Gaya Negara Melawan Terorisme: USA, Filipina, Pakistan dan Indonesia


Serangan teroris ke Gedung World Trade Center (WTC) di New York dan Gedung Pentagon di Washington pada 11 September 2001 berhasil menyebarkan ancaman di seluruh dunia.  Tragedi 9/11 memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas keamanan internasional. Terbukti, pasca tragedi ini isu terorisme menjadi salah satu isu penting dalam forum politik internasional dan banyak negara yang kemudian meningkatkan keamanannya karena khawatir dengan potensi ancaman terorisme. Setelah perang Dingin berakhir dan pasca tragedi 9/11, komunitas internasional semakin menaruh perhatian pada kejahatan transnasional terorganisasi. Sebab ada kemungkinan kepentingan kelompok kejahatan transnasional dengan kelompok teroris bertemu pada satu titik untuk mencapai tujuan bersama. Cara pandang terhadap kejahatan transnasional terorganisasi lalu berubah, kini kejahatan tidak hanya berkaitan dengan ketertiban, namun juga keamanan[1].
Fenomena tersebut memunculkan dua respon negara-negara secara umum yaitu soft power dan hard power. Hard power berkaitan erat dengan “inducements (“carrots”) or threats (“sticks”)[2]. Nye menjelaskan bahwa ada cara lain untuk mempraktekan power selain dengan memerintah, memberi imbalan, dan memaksa, yaitu dengan memikat (attraction). Kemampuan untuk memikat ini disebut Soft Power oleh Nye[3]. Kekuatan softpower terletak pada kemampuan untuk membentuk preferensi orang lain.
Menurut Nye, pendekatan power dapat dilakukan melalui 3 jenis yaitu military power, economic power dan soft power. Perilaku yang ditunjukkan oleh Military Power adalah paksaan, pencegahan dan perlindungan. Karakteristik utama dari power yang dijalankan oleh militer adalah melalui ancaman dan penyerangan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah melalui diplomasi koersif dan aliansi perang. Sedangkan economic power dicirikan dengan perilaku bujukan dan paksaan. Karakteristik dari kekuatan ekonomi ini adalah melalui penghargaan dan sanksi. Kebijakan pemerintah yang melaksanakan economic power adalah bantuan, sogokan atau suap, dan sanksi. Perilaku Soft power ditunjukkan melalui kemampuan memikat dan penetapan agenda. Karakteristik utama dari pendekatan ini adalah nilai dan budaya, kebijakan dan lembaga. Kebijakan pemerintah yang menggunakan soft power adalah melalui diplomasi public serta diplomasi bilateral dan multilateral.
Menurut Thomas Schelling, soft power dicirikan oleh perilaku yang menarik perhatian dan keinginan untuk bekerjasama. Sumber-sumber dari soft power terletak pada kualitas komunikasi dan kedekatan, seperti charisma, persuasi dan identifikasi. Adapun hard power, seperti Thomas Schelling utarakan, terdapat kaitan yang erat atas dua sumber utama, ancaman kekerasan dan bujukan. Sumber dari kekuatan hard power berasal dari ancaman, intimidasi, penghargaan dan ganjaran. Contoh dari perilaku ancaman ini adalah dengan menyewa, memecat dan menurunkan, sedangkan reward diberikan melalui promosi dan kompensasi[4].
Dari kedua karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa hard power adalah pendekatan yang digunakan oleh pemerintah dalam rangka mencapai national interest melalui optimalisasi  perilaku ancaman dan pengerahan kekuatan militer. Sebaliknya pendekatan soft power mengandalkan perilaku menarik dukungan dan upaya kerjasama sebagai bagian dari agenda setting dalam mencapai tujuan nasional melalui kebijakan dan kelembagaan yang bertumpu pada sarana diplomasi.
