Refleksi Reformasi Birokrasi

 



Dimulai dari bulan Agustus, seluruh instansi pemerintah akan menyambut “ritual” tahunan, yaitu penilaan implementasi Reformasi Birokrasi dan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah oleh KemenPANRB. Lebih dari 80 Kementerian/ Lembaga (berdasarkan data KemenPANRB), 34 Provinsi dan 514 Kabupaten/Kota (katadata.co.id) akan menjalani “pemeriksaan” atas hasil Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) masing-masing yang telah dikumpulkan pada medio Juni s.d Juli lalu. Pada saat bersamaan, telah dilaksanakan pula self assessment SPBE dan evaluasi pelayanan publik. Pertengahan tahun ini adalah masa serba penilaian, Semangat!!

Jika dihitung, maka telah 12 tahun seluruh instansi pemerintahan telah mengerahkan segala daya dan upaya untuk menghadapi “kontestasi” penilaian reformasi birokrasi sejak hype pertama dirasakan pada tahun 2010. Dalam kerangka Roadmap Reformasi Birokrasi Nasional 2010-2024, perjalanan reformasi birokrasi telah memasuki etape terakhir dengan goals karakter birokrat Indonesia  yang berkelas dunia (world class bureaucracy). Apakah birokrasi Indonesia telah sampai pada kondisi demikian, tulisan kali ini merupakan sebuah refleksi atas gegap gempita hajat nasional seluruh instansi pemerintah.

Dalam paparannya pada acara Entry Meeting tanggal 1 Agustus 2022 lalu, Deputi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan menyampaikan review atas skor nasional evaluasi RB baik di tingkat K/L, provinsi dan Kaupaten/Kota. Pada level Kementerian/ Lembaga, rata-rata skor RB terus mengalami peningkatan sejak 2016 (69,4) hingga 2021 (75,65). Sedangkan pada sisi Pemerintah Provinsi menunjukkan kondisi yang kurang lebih sama, dimulai pada 2016 (56,69) terus merangkak naik hingga tahun 221 (65,63). Terakhir, kondisi berbeda dialami oleh rata- rata skor Kabupaten/Kota yang cenderung stagnan, lebih tepatnya menurun meskipun tipis. Pada tahun 2016 rata-rata skor Kabupaten/Kota mencapai 55,94, naik menjadi 57,72 pada tahun 2017 dan selanjutnya menurun hingga tahun 2021 (54,44). Hal ini menimbulkan pertanyaan selanjutnya. Keberhasilan pada level K/L dan Provinsi apakah menunjukkan keberhasilan pencapaian tujuan RB atau semata karena kegiatan RB pada masing-masing instansi yang cenderung meningkat? Lantas bagimana dengan kondisi pada Kabupaten/Kota? Apakah karena kesalahan persepsi dalam mengejawantahkan tujuan reformasi birokrasi pada level kegiatan atau kendala lain yang sebelumnya tidak dapat ditangkap oleh instrumen penilaian evaluasi reformasi birokrasi? Tulisan ini tidak dalam rangka melakukan kontra penilaian, kontra persepsi ataupun me-negasi-kan konsep reformasi birokrasi secara nasional. Ini lebih mengarah pada pandangan subjektif penulis atas pengalaman dan referensi yang didapat dalam membaca dan meng-eksekusi konsep reformasi birokrasi di sekitar penulis.

Melanjutkan informasi sebelumnya, focus penilaian RB pada tahun ini bagi K/L adalah memastikan pelaksanaan reformasi mampu menjawab isu-isu strategis pencapaian prioritas nasional dan kinerja utama masing-masing K/L. Lalu dimana posisi pemenuhan dokumen bagi komponen pengungkit sebagaimana tertuang dalam Lembar Kerja Evaluasi yang selama ini menjadi “buku saku” implementasi reformasi birokrasi yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi? Hal ini akan menjadi salah satu titik pembahasan selanjutnya dalam artikel ini.

Sebenarnya pada saat bersamaan, selain evaluasi reformasi birokrasi juga dilaksanakan evaluasi atas implementasi dan perbaikan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah pada masing-masing institusi pemerintah. Hal ini akan dibahas dan menjadi kesatuan dalam pembahasan kali ini, karena reformasi birokrasi dan sistem akuntabilitas kinerja merupakan serangkaian “gerakan” yang sifatnya komplementer dan bukan substitusi. Bagaimanapun, Peningkatan Akuntabilitas menjadi salah satu bagian dari Area Perubahan dalam penilaian reformasi birokrasi. Maka membicarakan reformasi birokrasi tidak akan terlepas dari upaya memperbaiki sistem akuntabilitas pada masing-maing instansi pemerintah. Sebaliknya, dengan mengusahakan perbaikan sistem akuntabilitas kinerja instansi maka sebagian pekerjaan implementasi reformasi birokrasi telah dipenuhi. Yang tersisa adalah strategi-strategi lain yang terlihat dalam upaya mempercepat perubahan kondisi menuju lebih baik oleh masing-masing instansi pemerintah.

