Surga Kecil di Belitong-Pulau Laskar Pelangi


Hari itu sekali lagi saya akan menikmati Indonesia, negeri dengan sejuta pesona. Kami dua belas orang dalam satu rombongan, pergi pada hari kerja. Keuntungan travelling pada hari kerja teman, tiket pesawat dan akomodasi yang lebih murah dan kita tidak harus berebut obyek wisata dengan rombongan travelling lain. Kami menyebutnya “executive travellers”.
Diawali dengan perasaan gugup setiap kali akan mengawali perjalanan jauh, sebagian dari kami sepakat berkumpul di Stasiun Gambir untuk selanjutnya menggunakan moda transportasi Airport Bus untuk menuju Bandara Soekarno-Hatta. Tetesan gerimis mengiringi kami sepanjang jalan menuju bandara. Satu yang harus kuakui, sudah berkali-kali saya menggunakan pesawat, berkali-kali pula saya selalu merasakan gelisah luar biasa, terlebih bila cuaca sedang tidak bersahabat. Tapi inilah seni petualang, seberapa gelisah dan takutnya, tetap saja saya semakin penasaran untuk segera sampai di obyek tujuan, apapun caranya dan bagaimanapun cuacanya. Hal ini biasa disebut: Kecanduan Jalan-Jalan, dan itu sangat bagus kawan, hehehe.
Pesawat kami dijadwalkan berangkat pukul 09.15 WIB. Setelah mengurus kelengkapan dokumen perjalanan dan check-in counter, kami berangkat disaat cuaca sedikit membaik. Kuperhatikan pesawat ini lebih kecil dari yang sudah-sudah. Boeing 737-400 dengan jumlah maksimal penumpang kutaksir sekitar 120-an orang dan diantara penumpang pagi hari itu hanya kami yang berparas “jawa”. Sepanjang jalan kami bertiga, kumpulan laki-laki ribut yang akhirnya harus duduk di barisan pintu darurat, saling berdiskusi. Para Chinese ini, apakah sudah menjadi perjanjian di kalangan mereka bahwa Belitong harus menjadi salah satu obyek liburan mereka yang dihabiskan bersama para kaumnya atau mungkin mereka adalah perantau asal kota tersebut yang mencari uang di Jakarta dan sekarang sedang kembali kerumah untuk “sekedar” menengok rumah. Satu yang kukagumi dari mereka, modis dan selalu terlihat kaya, meskipun dalam setelan kaos yang sederhana. Sementara kami orang Jawa, seberapapun kami berusaha terlihat fashionable dan berduit, terkadang muka tidak mendukung penampilan. Ha...ha...ha
Perjalanan yang semula kutaksir menghabiskan waktu 1,5 Jam ternyata hanya perlu 45 menit saja. Sekitar pukul 10.30 kami tiba di Bandara Tanjung Pandan-Belitong. Kawan, diawal tulisan dan hingga akhir nanti Kota Belitung akan selalu kusebut Belitong, karena itulah pe-lafal-an sebenarnya dari kota ini, setidaknya itu yang disampaikan oleh guide kami dan tercetak di kaos cinderamata yang kubeli (J). Bus wisata telah menunggu kami di dekat pintu kedatangan, mengingat iklim kota tersebut yang sangat panas (informasi dari pesawat hari itu suhu udara sekitar 340C) kami tidak ingin berlama-lama ditempat. Kawan, seberapa dalamnya jiwa petualangan yang ada padamu, jika alasannya hanya karena budget yang tipis, maka sebaiknya kita menggunakan jasa travel guide untuk menjelajahi daerah wisata, terlebih apabila kita belum pernah singgah di kota tujuan. Spirit berwisata adalah tidak hanya mengunjungi obyek wisatanya saja, namun juga mengenal budaya dan karakter warga yang tinggal di dalamnya, diselingi dengan sejarah yang mengiringinya. Setidaknya paham itulah yang kupegang selama ini setiap kami mengadakan kunjungan.
Bus segera meluncur, saya memilih duduk di belakang dekat jendela. Tujuan pertama kami adalah makan siang, yang berjarak setengah jam dari bandara. Kami mengganjal perut di rumah makan dengan menu seafood diantara udara panas yang menyengat. Maka kubayangkan kota ini adalah kota bahari dengan hasil laut yang melimpah seperti halnya Indramayu, Tegal dan Semarang. Ikan bakar yang segar dan sayur singkong (singkong kawan, bukan daunnya) lahap kami santap, dengan sedikit keheranan. Ikan segar seperti ini seharusnya menginformasikan bahwa kami ada di sekitar pantai, namun sepanjang perjalanan yang kutemui hanya hutan dan bukit di kiri-kanan, dimana pantainya????
