pada sesi kuliah umum 27 September 2011, Sidney, merekonstruksi pemahaman yang beredar mengenai akar-akar terorisme global yang diajukan oleh para pengamat gerakan terorisme. Baginya, persoalan terorisme sangat kompleks. Dalam diskusi, Sidney selain menyampaikan gagasan-gagasannya, ia juga memaparkan beragam data penting mengenai gerakan terorisme di Indonesia. Untuk melengkapi gagasannya, Sidney memaparkan fenomena evolusi terorisme di Indonesia dengan pendekatan mengutip Louise Richardson yang mengkaji terorisme berdasarkan sumber dan tujuan gerakan terorisme (what terrorists want) secara kompleks. Kemudian Sidney juga meminjam gagasan Marc Segemen untuk memahami metode perekrutan, model jaringan dan cara mereka mengorganisir organisasi dan aksi-aksinya. Sydney melihat terdapat 3 (tiga) sumber utama dalam terorisme di Indonesia yaitu DI/TII dan anak jaringannya, Konflik Ambon dan Poso, dan makin beragamnya tehnik sosialisasi ideologi salafi jihadi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi.
Menarik bagi reviewer untuk menganalisa jaringan terorisme dari latar sejarah selain untuk memahami kejadian pada masa kini maupun memprediksikan gejala dan serangan ke depan, juga dapat mengungkapkan bahwa terorisme tidak muncul dari keadaan yang kosong, namun manifestasi dari reaksi terhadap trend politik atau lingkungan sosial yang ada pada masa tertentu dalam sejarah. David Rapoport mengusulkan model yang paling berguna untu memahami terorisme modern yang didasarkan apa yang dideskripsikan sebagai “alur sejarah”, dengan gagasan “ siklus dari aktivitas pada periode tertentu, siklus dengan karakter fase kontraksi dan ekspansi.
Terorisme, telah ada sejak dahulu, hampir dapat dipastikan merupakan bagian sifat dari peradaban. Hal ini karena Ariel Merari menegaskan terorisme adalah alat, bukan tujuan,karena terorisme adalah bentuk paling simple dari perjuangan bersenjata, selalu muncul baik pada saat terdapat konflik maupun tidak, yang cukup akut untuk menghasilkan kekerasan guna keinginan mereka.
Sejarah menunjukkan semenjak kemerdekaan hingga saat ini radikalisme telah mewarnai perjalanan Indonesia sebagai entitas negara. Ancaman radikalisme tersebut bervariasi dalam ideologi dan tujuan politiknya. Ideologi radikalisme agama atau terorisme, mempunyai akar yang panjang. Bermula dari ideologi-gerakan salafisme (wahabi) yang selalu mengalami perkembangan berdasarkan perubahan kondisi sosio-politik dan perselingkuhannya dengan derasnya arus globalisasi. Puncaknya, ideologi tersebut mengubah wajahnya menjadi Salafis Jihadis. Di Indonesia, ideologi tersebut diserap oleh organisasi militan DI/TII yang kemudian semakin radikal dengan bergabungnya beberapa mantan pejuang muslim di Afganistan. Sepulangnya ke Indonesia, mereka meneruskan jihadnya di negerinya sendiri dengan berbekal pengalaman jihad dan ideologi yang mereka pegang dengan mantap. Kemudian mereka mendapat sokongan dari organisasi jihadis radikal Internasional seperti Jamaah Islamiyah dan al-Qaeda. Beberapa organisasi garis keras lainnya juga tumbuh subur melancarkan kekerasan di Indonesia hingga era reformasi. Pada tahun 2000-an, berdiri beberapa kelompok teroris dengan latar belakang yang berbeda seperti perang Irak dan Afganistan (Noordin M.Top cs), konflik komunal di Poso (kelompok Poso), kegiatan kristenisasi di Sumatera (kelompok Palembang), maupun konflik Ambon (Jamaah As Sunnah).