Sebelum mengupas mengenai kondisi pergerakan reformasi birokrasi yang telah menginjak 12 tahun ini, perlu disampaikan beberapa capaian yang telah direkam oleh KemenPANRB secara umum sebagai berikut:

a.       Sejumlah 46.259 struktur organisasi pada 91 K/L telah disederhanakan dan sebanyak 44.870 jabatan administrasi telah dialihkan ke dalam jabatan fungsional;

b.      Sebanyak 45 Jabatan Fungsional (JF) baru telah tercipta dan 124 JF lainnya diusulkan, sebagai tindak lanjut dari penyederhanaan birokrasi;

c.       Sebanyak 37 Lembaga Non Struktural telah dibubarkan dan diintegrasikan pada K/L yang sesuai;

d.      Hingga tahun 2021, potensi pemborosan APBN/D sebanyak 112 Triliun Rupiah telah dicegah melalui implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang baik;

e.      Sebanyak 2165 unit percontohan pelayanan prima dan anti korupsi telah dibentuk, diantaranya pada institusi penegak hokum;

f.        Sebanyak 59 Mall Pelayanan Publik telah berdiri di berbagai daerah sebagai bagian dari integrasi pelayanan publik

Berbagai capaian tersebut, setidaknya telah menunjukkan adanya perubahan aktivitas birokrat, dari business as usual menjadi business to perform, sebuah istilah yang agaknya akan berubah dan mengalami pergeseran pada tahun mendatang, namun setidaknya relevan dalam penggambaran kondisi saat ini. Hal ini dipengaruhi oleh ekspektasi pemimpin nasional dan isu yang berkembang pada level masyarakat mengenai para birokrat ini. Bahwa mempertimbangkan isu dan harapan masyarakat, Presiden mengharapkan birokrat Indonesia lebih mengutamakan hasil, yang tidak hanya sending program dan kebijakan, namun lebih kepada making delivered, menjamin agar program dan kebijakan yang dijalankan dapat segera dirasakan masyarakat. Hal ini perlu diletakkan sebagai pondasi dan modal para birokrat Indonesia guna memenangkan posisi dalam persaingan internasional sehingga Indonesia tidak tertinggal dalam “kompetisi” global menjadi Negara maju. Oleh karenanya diperlukan birokrasi yang lebih AGILE (diartikan sederhana menjadi lincah, adaptif dan cepat) dalam menghadapi kondisi dimaksud, dengan mencipatakan efisiensi organisasi dan integrasi ketatalaksanaan serta yang tidak kalah penting adalah semakin memaksimalkan dan mengoptimalkan teknologi dalam aktivitas organisasi pemerintahan sehari-hari.

Ekspektasi tersebut seharusnya sudah menjawab mengapa terjadi perubahan fokus penilaian dalam evalusi implementasi reformasi birokrasi secara nasional. Bahwa perubahan dinamika dan ekspektasi telah terjadi tidak hanya pada skala lokal maupun regional, bahkan dirasakan secara nasional hingga internasional. Hal ini juga diakselerasi oleh kondisi pandemi COVID-19 yang telah dihadapi periode 2 tahun terakhir, yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam skala masif tentang bagaimana seorang pegawai dan atau karyawan bekerja dan memenuhi ekspektasi organisasi serta bagaimana orgnisasi yang bersangkutan menyesuaikan target dan sasaran bahkan cara mencapai tujuan dimaksud dantara kodisi global yang tidak pernah dirasakan sebelumnya oleh masyarakat modern.