Lepas dari rumah makan pukul 12.30, kami bergegas menuju desa Gantung, melihat replika sekolah “Laskar Pelangi” dan mengunjungi Museum Kata. Perjalanan kami tempuh selama kurang lebih 1jam degan jarak kira-kira 80km. Sepanjang perjalanan guide bercerita dengan antusias  tentang Belitong, asal usul batu granit dimana di sekitar pulau tersebut tidak terdapat gunung berapi, tentang adat istiadat dan bahasa sehari-hari. Sungguh hebat nian Tuhan menciptakan negara kepulauan dengan bermacam suku, budaya dan adat serta bahasanya, Indonesia Bagus!. Terbiasa menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan Jakarta dengan kemacetan, berkendara di Belitong sepintas terasa lama. Praktis tidak ada kemacetan di sini, pun begitu hanya sedikit kendaraan yang melintas di sepanjang jalan. Perlu dicatat, tidak ada kendaraan umum di Belitong. Masyarakat lebih suka menggunakan kendaraan pribadi jika akan berpergian. Menyewa kendaraan pribadi adalah solusi untuk menelusuri jalanan di kota tersebut, baik dengan mobil ataupun motor (sewa per hari untuk motor sekitar 50-70rb Rp). Namun anda harus bersiap dengan segala resiko kehabisan bahan bakar. Di Pulau seluar 4.833 km3 ini, hanya tersedia 5 SPBU dan semuanya terletak di sekitar pusat pemerintahan. Agaknya pulau ini harus berbenah, dengan melengkapi sarana dan prasarananya guna lebih menarik wisatawan. Namun lepas dari kekurangan tersebut, negeri yang terkenal pasca peluncuran novel dan film Laskar Pelangi tersebut menawarkan keindahan yang patutu untuk ditelusuri. Sepanjang jalan kami bersendau gurau sambil menikmati keindahan tepian jalan yang menghiasai perjalanan kami ke Desa Gantung. Konon, menurut cerita guide kami, setiap kali Matias Muchus datang ke Belitong, beliau selalu menggunakan sepeda dari bandara untuk sampai menuju Desa Gantung. Bayangkan, kami yang didalam mobil saja letih dan bosan, bagaimana beliau bisa???jiwa petualang....
Setelah sempat berhenti sejenak untuk membeli buah manggis (murah banget, satu bungkus plastik yang kutaksir beratnya hampir 5kg dijual 20ribu, manis lagi!!!), kami tiba di pintu teruar Desa Gantung, yang bersebelahan dengan Desa Manggar(jaraknya 5km). Bus segera menuju ke lokasi replika sekolah yang sering disebut oleh Andrea Hirata dalam novel tetraloginya. Meskipun begitu anda jangan langsung kecewa, karena replika sekolah ini bukanlah set lokasi untuk Film Laskar Pelangi, melainkan untuk kepentingan sinetron berseri Laskar Pelangi yang siar di salah satu stasiun swasta Indonesia. Sedangkan set untuk syuting filmnya, konon Andrea Hirata membangun dengan tangannya sendiri menumpang pada halaman belakang sebuah sekolah di sekitar Desa. Puas berfoto di replika “Sekola Dasar“ tersebut kami bergegas menuju Museum Kata Andrea Hirata. Museum tersebut terletak di dalam desa disalah satu persimpangan jalan dan menghadap ke Masjid. Di dalam museum yang pembangunan dan pemeliharaannya didanai oleh Andrea sendiri, terpajang beberapa diorama scene yang dapat kita lihat di fim, beberapa lukisan dan coretan tangan serta berbagai penghargaan yang diperoleh penulis tersebut baik dari dalam maupun luar negeri. Menuju ke belakang rumah, sepertinya pemilik akan mengembangkan ruangan yang mirip dapur (tentunya dengan nuansa dapur tempo dulu) tersebut