Paradoks Paradigma dari sebuah Performa

Di suatu kantor, organisasi ini terlihat begitu hebat dan menjadi idaman bagi semua orang untuk bekerja dan meniti karir didalamnya. Rupanya bekerja di organisasi ini telah menjadi suatu prestige tersendiri, dan hal ini telah berlangsung sejak lama, bahkan pada masa pemerintahan Generasi Kedua. Salah satu alasannya, mungkin lebih karena kantor ini mengurusi pengelolaan dana, sehingga dapat diasumsikan banyak pula penghasilan yang didapat (entah asumsi tersebut berasal dari mana dan terus melekat dibenak semua orang). Pada masa kini, kantor tersebut terlihat lebih bersolek, dengan gedung-gedung yang megah, tata ruang yang modern dan rapi, diisi oleh orang-orang dengan paras yang tidak kalah dengan pekerja swasta yang wangi dan parlente, serta daya pikat utama tunjangan yang lebih besar dari organisasi eksekutif manapun di negara ini. Konon, tunjangan ini “hanya” dapat dikalahkan oleh kalangan pembuat keputusan hukum, dengan asumsi agar mereka tidak main mata dan sembarangan memberikan putusan (lagi-lagi paradima asumsi dikedepankan dalam membuat aturan. Diluar kantor para pegawai pengelola dana ini sangat disegani oleh para penjual kartu kredit, real estate dan showroom mobil. Hipotesanya hanya satu, mereka lebih terlihat berduit dibanding pegawai lain, bahwa mereka adalah pegawai tetap dengan penghasilan tinggi sehingga gaya hidup mereka pun dapat diimbangi dengan limit kartu kredit yang lebih besar, rumah dan apartemen yang tersebar dan mobil pribadi yang jika bukan yang termewah maka adalah yang tidak hanya punya 1 jenis saja. Jadilah keangkuhan pegawai ini menjadi, kekakuan sikap dan tutur kata juga menguat. Dengan dalih efisiensi dana, mereka mengatur tiap-tiap pembagian uang tersebut untuk dikelola oleh organisasi lain dengan cermat, tepat dan tetap mengusung prinsip hemat (bahasa halus tingkat tinggi dari pelit). Untuk mereka yang tidak sekedar mengelola pembagian dana, namun juga penghasil, maka ada insentif lebih dibanding departemen-departemen lain dalam organisasi tersebut, sehingga para pegawai ini lebih mendongak keatas dibanding kawan-kwan sejawatnya. Namun para pemimpi (sebutan bagi mereka yang mengidamkan untuk bekerja disana) ini tidak tahu, bahwa dibalik kekakuan dan prinsip hemat mereka, karena uang pula sikap dan prinsip ini dapat dikikis perlahan. Dalihnya pengetatan, tapi masih dapat dinegosiasikan dengan persayaratan tertentu. Alasannya menegakkan peraturan, tapi masih dapat dipilih bagian mana yang sesuai aturan dan bidang mana yang longgar. Diikutsertakan dalam kegiatan sebagai quality assurance, mendapat market share (istlah dari keuntungan yang disisihkan bagaimanapun caranya atas pelaksanaan kegiatan) dengan tehnik tertentu atau yang paling sederhana diajak jalan-jalan yang tentu saja menggunakan bukan uang pribadi, bentuk-bentuk dari persetujuan bersyarat (conditional agreement), penyakit baru yang menular di pemerintahan Generasi Perubahan ini. Paradoks pertama.