Bahwa masing-masing instansi pemerintah seharusnya tidak lagi berkutat pada LKE yang menjadi “kitab suci” mengenai bagaimana menyusun, melaksanakan dan melakukan perbaikan baik pada sisi kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumber daya manusia untuk memenuhi harapan program reformasi birokrasi. Sebagaimana penulis telah sampaikan pada artikel sebelumnya, penulis berpendapat bahwa reformasi birokrasi adalah sebuah semangat, bukan merupakan tujuan, pencapaian maupun gerakan yang harus dilaksanakan oleh instansi pemerintah. Reformasi Birokrasi lebih merupakan aura yang mewarnai aktivitas organisasi para birokrat untuk menciptakan, setidaknya, birokrasi yang bersih, akuntabel, melayani dan professional. Sehingga dalam pandangan penulis, tidak tepat, meskipun juga tidak berarti salah, bahwa Reformasi Birokrasi diwujudkan dalam bentuk yang relatif seperti pembentukan organisasi yang merancang, menggodok dan mengupayakan terjadinya gerakan, kegiatan dan pencapaian skor-skor yang dapat mencitrakan diri masing-masing institusi dalam kondisi “telah RB”. Dalam hal ini yang menjadi patokan adalah skor-skor yang tertuang dalam LKE RB, baik pada komponen pengungkit, hasil antara maupun reform, dan hal ini cenderung menjadi harga mati sehingga menghilangkan unsur inovasi dan kreativitas, yang seharusnya lebih mewarnai implementasi reformasi birokrasi.

Hal ini tidak terlepas dari “kekakuan” birokrasi itu sendiri, yang sedari awal disadari oleh Max Weber dalam menjelaskan birokrasi dan administrasi publik yang dikenal sebagai “Weber Theory of Bureaucracy” yang mencoba merumuskan sesuatu yang abstrak mengenai bagaimana seharusnya organisasi yang ideal dibentuk. Weber berkeyakinan bahwa organisasi, dalm hal ini birokrasi, dibentuk oleh sekumpulan atribut dan aturan yang rigid, dioperasikan dalam sistem hierarki yang ketat dengan komunikasi yang terbatas sesuai dengan jabatan, sistem pembagian kerja yang diputuskan oleh satu rangkaian komando sehingga dianggap bahwa manajemen terpusat dan terkontrol adalah yang paling efektif dalam proses pengambilan keputusan dan kegiatan pekerja. Apakah keyakina yang demikian salah? Tentu tidak, Weber telah meletakkan pondasi dalam upaya menjembatani dan mengakomodasi tentang bagaimana mencapai tujuan yang menjadi konsensus bersama dalam wujud pembentukan organisasi. Hingga saat ini hal tersebut masih relevan, apabila belum terbentuk organisasi maupun belum ada konsensus mengenai harapan dan tujuan mana yang akan dicapai dianatar sejumlah banyak yang menjadi ekspektasi masing-masing individu. Namun apabila organiasi telah terbentuk, dan mempertimbangkan dinamika yang dirasakan akhir-akhir ini, maka setidaknya perlu upaya review dan penyesuaian atas apa yang menjadi keyakinan mengenai suatu bentuk organisasi. Bahwa kondisi telah berbeda dari periode terdahulu, ekspektasi semakin berkembang dan berevolusi, terutama pada kondisi post pandemic saat ini, sehingga organisasi perlu lebih beradaptasi, khususnya organisasi pemerintahan atau yang lebih dikenal sebagia birokrasi.

Kekakuan birokrasi, utamanya di Indonesia telah dirasakan puluhan tahun sejak kemerdekaan Indonesia dideklarasikan dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Kabinet dan Organisasi Pemerintahan untuk mengarahkan dan memastikan pencapaian tujuan nasional sesuai bidang tugas masing-masing organisasi. Struktur hirarki dan pola komunikasi yang terbatas, dalam hal ini penulis memandang ”mungkin” menjadi salah satu sebab mengapa reformasi birokrasi bertransformasi dari “keadaan semangat” menjadi sebuah kegiatan yang riil seperti yang kita ketahui bersama selama ini. Bahwa masing-masing individu, diantara masing-masing posisi dan kelas jabatannya, terbatas ruang geraknya, sehingga menyebabkan adanya keterbatasan ide, kreasi dan inovasi, bila tidak boleh diartikan sebagai keengganan, sehingga timbul istilah “nyaman”. Bahwa kondisi tersebut terjadi lebih karena ketakutan apabila melakukan hal tersebut akan dianggap sebagai suatu kesalahan dengan berbagai potensi ancaman dan sanksi. Atau setidaknya hal ini terjadi karena belum dibentuk/tersedianya mekanisme yang adil untuk mengakomodasi kemudahan melakukan ide, inisiatif, kreasi dan inovasi diantara hirarki organisasi dan system kerja serta keterbatasan komunikasi. Bahwa program reformasi birokrasi nasional “barangkali” memang ditujukan untuk mewadahi kondisi dimaksud. Namun apakah benar demikian?