Reviewer sependapat  dengan pandangan Sydney Jones yang menerangkan bahwa evolusi jaringan terorisme, dimulai dari era DI/TII, MMI, KOMPAK, Ring Banten, JAT, Kelompok Aman Abdurrahman, Kelompok Medan, Poso, Bandung, Cirebon, Klaten dan sebagainya, juga menyebabkan terjadinya evolusi pergerakan teroris dan aksinya. Kekerasan ekstremis di Indonesia, seperti bom bunuh diri minggu lalu pada sebuah masjid di Cirebon, bermetamorfosa  menjadi aksi kelompok-kelompok kecil yang bertindak terpisah dari jaringan teroris yang besar-besar, melibatkan pembunuhan dengan target tertentu seperti polisi, orang Kristen atau anggota sekte Muslim minoritas bukan lagi pemboman secara “membabi-buta”. Sejarah juga mengungkapkan masing-masing kelompok teroris berdiri dengan latar belakang yang berbeda, mengadopsi strategi perjuangan dan beroperasi di wilayah yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang erat, dan persinggungan tersebut terjadi pada saat terbentuknya Jemaah Islamiyah (JI). Selain itu, kelompok-kelompok tersebut mempunyai tujuan perjuangan yang sama yaitu untuk menegakkan agama Islam dengan jalan Jihad Qital. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi radikalisme agama semakin berkembang pesat. Gagasan counter-radicalism yang ditawarkan oleh Sydney, menurut reviewer lebih efektif dalam membendung perkembangan indoktrinasi ideology radikalisme agama tersebut, disbanding dengan konsep deradikalisasi. Ideology yang tertanam pada anggota maupun simpatisan kelompok terorisme telah melalui proses penerimaan individu yang panjang, dan penanganan dengan metode deradikalisasi (brainwash) juga memerlukan waktu yang sama. Konsepsi mengenai radikalisme pun perlu ditinjau kembali, mengingat hal tersebut tidak selamanya bersifat negatif. Konteks dan eskalasi radikalisme yang berbeda pada tiap-tiap individu akan berdampak pada tidakan yang berbeda.
Menjadi pekerjaan panjang bagi negara untuk dapat membangun kembali “kekuatannya” mengendalikan gejolak yang ada di dalam negara itu sendiri atas dasar keamanan negara dan perwujudan kesejahteraan sosial serta keadilan, sehingga permasalahan gerakan ini dapat segera dihentikan sehingga tidak melahirkan generasi penerus yang semakin berbahaya, baik karena perkembangan pengetahuan dan teknologi maupun modifikasi ideologi yang lebih ekstrim. Reviewer menggaris bawahi pointer Sydney Jones yang dikutip dari pernyataan walikota New York yaitu “Kejahatan kecil sama pentingnya dengan kejahatan besar”. Hal ini menegaskan agar aparat keamanan hendaknya semakin waspada dan tidak lengah atas situasi keamanan wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu peran serta aktif masyarakat juga diperlukan dalam upaya stabilitas keamanan. Jika terorisme tumbuh dan berkembang melalui jaringan, maka hendaknya masyarakat juga turut memperkuat jaringan sosial sebagai kontrol lingkungan dan menumbuhkan kesadaran serta kewaspadaan terhadap ancaman  yang berpotensi mengganggu keamanan. Selain itu, ide Sydney untuk memprioritaskan pemberantasan korupsi sebagai akar dari semua permasalahan perlu diapresiasi mengingat strategi penanganan terorisme dapat berasal dari berbagai bidang.

Daftar Pustaka
·         Abbas, Nasir.2005. Membongkar Jammah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu
·        Djelantik, Sukawarsini. 2010. Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
·         Hoffman, Bruce.1999.Inside Terrorism. NY: Columbia University Press
·         Merari, Ariel & Y. Braunstein. 1984. Shi’ite in Terrorism. Tel Aviv: Jaffa Center for Strategic Studies Special Report

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process