Di kantor yang lain, organisasi ini sangat besar dan mendengar namanya saja sudah dapat dibayangkan bahwa spesialisasi mereka adalah penghasil uang yang tidak sedikit. Organisasi ini mengatur, mengelola dan mengeluarkan kebijakan terkait dengan kebutuhan daya. Tidak hanya di dalam negeri, namun juga yang berurusan dengan kebutuhan daya negara lain. Belakangan negara ini pun tiba-tiba menjadi pengimpor dan sangat bergantung pada daya yang dihasilkan oleh negara lain, mendadak kelaparan di lumbung padi. Peribahasa tersebut nampaknya cocok disandingkan atas ironi bidang energi yang menjangkiti negara yang pernah berjaya sebagai eksportir daya. Namun dibalik ironi tersebut, masih tersisa ironi lainnya. Kejayaan negara sebagai salah satu negara eksportir daya terbesar didunia, tidak diimbangi dengan hasil dan manfaat yang didapat dari transaksi tersebut. Dahulu, negara ini adalah salah satu aktor penting bagi tiap-tiap organisasi bidang daya di dunia. Bahkan hingga 2012, negara ini masih ditahbiskan sebagai penghasil L*G terbesar di dunia yang sanggup mensuplai sebesar 20 persen dari kebutuhan L*G dunia. Dengan segala kelebihan tersebut, maka hampir dipastikan penghasilan yang didapatkan juga tidaklah sedikit, sehingga jika dianalogikan pada masa kini, negara ini akan se-kaya dengan Brunai Darussalam, Qatar dan Uni Emirat Arab. 2 negara terakhir dapat disebut sebagai negara kaya baru (setipe dengan orang kaya baru) atas ditemukannya sumber daya baru di kawasan tersebut, yang menjadikan negara-negara di semenanjung Persia ini memiliki ratusan bahkan mungkin ribuan orang kaya baru, dengan kekayaan yang berlimpah dan mobil mewah menjadi pemandangan biasa sehari-hari di jalanan, serta pemerintahannya tidak kalah selalu menghadirkan proyek real estate yang ambisius dan serba “ter-“ didunia. Namun sebaliknya, pemandangan serupa tidak terlihat bahkan tidak sedikitpun dirasakan oleh negara yang akan memasuki tahun ke-69 kemerdekaannya. Dengan cap sebagai salah satu eksportir daya dunia, negara ini tetap dicap sebagai negara berkembang sejak pemerintahan Generasi Kedua, apalagi kini produksi daya sedang menurun dan bahkan harus bergeser posisi menjadi negara pengimpor, walaupun jika ditelusuri sebenarnya bahan mentah daya ini sebagian besar masih berasal dari dalam negeri, namun hanya kalah dari teknologi dan sumber dana pengolahan daya dari negara lain.
Kembali soal organisasi, kantor yang identik dengan urusan eksplorasi dan eksploitasi daya ini memberikan sumbangsih penghasilan negara yang tidak sedikit jumlahnya. Organisasi ini tidak secantik organisasi yang pertama diceritakan di awal, tidak se-menarik dan baru belakangan ini menjadi incaran karir kaum muda. Dikelola dengan sistem yang nyaris tidak berubah dan bahkan terkesan konvensional dengan pola rekruitmen dinasti, organisasi ini memiliki sejumlah departemen dengan pembagian urusan masing-masing. Di salah satu departemennya, unit ini baru dibentuk kurang dari 5 tahun lamanya, tentu dengan harapan yang membumbung tinggi, namun sesuai tradisi (yang berlaku pula bagi organisasi eksekutif di negara ini) karena organisasi baru maaka diisi oleh orang-orang “terpilih” yang mayoritas bukan yang terbaik ataupun baik dan dengan masa depan yang tidak menentu. Baru belakangan ini diisi oleh wajah baru, yang persentase di luar dinasti-nya lebih sedikit dibanding dengan yang dinastinya. Yang lebih mencengangkan, jumlah pegawai non tetapnya mencapai 2/3 dari keseluruhan karyawan di departemen tersebut (yang menunjukkan permasalahan bahwa meskipun telah dilarang namun masih dimungkinkan, dan sebagian besar masuk atas kesaktian orang dalam). Hal ini menjadi lebih berbahaya karena anggaran yang dialokasikan untuk departemen ini tidaklah sedikit, jika tidak bisa dibilang terlalu berlebih. Dibatasi oleh aturan (dibuat sendiri) yang ada, menyebabkan ruang gerak para pegawai tetap menjadi semakin