Sepuluh tahun belakangan telah kita lihat masifnya” pergerakan reformasi birokrasi” yang ditandai dengan semakin banyaknya “unit reformasi birokrasi” dibentuk atas nama untuk semakin memudahkan dan me-mainstream-kan impementasi RB diantara kesibukan masing-masing instansi dalam mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan dengan karakteristik tugas dan fungsinya. Telah banyak “kegiatan reformasi birokrasi” dilaksanakan baik dalam lingkup internal maupun meeting-meeting yang diselenggarakan untuk lebih “membumikan” dan sebagai upaya campaign masing-masing instansi dalam kerangka implementasi reformasi birokrasi. Berbagai dokumen dan aturan diterbitkan sebagai tindak lanjut dan berharap hal-hal tersebut menjadi daya ungkit atas skor reformasi birokrasi masing-masing institusi. Apakah salah? Belum tentu, barangkali juga itu benar.

Bahwa dengan panjangnya perjalanan birokrasi dan pemerintahan Indonesia, tentu tidak mudah merubah budaya dan perspektif organisasi dan bahkan individu, mengenai kondisi dan ekspektasi yang telah berevolusi, yang membutuhkan upaya adaptasi perilaku dan cara berpikir kta semua. Bahwa dengan pembentukan unit reformasi birokrasi diharapkan dapat lebih memudahkan dan mempercepat upaya RB, adalah langkah yang tepat. Apabila hal ini disepakati bukan merupakan pengalihan pekerjaan diantara kesibukan lainnya yang telah organisasi jalankan sebelumnya, maka ini adalah salah satu pilihan kebijakan yang telah sesuai. Hal ini juga benar apabila melalui pembentukan unit organisasi, tidak berarti bahwa penetapan target, pelaksanaan rencana aksi dan pencapaian skor adalah hanya tanggungjawab unit organisasi itu saja. Sekali lagi menjadi pendapat penulis bahwa Reformasi BIrokrasi lebih merupakan “belief” dan bukan merupakan kegiatan nyaa untuk mewujudkan perubahan organisasi dan sikap birokrat menjadi lebih baik dari sebelumnya, lebih terlihat dan dirasakan serta mengalahkan ekspektasi masyakarat itu sendiri mengenai birokrasi dan instansi pemerintahan. Melalui semangat melayani yang lebih baik, cara bekerja yang lebih inovatif, program yang lebih kekinian dan sasaran yang lebih realistis. Bahwa reformasi birokrasi adalah sarana yang membantu mempercepat pencapaian tujuan sesungguhnya organisasi tersebut, dan bukannya menjadi salah satu tujuan organisasi itu sendiri.

Bahwa penciptaan dokumen dan pembentukan seperangkat aturan yang ada, lebih diarahkan pada ide, inisiatif, kreasi dan inovasi untuk merubah kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumber daya manusia organisasi itu sendiri dalam menyederhanakan cara bekerja, mempermudah dan mempercepat pencapaian tujuan organisasi, merubah pola pikir dan sikap dari individu yang bersangkutan guna terwujudnya “making delivered” program masing-masing instansi pemerintahan itu sendiri. Kita perlu melakukan evaluasi, apakah aturan yang disusun benar-benar merepresentasikan harapan dan ekspektasi stakeholder dan masyarakat atau justru menjauhkan kita sendiri bahkan memberikan pagar beton yang menciptakan pemisah kita dengan mereka. Apakah dalam rangka mencapai tujuan dimaksud kita telah mengakomodir secara berimbang mengenai reward and punishment yang dibentuk sebagai panduan perilaku birokrasi? Atau justru lebih banyak “jebakan” punishment yang secara tidak sengaja bahkan sengaja kita ciptakan untuk membelenggu inividu itu sendiri dala menyalurkan ide, kreasi, inisiasi dan inovasi  untuk menyederhanakan cara bekerja, memudahkan dan mempercepat pencapaian tujuan serta merubah pola pikir dan perilaku individu itu sendiri. Apakah dokumen yang kita susun, diskusikan dan finalisasikan serta bahkan di-lembur-kan benr-benar yang kita butuhkan, benar-benar jawaban yang kita harapkan? Atau justru kita over ekspektasi dengan dokumen itu sendiri? Atau lembur itu sendiri juga bukan merupakan pilihan yang bijak. Seringkali kita temui pandangan saat ini bahwa “Semakin Banyak dan Semakin Sering kita Lembur, tidak berarti Semakin Berkinerja”. Lembur adalah bagian dari aktivitas kerja, bukan output dari kerja itu sendiri. Itu adalah bagian dari mechanisme bekerja. Namun perlu dilihat kembali, apakah untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud harus diupayakan melalui “overtime”, jangan-jangan lebih karena tidak disegerakan (atau ditunda), jangan-jangan karena tidak cukup sumber daya (baik manusia, dan sumber daya lainnya) yang dimiliki untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud. Atau barangkali reformasi birokrasi menjadi tambahan beban pekerjaan itu sendiri yang mengakibatkan kondisi seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Sehatkah organisasi dan cara bekerja individunya itu sendiri? Hal ini perlu ditelusuri lebih lanjut melalui serangkaian instrumen dan pengukuran yang tidak menggambarkan “business as usual”. Sekali lagi penulis berpendapat bahwa reformasi birokrasi adalah sebuah jembatan dalam mewujudkan kondisi birokrasi sebagaimana penulis telah sampaikan berulangkali, dalam keragka pencapaian tujuan organisasi. Reformasi birokrasi sebaiknya bukan menjdi salah satu bagian dari reformasi birokrasi itu sendiri.

