Grand Strategy dan pilihan Perang: Attrition or else?

Dalam interaksi antar negara terdapat hubungan pengaruh dan respon.  Negara memberikan pengaruh langsung ataupun tidak langsung yang dituntut harus dapat menentukan sikap melalui respons, manifestasi dalam hubungannya dengan negara lain untuk mempengaruhi atau memaksa pemerintah untuk memaksa keinginan politik negara bersangkutan. Menyangkut keinginan politik dari masing-masing negara, yang didasarkan pada kepentingan nasional masing-masing negara, baik kepentingan yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal. Interaksi yang dilaksanakan suatu negara untuk tujuan memenuhi kepentingan nasional, maka suatu negara tidak dapat terlepas dari kebijakan  yang ditujukan ke luar negara, maupun politik yang menjangkau kondisi domestik.
Pembentukan aliansi dan kerjasama antar negara sangat vital dalam menekan aksi teror, karena negara-negara asal lebih mengenal dan memahami kultur, budaya serta medan di negara mereka, dalam upayanya mengajak suatu negara ikut bergabung dalam aliansi atau mau diajak bekerja sama, disinilah peran vital diplomasi semakin terlihat peranannya. Tetapi selain mengandalkan diplomasi dengan negara asal (host country), upaya offensif juga terkadang harus dilakukan demi melemahkan organisasi teroris dengan menyerang infrastruktur mereka melalui operasi maupun serangan militer konvensional demi mementahkan akses kelompok teror terhadap pasokan baik materiil maupun non-materiil.
Tragedi 9/11 memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas keamanan internasional. Terbukti, pascatragedi ini isu terorisme menjadi salah satu isu penting dalam forum politik internasional dan banyak negara yang kemudian meningkatkan keamanannya karena khawatir dengan potensi ancaman terorisme. Setelah perang Dingin berakhir dan pasca tragedi 9/11, komunitas internasional semakin menaruh perhatian pada kejahatan transnasional terorganisasi.
Fenomena tersebut memunculkan dua respon negara-negara secara umum yaitu soft power dan hard power. Amerika mengeluarkan kebijakan kontra terorisme yang cukup kontroversial, dengan nama Patriot Act pada tanggal 26 Oktober 2001 yang memberi legitimasi secara sepihak untuk melakukan operasi pemberantasan terorisme hingga wilayah negara lain yang dicurigai menjadi sarang atau terkait dengan terorisme, utamanya yang terkait dengan negara asal pelaku serangan 9/11. Dibawah kepemimpinan George W. Bush, rumusan strategi kontraterorisme Amerika didasarkan atas strategi 4D (Defeat, Deny, Deminish, Defend) dalam memerangi terrorisme, sehingga menciptakan kondisi War on Terror di seluruh dunia. Pembahasan mengenai konsep keamanan negara Amerika Serikat dan kerjasama keamanan yang dilakukan dengan beberapa negara, utamanya mengenai terorisme, telah menarik perhatian banyak analis hubungan internasional.
Di Filipina kerjasama penanganan terorisme yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap pemerintah Filipina lebih berfokus pada aspek-aspek peningkatan kekuatan militer. Light Reaction Company (LRC) sebagai pasukan bentukan Amerika di Filipina bertugas memerangi teroris di kawasan Pasifik dan sering melakukan operasi di kawasasan Filipina Selatan yang terkenal dengan komunitas Islamnya. Program ini merupakan bagian dari kerjasama Filipina dengan Amerika dalam menanggulangi aksi terorisme, yang dikenal dengan Operasi “Enduring Freedom Philippines”. Di negara lain, Pakistan adalah sekutu kunci dalam koalisi anti-terorisme di Asia Tengah dan Selatan. Dalam sebuah laporan, kerjasama anti-terorisme Pakistan-AS berfokus pada bidang penegakan hukum, intelijen, dan operasi militer serta transfer senjata AS. Akan tetapi fenomena yang sama tidak terlihat dalam praktek penanganan terorisme AS di Indonesia dimana isu stabilitas keamanan di Indonesia menjadi genting  pasca Bom Bali yang berjarak satu hari satu bulan dan satu tahun dari serangan 9/11.