 Amerika mengeluarkan kebijakan kontraterorisme yang cukup kontroversial, dengan nama Patriot Act pada tanggal 26 Oktober 2001 yang memberi legitimasi secara sepihak untuk melakukan operasi pemberantasan terorisme hingga wilayah negara lain yang dicurigai menjadi sarang atau terkait dengan terorisme, utamanya yang terkait dengan negara asal pelaku serangan 9/11. Kebijakan kontraterorisme Amerika Serikat memutuskan bahwa semua tindakan teroris dan kriminal tidak dapat di tolerir dan mengutuk aksi-aksi ini tanpa membeda apapun motivasi dan tujuan mereka serta tidak akan membuat konsekuensi atau perjanjian pada teroris karena hanya akan mengundang lebih banyak tindakan teroris.[5]  
Dibawah kepemimpinan George W. Bush, rumusan strategi kontraterorisme Amerika didasarkan atas strategi 4D (Defeat, Deny, Deminish, Defend) dalam memerangi terrorisme, sehingga menciptakan kondisi War on Terror di seluruh dunia. Sebagai konsekuensinya, politik luar negeri Amerika terlihat lebih agresif, rigid dan kaku dalam implementasinya[6]. Kebijakan ini dalam tesis Samuel P. Huntington dipahami sebagai perwujudan sistem uni-multipolar[7]. Atas dasar tersebut, tentara AS dengan dalih menjaga keamanan internasional dapat hadir dimana saja tanpa memperdulikan kedaulatan negara lain Bahkan pandangan Amerika terhadap Afganistan menciptakan opini internasional yang negatif, utamanya bagi negara yang mayoritas penduduknya muslim.[8]
Hegemoni AS di seluruh wilayah dunia terlihat dengan kerjasama yang dilakukan beberapa negara dengan negara adidaya ini, terutama Indonesia yang termasuk dalam kawasan Asia Tenggara yang menjadi tujuan utama AS dalam mengatasi masalah keamanan dunia yang telah terganggu oleh adanya aksi teroris. Pembahasan mengenai konsep keamanan negara Amerika Serikat dan kerjasama keamanan yang dilakukan dengan beberapa negara, utamanya mengenai terorisme, telah menarik perhatian banyak analis hubungan internasional, tidak terkecuali bagi Indonesia. Oleh karenanya penting bagi negara-negara untuk mempelajari arah kebijakan keamanan yang dimiliki oleh negara superpower sehingga mereka dapat menarik keuntungan kerjasama dalam pelaksanaan keamanan di negaranya.
Trauma yang mendalam akibat serangan terorisme membuat Amerika Serikat sangat reaktif dalam menyikapi isu terorisme, hal ini terlihat pada respon kontraterorismenya di negara-negara lain bahkan di kawasan Asia Tenggara yang sangat kental dengan hard approach, berkaitan dengan penguatan kerjasama militer. Di Filipina kerjasama penanganan terorisme yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap pemerintah Filipina lebih berfokus pada aspek-aspek peningkatan kekuatan militer. Light Reaction Company (LRC) sebagai pasukan bentukan Amerika di Filipina bertugas memerangi teroris di kawasan Pasifik dan sering melakukan operasi di kawasasan Filipina Selatan yang terkenal dengan komunitas Islamnya. Program ini merupakan bagian dari kerjasama Filipina dengan Amerika dalam menanggulangi aksi terorisme, yang dikenal dengan Operasi “Enduring Freedom Philippines”. Yakni, upaya perluasan strategi Amerika dalam memerangi jaringan terorisme Al Qaida pimpinan Osama bin Laden[9].
Anti-Defamation League mengeluarkan artikel dengan judul “The Philippines and Terrorism- Anti Defamation League”  yang membahas hubungan AS dan Filipina, dalam kontraterorisme di Filipina adalah sekutu politik, ekonomi dan militer yang kuat dari Amerika Serikat dan mitra dekat dalam perang global melawan terorisme[10]. Dengan penyebaran Al-Qaeda di seluruh dunia dan pertumbuhan Al Qaeda Asia Tenggara dan jaringan teroris Jemaah Islamiyah (JI), upaya kontraterorisme Filipina dan AS-Filipina mengambil urgensi baru dalam stabilitas dan keamanan. Filipina menerima berbagai bentuk bantuan militer Amerika Serikat.  Program Pendidikan Militer Internasional dan Pelatihan (IMET) senilai $ 2,4 juta pada tahun 2003, adalah yang terbesar di Asia dan terbesar kedua di dunia. AS dan Filipina juga menjaga hubungan dagang yang kuat. Filipina menduduki peringkat terbesar ke-19 pasar ekspor Amerika dan 20-terbesar pemasok, sedangkan AS adalah investor asing terbesar di Filipina. Filipina memerangi terorisme melalui politik, penegakan hukum dan militer.  AS membantu Filipina dalam mengamandemen undang-undang anti pencucian uang mereka untuk memenuhi standar internasional, dan Manila mengeluarkan revisi undang-undang tersebut pada bulan Maret 2003. Washington juga menerapkan Program Interdiction Teroris (TIP) di Filipina dengan peralatan, perangkat lunak dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas mereka untuk mengamankan perbatasan mereka. Kerjasama penegakan hukum sangat kuat bagi AS-Filipina.  Pada tahun 2002, AS mengirim sekitar 650 penasihat Amerika untuk melatih tentara Filipina dalam teknik kontraterorisme.