terbatas karena lebih banyak mengurusi target kerja masing-masing (lagi-lagi dibuat sendiri) yang menggunung. Terlalu lama dididik dengan pola “anggaran harus habis”, praktis sebagian pengelolaan keuangan dan kegiatannya diserahkan kepada para pegawai non tetap. Disinilah awal mula terciptanya “bom waktu” bagi kehancuran (dan jika tidak hancur, maka hanya akan begitu-begitu saja) departemen tersebut. Diberi keleluasaan untuk mengolah keuangan, para pegawai non tetap ini menjadi seperti “kerasukan penghasilan”, berlomba-lomba mendapatkan penghasilan sebanyak-banyaknya (dimana pola ini biasanya ada di kalangan sektor profit, namun jika dilihat kembali bukannya pegawai non tetap ini bisa disebut juga pegawai swasta bukan), melakukan perjalanan dinas dengan rajinnya sehingga lebih susah berjumpa dengan mereka dibanding pegawai tetap (beberapa bahkan harus membuat jadwal terlebih dahulu, gila bukan), bertemu dengan pihak rekanan dan mengadakan deal tertentu tanpa pegawai tetap tahu (terkadang pegawai tetap cenderung “dibodohi” dengan kondisi yang penting asal ada setoran dan pemasukan), sementara para pegawai tetap disibukkan dengan pekerjaan “kantoran” mereka, diatur tingkat kehadirannya dengan konsekuensi pemotongan penghasilan, dan dibayar dengan proporsi seadanya. Bom waktu dimulai dengan detenator ketika terdapat perubahan kebijakan dari penguasa eksekutif, melalui skema “Penyusunan/Pembentukan Kembali” proses bisnis berubah, penghasilan diseragamkan, kehadiran diperketat, tambahan penghasilan dibatasi, namun hanya berlaku untuk pegawai tetap. Sementara disisi lain, sejatinya para pegawai non tetap ini memiliki standar gaji yang paling tinggi dibanding pegawai non tetap lainnya di organisasi eksekutif lain, ditambah volume perjalanan dinas yang membuat mata terbelalak (setelah dilakukan rekapitulasi, frekuensinya 3-4 kali lipat dari pegawai tetap) dan permainan belakang dengan rekanan, jadilah mereka memiliki penghasilan bulanan yang fantastis (hasil penelusuran menunjukkan perbandingan 4 kali gaji pegawai tetap, haaaaa). Para pegawai tetap yang dulunya memiliki skema penghasilan yang diatur tersendiri (dengan perbandingan yang wajar dengan pegawai non tetap), kini harus terpaksa menerima skema “template nasional” mekanisme pemberian tunjangan tambahan, terlepas dari berapa banyak penghasilan yang telah disetorkan kepada negara, seberapa besar peran mereka dalam menghasilkan devisa dan perbandingannye dengan pegawai sejenis di organisasi lain bahkan dengan negara lain, semua “pukul rata” dan akhirnya terjadi “penurunan penghasilan”. Kombinasi kata yang selama ini asing di telinga pegawai tetap, tidak pernah terbayangkan, seketika menjadi alergi yang kronis dan mematikan. Terlebih jika pegawai tetap ini dihadapkan dengan realita bahwa pengeluaran harian mereka tidak “ikut turun” seperti penghasilan yang kini didapat, ditambah dengan realita memabukkan berikutnya dimana penghasilan pegawai tetap “kalah” oleh pegawai non tetap (dan tidak bersyarat seperti yang dirasakan oleh pagawai tetap). Bom waktu mulai menunjukkan tanda-tanda meledak, dengan adanya petisi oleh salah satu departemen yang menolak skema penghasilan tersebut dan meminta dikembalikan dengan skema seperti sedia kala. Ledakan yang dapat diproyeksikan adalah kira-kira pada saat dimana para pekerja tidak lagi mau bekerja, dan berubah orientasi menjadi “pemburu penghasilan” dari manapun asalnya, bagaimanapun caranya dan apapun konsekuensinya. Bisa dibayangkan apabila wabah ini menjangkit di organisasi eksekutif lainnya. Penyakit menular kedua, yaitu korupsi berjamaah (congregation corruption). Ironi bagi para idealis yang tidak ingin menjual idealisme mereka demi uang adalah seperti pepatah, “semut pekerja yang dengan lelah mengumpulkan makanan sebutir demi sebutir akhirnya harus mati kelaparan di lumbung sendiri untuk melayani ratu semut”. Paradoks kedua.