menjadi semacam kafe dengan suguhan utama khas Belitong yaitu kopi. Sebagai bentuk partisipasi dalam pemeliharaan dan pengembangan museum, pengunjung diminta sumbangan sebesar Rp 2ribu (setidaknya itu yang tertulis di dekat pintu masuk museum yang hanya dijaga oleh satu orang perempuan tersebut. Sedikit cerita, berdasarkan informasi dari guide sudah ada tawaran dari beberapa sutradara dari luar negeri untuk memproduksi film didasarkan dari salah satu judul tetralogi yang dimiliki oleh Andrea Hirata (saya berujar alangkah indahnya apabila film tersebut mengangkat “Edensor” sebagai inspirasinya, who knows???). Kami kemudian melanjutkan perjalanan untuk singgah sebentar di kediaman pribadi wakil gubernur DKI Jakarta, Buaski Tjahaja Purnama atau yang akrab kita kenal pak Ahok, yang berjarak sekitar 5menit dari museum kata. Rumah ini terlihat mewah sekaligus modern dibanding dengan lingkungan sekitar. Kami diberi kesempatan untuk masuk di lingkungan rumah yang kini juga menjadi rumah dinas Bupati Belitung Timur yang dijabat oleh adik Pak Ahok, Basuri Tjahaja Purnama. Dilingkungan rumah tersebut terdapat teras yang sehari-hari digunakan sebagai sanggar seni oleh ibunda Pak Ahok untuk mengisi waktu luang sekaligus mengajarkan seni bagi anak-anak sekitar untuk memperoleh manfaat pendidikan sekaligus ekonomi dengan menjual barang-barang hasil kerajinan mereka sendiri di sanggar. Puas melihat lihat dan sedikit membeli, kami kemudian melanjutkan perjalanan ke hotel karena hari telah beranjak sore di tengah rombongan kami yang lelah, butuh istirahat dan sekedar mandi untuk menyegarkan diri. Jarak dari Desa Gantung ke hotel kira-kira sekitar 90km, lebih jauh dari jarak awal perjalanan kami, karena hotel tempat kami menginap melewati bandara.
Kami menginap di Hotel Bahamas dan seperti yang diduga sesuai dengan namanya maka hotel ini memiliki pemandangan laut yang cantik. Setelah pembagian kamar dan kunci, kami melepas lelah di kamar masing-masing sebelum melanjutkan perjalanan selanjutnya, makan malam (Hummm, Yummy). Eekitar pukul 8 malam kami berangkat makan malam pertama kami di Belitong, sebuah resto yang berjarak 15 menit dari hotel dan tentu saja menu utamanya adalah seafood. Di resto ini, untuk sejenak kami melupakan segala penyakit kolesterol dan asam urat kami karena telah tersaji berbagai menu seafood dan sayuran hijau di meja. Menu spesial kami malam itu adalah Kepiting Jumbo, yang kami makan dengan susah payah namun meninggalkan kesan luar biasa bagi para penikmatnya. Setelah kurang lebih 1jam kami makan, kami beranjak menuju hotel untuk beristirahat. Di dalam bus kami sadar kota ini terasa sepi selepas pukul 8 malam, berbeda dengan Jakarta yang tidak pernah tidur (dari macet, hehehe). Di perjalanan kami mampir sebentar untuk mencicipi Hok Loe Pan atau martabak manis yang terkenal di daerah Tanjung Pandan. Jika anda berkesempatan berkunjung ke Belitong, mampirlah sebentar untuk membalas rasa penasaran anda tentang kuliner ini. Tidak terlalu istimewa memang, namun mencicipi kuliner saat berwisata selalu meninggalkan kesan mendalam bagi kita. Hari pertama kami lewatkan dengan beragam kesan sekaligus kelelahan, kami bersiap tidur setelah tiba di hotel, bersiap menyambut pengalaman baru yang menantang kami hari berikutnya.