Indonesia merupakan sebuah negara yang selalu dianggap penting bagi kalkulasi keamanan strategis Amerika Serikat di wilayah Asia Pasifik. Banyak faktor yang mempengaruhi mengapa akhirnya Amerika Serikat akan selalu memperhitungkan Indonesia dalam strategi keamanan mereka. Tidak dapat dipungkiri bilamana Amerika Serikat memiliki nuansa kepentingan nasional yang sangat besar dan kuat di Indonesia.
Perbedaan pola penanganan terorisme oleh Amerika Serikat melalui skema kebijakan keamanan bahkan pada negara-negara dalam satu kawasan menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pada kasus Indonesia, Strategi kontraterorisme Amerika Serikat dianalisa dengan menggunakan teori Proses Pembentukan Strategi oleh Dennis M. Drew dan Donald M. Snow. Ketika sebuah wilayah atau negara diserang, respon pemerintah dalam menghadapi serangan secara serius dinilai sebagai bentuk pencitraan dan dapat digunakan untuk alasan pemilihan umum. Respon ini diwujudkan dalam bentuk penyusunan Grand Strategy atau disebut Strategi Raya. Strategi Raya dilaksanakan melalui bidang ilmu politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, baik lintas sector maupun lintas disiplin. Memperhatikan dimensi ruang dan waktu, pendekatan ruang dilakukan dengan pertimbangan strategi akan berhasil bila didukung oleh lingkungan sosial budaya dimana strategi dan manajemen tersebut dioperasionalkan, sedangkan pendekatan waktu sangat fluktuatif terhadap perubahan dan ketidakpastian kondisi yang berkembang sehingga strategi dapat bersifat temporer dan kontemporer.
Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi tarik ulur penyusunan strategi dan di luar kemampuan para penyusun strategi untuk mengendalikan seperti sifat dasar ancaman, politik internasional dan domestik, ekonomi, teknologi, lingkungan fisik dan geografi, warisan budaya dan doktrin militer. Dalam sudut pandang determinan politik, terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi setiap penyusunan strategi yaitu Clausewitzian Trio, politik domestik dan internasional, ekonomi dan teknologi.
Indonesia dan Amerika Serikat memiliki landasan yang kuat dalam melakukan kerjasama untuk kepentingan kedua belah pihak yang berlandaskan pada adanya nilai-nilai dasar yang dihormati bersama. Meskipun demikian, tidak serta merta membuka peluang dan jalan mulus bagi kedua belah pihak untuk campur tangan lebih jauh, mengingat kedua belah pihak memiliki standar dan kriteria berbeda khususnya norma dan budaya kelokalan yang dimiliki. Strategi kedua negara telah disepakati dalam bentuk kerjasama yang bersifat menyeluruh melalui dukungan terhadap integritas teritorial, perkembangan demokrasi dan reformasi, serta upaya Indonesia dalam menjaga stabilitas nasional yang tercatat  dalam  Joint Statement  Presiden RI dan Presiden AS pada saat kunjungan Presiden Bush ke Indonesia, 20 November 2006, yang menyebutkan bahwa “…the two countries are bound by a broad based-democratic partnership based on equality, mutual respect, common interest and the shared values of freedom, pluralism and tolerance…”
Amerika Serikat sebagai negara adidaya mempunyai alokasi anggaran pertahanan terbesar di dunia, dengan perbandingan terhadap GDP sebesar 4,7 persen. Serangan 9/11 menjadi cambuk bagi perubahan kebijakan keamanan AS, baik secara nasional maupun internasional. Oleh karenaya alokasi anggaran terhadap upaya kontraterorisme, termasuk didalamnya bantuan kepada negara-negara, mengalami peningkatan yang signifikan. Namun kebijakan pengerahan kekuatan militer ini tidak dilakukan dalam kerjasama penanganan terorisme di Indonesia. Bahwa Amerika lebih menitikberatkan pada pendekatan soft approach dibanding pengerahan kekuatan mliter. Keputusan ini didasari oleh berbagi pertimbangan yang memperhitungkan kalkulasi distribusi kekuatan rasio kecukupan pasukan dalam skema essential force guna menjamin keamanan domestik, serta membangun kembali citra positif AS sebagai negara superpower dimata internasional yang terpuruk pasca invasi ke Irak, Afganistan, dan dilanjutkan dengan beberapa negara Timur Tengah lainnya seperti Libya dan Suriah.