Kantor ketiga, mendengar namanya orang membayangkan kebesarannya, perannya dalam mengatasi dan menghadapi setiap situasi genting dan krusial negara, menjadi pemikir strategi, pembisik penguasa dan pembimbing organisasi eksekutif lainnya dalam melaksanakan kegiatan. Oleh karena bidang pekerjaannya, organisasi ini diidentikkan dengan para pekerja berseragam dan terbiasa mengangkat senjata, walaupun sebenarnya didalamnya ada juga pegawai tetap sama seperti yang lainnya. Dibalik kebesarannya, terdapat ironi yang juga tidak kalah besarnya. Didalamnya terdapat banyak sekali intrik politik seperti halnya kata pertama dari namanya, terkadang tidak mengindahkan aturan seperti yang sudah seharusnya ditegakkan sesuai dengan kata kedua, dan minim tanggungjawb karena hanya menegakkan keamanan diri pribadi. Terkait jenjang karir, seperti memilih kucing dalam karung, ada pula yang karena hanya pernah dekat, sedangkan yang berasal dari jalur murni adalah mereka yang sebenarnya sedang beruntung saja dibandingkan dengan penghargaan atas kerja kerasnya. Disisi kesejahteraan, diakui bahwa organisasi ini tidak memberikan sumbangsih pemasukan negara tidak pula terdapat jalan resmi untuk mendapatkan penghasilan, terkecuali mereka yang menciptakan peluang (tentunya hanya mereka yang memiliki kewenangantugas dan mereka yang memiliki kesaktian tertentu). Ketimpangan penghasilan antar pegawai adalah hal biasa yang sudah menjadi rahasia umum. Mereka yang mendapatkan penghasilan dari jalur non resmi pun tidak sungkan untuk semakin menunjukkan apa yang dipunya dan semakin menegakkan kepala keatas tanpa tahu apakah dirinya masih tetap memijak bumi atau mungkin tidak peduli. Sementara bagi mereka yang tidak terbiasa “menggadaikan” dirinya, hanya tahu duduk manis bekerja di ruangan sambil menunggu nasib bahwa suatu saat roda akan berputar dan awan kelabu berubah menjadi cerah (kaum ikhlas tingkat tinggi, jika tidak mau dibilang golongan yang frustasi dan hanya bisa pasrah). Nasib seseorang di organisasi ini seperti halnya terombang-ambing di tengah lautan, dibolak-balikkan oleh kekuasaan, kesaktian dan segolongan kelompok yang menasbihkan dirinya sebagai penguasa organisasi. Terkait penghasilan lainnya, ongkos yang tidak murah harus dikeluarkan hanya agar rutin mendapat penghasilan tambahan (ongkos ini tidak hanya biaya, namun juga tenaga dan bahkan juga dari segi agama). Sementara pegawai lainnya yang tidak berani mengorbankan ongkos tersebut, maka hanya seperti menghitung kancing dan seperti mengharap dapat lotere atau undian yang frekuensinya tidak habis dihitung dengan jari sebelah tangan. Penyakit ini juga tidak kalah berbahayanya, masa-masa ketidakpastian (uncertainty future). Paradoks ketiga.