Di negara lain, Pakistan adalah sekutu kunci dalam koalisi anti-terorisme di Asia Tengah dan Selatan. Dalam sebuah laporan, kerjasama anti-terorisme Pakistan-AS berfokus pada bidang penegakan hukum, intelijen, dan operasi militer serta transfer senjata AS. K. Alan Kronstad menulis mengenai kerjasama Anti terorisme antara Pakistan dan Amerika Serikat yang diterbitkan oleh Congressional Research Service 28 Maret 2003 (Pakistan-U.S. Anti-Terrorism Cooperation) [11]. Pasca September 2001, presiden Pakistan Musharraf mengakhiri hubungan pemerintahnya dengan rezim Taliban Afghanistan dan sejak saat itu bekerja sama dan memberikan kontribusi kepada AS dalam upaya menangkap Al-Qaeda dan Taliban yang berlindung di dalam wilayah Pakistan. Kerjasama Pakistan telah disebut "penting" untuk mengenang masa lalu dan kelanjutan keberhasilan AS di kawasan itu. AS menghapus embargo bantuan proliferasi dan demokrasi dan memberikan sumbangan besar untuk membantu Pakistan dan upaya negara tersebut melobi lembaga keuangan dunia.
Laporan ini meninjau status kerjasama anti-terorisme Pakistan-U.S di bidang penegakan hukum, intelijen, dan operasi militer.  Laporan ini juga membahas transfer senjata AS dan kerjasama keamanan dengan Pakistan. Bagian berikutnya membahas dampak domestik utama upaya kontraterorisme Pakistan-AS, di mana upaya tersebut dirasakan oleh kaum Islam di Pakistan dan kemungkinan dinamika efek kerjasama Pakistan-U.S di masa mendatang[12]. Upaya kontraterorisme AS dengan hard approach atau serangan militer juga terlihat di Afganistan dan berbagai kawasan seperti belahan benua Amerika utara dan selatan, Eropa, Afrika, Timur Tengah, serta Asia.[13]
Akan tetapi, fenomena yang sama tidak terlihat dalam praktek penanganan terorisme AS di Indonesia dimana isu stabilitas keamanan di Indonesia menjadi genting  pasca Bom Bali yang berjarak satu hari satu bulan dan satu tahun dari serangan 9/11. Semenjak itu Indonesia juga masuk dalam daftar laporan pengawasan perkembangan fenomena terorisme dunia oleh Amerika melalui tajuk laporan Pattern of Global Terrorism, sebuah laporan yang menjadi database rujukan bagi negara-negara di dunia dalam mempelajari fenomena terorisme.[14] Pemerintah RI telah melakukan langkah-langkah penanggulangan terorisme baik melalui penguatan fondasi hukum maupun peningkatan kapasitas penegakan hukum. Pada bidang legislasi, Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008. Sedangkan di bidang penegakan aparat hukum, terbentuk Densus 88 yang bertugas memburu pelaku terorisme.
Kerjasama Indonesia dengan Amerika Serikat di bidang penanganan terorisme telah dimulai sejak kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri dengan penekanan pada pembinaan kemampuan aparat Kepolisian Indonesia. Bahkan, kerjasama bilateral Amerika-Indonesia dalam penanganan terorisme lebih mudah dalam melakukan koordinasi dan menghasilkan kesepakatan dibanding pada forum ASEAN.[15] Jauh sebelum kasus Bom Bali 2002 terjadi, Amerika dan Indonesia sebenarnya bertentangan pendapat dalam menanggapi isu terorisme. Amerika serikat melihat terorisme Islam sebagai bahaya utama bagi keamanan nasional maupun regional, pernyataan tersebut diamini oleh Singapura dan Australia.[16]
Pada April 2002, kerjasama keamanan Amerika-Indonesia diwujudkan dalam bentuk pertemuan Indonesia-United States Security Dialogue I yang membahas masalah situasi keamanan regional, kebijakan keamanan nasional, perompak, reformasi militer, counter terrorism policy dan perencanaan anggaran.[17] Amerika juga menjanjikan bantuan bagi Indonesia untuk membangun kembali ekonomi dan mendukung transisi Indonesia ke sistem demokrasi. Selain itu terdapat upaya pencairan hubungan militer kedua negara yang dibekukan sejak September 1999. Secara keseluruhan Pemerintah Amerika Serikat menawarkan bantuan keuangan sebesar 657,7 juta dollar AS kepada pemerintah Indonesia.