 Indonesia sebagai negara yang mengalami kemajuan demokrasi dan masyarakat yang semakin kritis terhadap isu publik menjadikan bahan kalkulasi AS di dalam meminimalkan resiko dan mengurangi gesekan yang akan menjadi hambatan keberhasilan implementasi strategi kontraterorisme di Indonesia. Masyarakata AS dan dunia internasional juga menuntut adanya perubahan pendekatan negara superpower tersebut dalam kebijakan penanganan terorisme, baik di lingkup domestik maupun internasional. AS dinilai melakukan pelanggaran atas kedaulatan dan prinsip-prinsip HAM terkait implementasi kebijakan War on Terror pada masa pemerintahan Bush. Terpilihnya Barack Obama sebagai presiden semakin memperkuat keinginan masyarakat terhadap kebijakan negara tersebut yang lebih memprioritaskan penggunan kekuatan militer dalam mewujudkan keamanan dan perdamaian di dalam negeri maupun di luar wilayahnya.
Karakter geografis Indonesia yang bersifat negara kepulauan, dengan kontur wilayah yang berbukit-bukit menjadi kelemahan bagi negara luar yang akan melakukan operasi kontraerorisme. Teroris seringkali bersembunyi diantara penduduk biasa di kota-kota beasr, sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih besar jika pemerintah melakukan operasi di tengah kota. Teroris tinggal di lokasi-lokasi yang tidak dapat diakses, seperti gua-gua atau di tengah. Pemerintah harus melakukan penjagaan di sebanyak mungkin tempat, sementara teroris dapat mengidentifikasikan dan mengarahkan target-target ke sasaran yang lemah. Hal ini berarti bahwa penjagaan oleh pemerintah berbiaya relatif mahal. Dalam hal ini teroris dapat menunggu dan meilih waktu yang paling tepat untuk beraksi, seperti pada peristiwa 9/11. Padahal pemerintah yang demokratis memiliki berbagai keterbatasan dalam merespon teroris, sementara teroris fundamentalis tidak memiliki batasan untuk melakukan aksi brutal dalam bentuk apapun. Pemerintah juga memiliki jenjang hirarkhi, sementara teroris masa kini tidak memilikinya. Teroris Indonesa juga memanfaatkan kultur kekeluargaan sebagai sarana perlindungan dari pantauan aparat penegak hukum. Teroris melebur diantara kerumunan masyarakat, menebar ancaman sekaligus mencari simpatisan yang dapat mendukung perjuangan dengan memanfaatkan fundamentalisme agama.
Berbagai ketimpangan yang muncul akan memperkecil peluang negara dalam memenangkan pertempuran melawan terorisme dan memperbesar peluang dari sisi teroris. Ketidakseimbangan lain terdapat dalam informasi. Pemerintah tidak terinformasi dengan baik tentang kekuatan teroris, sementara teroris dapat dengan mudah menemukan jenis dan jumlah program anti terror pemerintah. Perang melawan terorisme tidak hanya mengandalkan kekuatan otot dan senjata, melainkan juga menguras pikiran. Permasalahan tersebut mengindikasikan bahwa pengerahan kekuatan militer saja tidak cukup, namun juga melibatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat.  Hal ini yang mejadi pertimbangan bagi AS untuk tidak serta merta mengerahkan kekuatan militernya di Indonesia. AS juga mengalami krisis sumber daya dan kekuatan pertahanan akibat penggunaan militer di luar negeri, hal ini menimbulkan kerawanan gangguan yang dapat mengancam wilayah domestik. AS juga menjaga citra positif sebagai negara yang mempromosikan demokrasi, kebebasan dan HAM serta mengamankan posisinya di dalam struktur internasional, sehingga  sangat selektif dalam menyusun dan menerapkan strategi guna mencapai tujuan dan sasaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process