Lantas, apa upaya nyata yang harus dilaksanakan untuk mncapai kondisi dimaksud? Bahwa LKE RB menjadi “buku saku” bagi masing-masing instansi pemerintah dalam menterjemahkan implementasi reformasi birokrasi, dapat menjadi hal yang tetap benar. Namun perlu adanya perubahan cara pandang bahwa hal yang tersebut tidak menjadi kondisi pasti, konstata yang harus diwujudkan dan dibuktikan persis sesuai dengan yang tertulis dalam LKE dimaksud. LKE lebih merupakan guidance, “ancang-ancang” minimal untuk mencapai kondisi organisasi yang diharapkan. Sekali lagi “ menyederhanakan  cara bekerja, mempermudah dan mempercepat pencapaian tujuan, dan merubah pola pikir dan perilaku” (Ultimate Intermediate Result, UIR). Reformasi Birokrasi harus dapat dimaknai dan didefiniskan secara bebas terbuka, “beyond but attributed to” dengan kondisi yang diharapkan, memudahkan dan mengkomodir mekanisme atas ide, inisiasi, kreasi dan inovasi utuk mencapai kondisi UIR dimaksud. Bahwa penilaian atas implementasi reformasi birokrasi yang ada selama ini dapat lebih disederhakan. Indeks-isasi yang telah ada selama ini merupakan hal positif yang perlu dikembangkan lebih jauh, menggantikan beberapa kriteria lainnya yang disalahartikan, tau setidaknya dipahami, sebagai pemenuhan dokumen saja. Hal ini tentu memerlukan pengkajian dan penyusunan yang lebih dalam, namun, perlahan melalui transformasi beberapa kondisi yang diharapkan ke dalam bentuk Indeks Pengukuran (namun tidak boleh terjebak di dalam pemaknaan pemenuhan dokumentasi) akan menciptakan iklim dimana reformasi birokrasi bukan merupakan “beban tambahan” yang harus dijalani oleh instansi masing-masing. Kebijakan untuk memasukkan skor reformasi birokrasi sebagai salah satu indikator kinerja merupakan pilihan sementara dan sederhana yang harus dilalui oleh masing-masing institusi untuk memastikan mereka melakukan aktivitas terkait reformasi birokrasi. Kedepan, apabila instrument yang ada telah matang, dapat menggantikan skor RB yang selama ini menjadi salah satu indikator kinerja. Namun sekali lagi mengingatkan bersama, reformasi birokrasi bukan merupakan tujuan, sasaran maupun gerakan serta kegiatan. Ia adalah semangat dan aura yang harus dihembuskan dan diinternalisasi bersama sebagai sarana mencapai tujuan, bukan bagian dari tujuan. Reformasi BIrokrasi harus lebih diinternalisasikan, terutama kepada masing-masing pimpinan instansi, terutama pimpinan yang terpilih secara politis. Upaya ini perlu dilaksanakan untuk memastikan kesamaan persepsi bahwa reformasi birokrasi bukan merupakan “beban yang mau tidak mau dilakukan”, ia merupakan bagian dari strategi untuk menunjukkan perubahan serta memastikan pencapaian ujuan.

Semoga birokrasi Indonesia kedepan dapat melampaui milestone yang telah ditetapkan yaitu “world class bureaucracy” menjadi “an example of how world class bureaucracy should be”. Hal ini bisa dilaksanakan melalui penciptaan kondisi mendasar diantara individu birokrat yaitu dengan terus mensukseskan program reformasi birokrasi pada posisi masing-masing, terus melakukan perubahan dan perbaikan baik cara berpikir, bersikap dan berperilaku, tidak bosan pada ide, inisiasi, kreasi, dan inovasi, serta menciptakan pribadi yang KEREN (Kreatif, Energik dan REspoNsif) melengkapi pondasi core value ASN yang teah ditetapkan oleh pemerintah yaitu BERAKHLAK (BERorientasi pelyanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif). Terima kasih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process