Kerjasama tersebut kontras dengan serangan agresi militer Amerika ke Afganistan. Pasca bom Bali 2002, strategi 4D Amerika Serikat juga berlaku bagi Indonesia melalui National Security Entry-Exit Registration System yang mengakibatkan banyak WNI yang pulang sementara waktu tidak dapat kembali ke Amerika. Namun kebijakan tersebut hanya bertahan sementara waktu dan berganti menjadi soft power cooperation approach yang dikembangkan oleh kedua negara. Salah satu wujudnya adalah Congressional Indonesian Caucus pada 9 Februari 2004 untuk menciptakan pengertian dan pemahaman yang tinggi dari anggota Kongress AS terhadap setiap perkembangan politik terutama di Indonesia. Demikian juga dengan dukungan AS terhadap pembentukan Jakarta Center for Law Enforcement Coordinator (JCLEC) hasil kerjasama Kepolisian Indonesia dengan Australian Federal Police (AFP). Pada April 2004 terwujud Indonesia-United States Security Dialogue yang ke II yang menghasilkan pembentukan Bilateral Defense Dioalogue, klarifikasi kebijakan AS di Selat Malaka, serta Regional Maritime Security Initiatives (RMSI).[18]


[1] Vermonte, Phillips, Regional Networking and coordination Againts International Terrorism: An Indonesia Perspective. The 13th Meeting of CSCAP Working Group Meeting on Transnational Crime, Manila 27-28 Juni 2003
[2] Joseph Nye, Soft Power: The Means to Success in world politics. Public Affairs, 2004, Hal  5
[3] Joseph Nye,  Public Diplomacy and Soft Power., 2008, Hal 94
[4]Joseph S, Nye, Soft Power, Hard Power and Leadership http://www.hks.harvard.edu/netgov/files/talks/docs/11_06_06_seminar_Nye_HP_SP_Leadership.pdf diakses 21 November 2011 pukul 11. 35 WIB
[5] Kebijakan AS Dalam Mengatasi Terorisme, http://astiol.com/terorism/6-global-terorism/22-kebijakan-amerika-serikat-dalam-mengatasi-terorisme.html, diakses tanggal 20 Januari 2012 pukul 18.30 WIB
[6]Awani Irewati, Respon Pemerintah Indonesia Atas Sikap “Perang Terhadap Terorisme AS.” http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6322/6323.pdf, hal 80. Diakses tanggal 20 Januari 2012 pukul 18.32 WIB
[7] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, New York: Rockefeller Center, 2006, Hal 21
[8] Dalam National Security Strategy , 2002, Amerika Serikat menyatakan bahwa Afganistan sebagai “An incubator of Islamic Terrorist”. Hal ini membangun opini negatif internasional mengenai negara-negara Islam.
[9] LRC Pasukan Bentukan Amerika, http://www.intelijen.co.id/wawasan/1358-lrc-pasukan-bentukan-amerika-di-filipina, diakses 27 Desember 2011 pukul 19.00 WIB
[10] The Phillipines and Terrorism, http://www.adl.org/terror/tu/tu_0404_philippines.asp , diakses 27 Desember 2011  pukul 19.05 WIB
[11] Pakistan-U.S. Anti-Terrorism Cooperation K. Alan Kronstad,  http://www.fas.org/man/crs/RL31624.pdf, diakses 27 Desember 2011 pukul 19.30 WIB
[13] The National Security Strategy of The United States of America 2002, hal 5
[15] Awani, Op.cit., Hal 76
[16] Amitav Acharya, Terrorism and Security in Asia: Redefining Regional Order? Working Paper No.113. Australia, Murdoch University, 2004
[17] Indonesia-United States Security Dialogue I  press release http://www.usembassyjakarta.org/press_rel/joint_press.html, diakses 20 November 2011 pukul 20.30 WIB
[18] Dokumen Joint Statement Indonesia-United States Security Dialogue II, Washington DC. April 2004

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process