Hari kedua, setelah melewatkan makan pagi di hotel, pukul 9 kami berbegas menuju pantai Tanjung Kelayang yang menjadi set lokasi film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Baru ditempat ini saya sadar, ternyata desa gantung dan pantai ini tidak berada dalam satu lingkup wilayah, keduanya terpisah jarak hampir 90km panjangnya. Namun pesona pemandangan di pantai ini sungguh luar biasa. Yang menjadi kekaguman kami, seperti yang diutarakan oleh tour guide kami, tidak ada gunung berapi di sekitar Kepulauan Belitong ini. Bahwa Tuhan sengaja menjatuhkan batu-batu indah ini, menumpuknya secara tidak beraturan untuk menghasilkan lansekap yang indah serta menyejukkan mata kami. Sungguh kita tidak dapat mengalahkan kuasa Tuhan dalam perkara menciptakan pemandangan indah ini. Puas berfoto bersama di berbagai sudut batuan yang berjajar di pantai ini, kami bergeser sedikit ke arah kiri, sekitar 5 menit dari lokasi, menuju pemandangan kepala burung garuda yang berada di perairan Tanjung Kelayang. Sketsa 3 dimensi kepala burung tersebut terbentuk alami, lagi-lagi oleh batuan granit yang ada di wilayah tersebut. Sebetulnya kami ingin menyeberang ke Pulau Lengkuas, sekitar 30 menit dari lokasi kami, menyaksikan pemandangan laut dari atas mercusuar tua bersejarah peninggalan Belanda. Namun karena berbagai bertimbangan keselamatan, oleh pimpinan rombongan kami perjalanan dibatalkan (kapal yang akan digunakan hanya kapal kecil, disimpulkan kami tidak akan sanggup menahan mual terombang-ambing laut....??hahaha). untuk mengobati rasa kecewa kami santap siang di sekitar lokasi, tentunya dengan menu utama (lagi) seafood. Namun entah kenapa kami tidak merasakan bosan. Saya lupa nama warung makan yang terletak di sebelah kanan pendopo Sail Belitong 2011 ini, namun satu yang pasti, tempe mendoan disini juara satu! Haha. Lepas santap siang, kami melanjutkan perjalanan untuk melengkapi ritual wisata kami, Belanja Oleh-Oleh, J. Sekitar 1jam perjalanan, kami tiba di lokasi, melihat-lihat, mencari ukuran kaos dan mengambil entah berapa banyak varian makanan yang terdapat di etalase. Kami lupa satu hal, berkardus-kardus oleh-oleh yang kami beli, hanya menyisakan sedikit ruang bagi kami duduk di dalam bus, HAHAHA. Namun rupanya satu toko saja belum cukup. Selepas berbelanja, kami berangkat menuju toko berikutnya yang terletak di tengah kota, dengan masing-masing memangku kardus bawaan kami. Kami menuju pusat UKM kota Tanjung Pandan, dengan jualan utama Batu Satam, Batu yang berasal dari meteorit yang jumlahnya banyak tersebar di Belitong. Ketidaktahuan kami soal engetahuan batu dan tidak ada diantara kami yang memiliki kegemaran mengoleksi batu, menjadikan kami hanya membeli beberapa “bahan pelengkap” oleh-oleh kami untuk sekedar mengobati kekecewaan penjaga toko karena telah diserbu oleh rombongan kami (Sssst, disini saya secara tidak sengaja membuat rusak salah satu cinderamata, meskipun dengan ragu pula saya berfikir bahwa sebenarnya orang lain yang telah merusaknya, sementara saya “hanya” membuat kerusakan tersebut benar-benar terlihat, HEEE). Malam harinya, setelah beristirahat dan menyegarkan diri, kami beranjak menuju resto “Timpo Doelok”, dan menu utamanya yang membuat saya kaget, tidak lagi didominasi seafood!. Ya disini kami merasakan atmosfer lain kuliner khas Belitung. Makan nasi yang dibungkus daun simpor, yang konon hanya dapat ditemukan di hutan Belitong sambil menikmati sajian interior dinding resto yang dihiasi aneka diorama peralatan rumah tangga hingga sepeda yang menempel di dinding. Penutup akhir malam kami di Belitong yang berkesan.
Hari terakhir, pesawat kami dijadwalkan berangkat pukul 12.15 WIB. Masih sempat bagi kami melengkapi “ilmu” kami tentang Belitong, berangkat dari hotel pukul 9 pagi, kami menuju kedai “ Mie Atep”. Memang kami sudah cukup kenyang selepas sarana di hotel, namun tidak ada salahnya kita meninggalkan kesan kuliner yang istimewa bagi lidah untuk mencicipi segala masakan yang ada di Belitong ini. Mie kuah kental dengan hiasa udang dan emping kami “paksa” untuk mengisi salah satu ruang kecil di perut kami. Kekenyangan! namun puas.. sebagai penutup, kami mengunjungi Rumah Adat khas Belitong yang berada di areal pendopo Kabupaten Belitong sebelum bertolak kembali ke Jakarta. Benar-benar pengalaman yang indah, menakjubkan dan Worthed banget untuk dicoba! Aku Cinta Indonesia dan Menantikan Wisata selanjutnya di bagian lain Indonesia.



---end---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process