 Melihat ketimpangan dan kenyataan paradoks tersebut, maka hampir dapat dipastikan negara tidak akan sembuh dari penyakit kronisnya. Maka sama kronisnya dengan teori Max Weber tentang birokrasi. Bahwa Weber telah bersusah payah mendefinisikan dan menyusun kerangka teori yang menjelaskan tentang birokrasi, namun di satu waktu beliau juga telah meramalkan akibat yang ditimbulkan, bahwa birokrasi itu pada akhirnya mematikan. Betapapun perjuangan segolongan kaum tertentu yang rela mengorbankan segala yang dipunya demi menegakkan idealisme selalu saja akan terbentur dan bahkan tersingkirkan dari papan permainan. Untuk sebagian golongan, hal ini lebih disebabkan karena akar masalah pada patologi adalah karena sistem yang sudah terlanjur mengakar. Namun tidak semua golongan sadar bahwa sistem bukanlah makhluk hidup, sistem tidak membutuhkan udara, makanan dan minuman untuk menyokong dirnya sendiri, sistem tidak memerlukan penghasilan untuk menafkahi diri, dan bahkan sistem tidak memiliki tubuh untuk mendefinisikan diri. Sistem adalah bangunan yang dihasilkan oleh manusia, oleh akal dan pikiran makhluk hidup paling cerdas yang diciptakan oleh Tuhan. Namun terkadang akal pikiran ini sering juga disertai dengan perasaan, terdapat pula unsur kepentingan yang secara sengaja di”intervensi”kan dalam pembangunannya. Bahwa selama ini sistem seringkali menjadi kambing hitam dalam setiap persoalan ke-birokrasi-an. Pada suatu waktu, segolongan orang dengan tingkat idealisme yang goyah dapat pula terjerumus masuk kedalam golongan “pemburu” keuntungan pribadi, mengintervensi sistem dengan segala hal negatif, menyokong sistem, mengembangkan dan akhirnya mengakar di setiap elemen organisasi. Hal ini tentu akan memperberat kerja “pembasmi hama” sistem tersebut, karena pada akhirnya, manusia-manusia didalam sistem, yang mengendalikan sistem, telah mengarahkan pada kondisi dimana setiap celah telah tertutup dan segala kemungkinan telah di-negasi-kan dengan sempurna. Bahkan melalui skenario-skenario manajemen resiko pada tahap penyusunan sistem tersebut. Disinilah kecerdasan manusia bermetamorfosa menjadi kecerdikan (cerdas diartikan sebagai kepandaian disertai dengan norma dan etika, sedangkan cerdik lebih diartikan untuk kepandaian yang mengarah pada kelicikan). Hal ini menjadikan apapun dan bagaimanapun pekerjaan “bersih-bersih” yang dilakukan pada akhirnya hanya akan menyingkirkan dirinya sendiri. Tidak terkecuali dengan skema “Penyusunan Kembali” seperti yang sedang dikerjakan oleh negara ini. Skema dimana negara maju lainnya telah melaksanakannya bahkan jauh sebelum negara ini memulai fase pertumbuhan. Hal ini sangat dimengerti karena negara ini berdiri belakangan dibanding dengan negara-negara yang telah maju dan membutuhkan pengalaman dan fase terseok-seok untuk mencari format yang lebih baik di dalam membangun negara beserta anggota di dalamnya. Namun agaknya kondisi tersebut tidak lanas menjadikan suatu kondisi “permisif berjamaah” dalam upaya memperbaiki diri. Sebagaian dari golongan pada akhirnya menghendaki “pengulangan generasi” karena mengganggap kondisi pada Generasi Kedua lebih baik dan lebih dirasakan nyaman bagi semua warga. Bahwa segala hal negatif hanya “berani” dilakukan oleh segelintir orang, sementara pada masa Generasi Perubahan justru menjadi tren massal yang merusak diri sendiri. Semoga saja Gerakan Perubahan tidak berbalik mengarahkan kita pada masa kemunduran, dan semoga sesuai dengan harapan Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang”, kondisi kegelapan berbalik menjadi terang dan mereka-mereka yang berusaha memberikan warna gelap, jika tidak dapat sepenuhnya dapat dicuci kembali maka diberikan sarana untuk menyalurkan bakat gelap mereka di tempat yang seharusnya. Jika semua hal tersebut tidak berubah, maka jangan salahkan jika sejumlah orang, yang masih memiliki kecerdasan, yang tidak “menggadaikan” harga dirinya, yang terbuang tidak diberi kesempatan, hanya akan menjadi penonton, outsiders, terlebih bila mereka menonton seluruh kekacauan ini dari televisi, dirumah yang lebih baik, di negara yang lebih baik...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process