Review “Akar Permasalahan Terorisme di Indonesia”

Terorisme dapat muncul ditempat-tempat terjadinya ketidakadilan, ketidaksamaan dan diskriminasi. Perlu diingat bahwa kata kunci yang mengkategorisasikan suatu kelompok atau individu sebagai teroris adalah kekerasan dan ideologi politik, keduanya harus hadir bersamaan.Dalam hal ini ada kelompok yang meyakini jihad sebagai perjuangan fisik melawan rezim atau pemerintahan yang tidak mau mewujudkan Islamisme.
Mencermati beberapa tulisan dapat ditarik benang merah bahwa sedikitnya terdapat dua hal yang menjadi pokok bahasan dalam tema tersebut, yaitu permasalahan ideology dan penguatan identity akibat merasa terdeprivasi oleh kebijakan pemerintah. Selain itu, kondisi negara yang lemah, baik secara konstruksi maupun implementasi kebijakan menjadi faktor pendorong menjamurnya aksi-aksi perlawanan dan ketidakpuasan yang mengarah pada tindakan fisik yang mengancam keselamatan orang lain. Sejak saat itu upaya untuk menemukan akar penyebab terorisme dalam berbagai bentuk menjadikan daya tarik yang besar bagi akademisi, baik dalam membuktikan variable, kritik teori maupun menawarkan sudut pandang baru sebagai bagian dari usaha mencegah dan memberantas terorisme.
Dalam hal ini reviewer memegang asumsi yang ditawarkan, bahwa ideology merupakan akar penyebab maupun pendorong perkembangan terorisme. Menjadi menarik apabila faktor ideology disandingkan dengan Islam, sehingga bermunculan istikah radikalisme Islam dan kekerasan/terorisme yang mengatasnamakan agama. Berbicara mengenai analisa kekuatan ideology yang mempengaruhi perkembangan terorisme, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan Al-Qaeda secara global. Sejak pertengahan 1990-an gagasan jihad berevolusi menjadi perlawanan terhadap sumber kekuatan rezim kafir, yaitu AS, Israel, dan sekutu-sekutunya. Untuk itu dibentuk Front for Jihad against Jews and Crusaders (yang selanjutnya kita kenal sebagai Al- Qaeda) pada 1998 yang terdiri atas berbagai kelompok dan individu lain dari Aljazair, Mesir, Bangladesh, dan Pakistan, yang saling independen tetapi berbagi kemiripan ideologi. Jemaah Islamiyah yang berdiri pada tahun 1982 merupakan bagian dari entitas ini, dan membangun afiliasi non-formal dengan berbagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Hanya sebagian alumni lembaga ini yang terlibat aksi terorisme, dengan ideologi yang tidak tergoyahkan lagi semisal Abu Thalut, Hambali, Abu Rusdan, Abdullah Sungkar hingga Abu Bakar Ba’asyir. Sementara itu, tindakan kekerasan yang dilakukan di lapangan (battlefield) dengan mengatasnamakan agama cenderung dilakukan oleh individu (dalam bahasa Giddens: agen) yang memiliki pemahaman agama yang dangkal. Proses terjadinya tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut tergambar berikut:   
Pertama, fungsi agama sebagai ideologi. Agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sejauh mana suatu tatanan sosial dianggap sebagai representasi religius, yang dikehendaki Tuhan. Masalah ketidakadilan dan kesenjangan menjadi topik panas dalam perspektif ini.
Kedua, agama sebagai faktor identitas, dapat didefinisikan sebagai kepemilikan pada kelompok sosial tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos. Ini menjadi lebih kental lagi bila dikombinasikan dengan identitas etnis, yakni Aceh Muslim, Flores Katolik, Bali Hindu, dan sebagainya. Pertentangan etnis atau pribadi bisa menjadi konflik antaragama.
Ketiga, agama menjadi legitimasi etis hubungan sosial. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, mekanisme yang ketiga ini bukan sakralisasi hubungan sosial, tetapi suatu tatanan sosial mendapat dukungan dari agama.
Dalam pandangan Walter Reich[1], ideologi merupakan sebuah kekuatan ide yang mendasari seseorang berbuat. Ideologi juga dapat didefinisikan sebagai aqidah ‘aqliyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) plus aqidah naqliyah yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan. Di sini akidah ialah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Terorisme meminati konsep mimpi meta-hidup. Artinya, terorisme menggusur nilai indah kehidupan nyata ini. Kematian dikejar, dipuja. Hidup orang lain dinafikan,  juga hidupnya sendiri. Ironisnya, hampir semua pelaku aksi kekerasan dan terorisme mencerminkan pemahaman agama yang literal, skriptural, dan rigid, sehingga mudah menyalahkan orang lain, memusuhi, dan mengkafirkan, yang pada gilirannya melahirkan aksi radikalisme dan terorisme. Pembentukan wacana radikal yang didasarkan pada penafsiran tekstual ditambah dengan problem riil rasa kehilangan martabat (indignation) atau kefrustrasian pada segmen-segmen tertentu dalam masyarakat itulah yang kemudian mendapatkan kekuatannya dari doktrin jihad. Dengan kata lain, jihad menjadi ideologi dan instrumen yang menggerakan untuk melakukan aksi radikalisme untuk merubah tatanan yang sekuler menjadi  tatanan yang Islami.
Ideologi radikal yang didasari keyakinan keagamaan itu semula hanya sebagai gerakan sosial, tetapi kemudian berubah menjadi gerakan politik. Komodifikasi tersebut diyakini berperan di dalam perkembangan kelompok-kelompok teror di Indonesia, seperti halnya , DI/TII,  Komando Jihad, Jemaah Islamiyah, dan lainnya. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh “mentor” dalam rangka komodifikasi ideologi, disinkronisasikan dengan agama dan dalil-dalil yang memperkuatnya (utamanya pada kata “jihad”) sehingga menjadikan alasan pembenaran bagi radikalisme. Aksi bom bunuh diri merupakan alat komunikasi yang efektif untuk melawan musuh-musuh Islam akibat ketidakberdayaan umat Islam melawan hegemoni Amerika Serikat dan Israel. Itu sebabnya, aksi bom bunuh diri yang dilakukan di Bali hingga Ritz Carlton yang diidentikkan dengan Jamaah Islamiah, dibungkus dengan bahasa agama untuk mendapatkan justifikasinya. Aksi bom bunuh diri dipandangnya sebagai salah satu bentuk kesyahidan untuk menegakkan ajaran Islam. Terorisme memiliki komponen software dan hardware strategis. Hardware-nya tampak dari teknologi canggih meracik bom “high explosive”. Sementara software terorisme adalah ideologi (dapat pula agamis) dengan  kompleksitas jaringan organisasi yang berlapis-lapis. Jelas, software semacam ini tidak mungkin dihadapi dengan sistem keamanan paling canggih sekali pun dan perkembangannya sangat sulit untuk dibendung.
Sejarah terorisme internasional memperlihatkan hanya kelompok dengan struktur organisasi yang jelas dan daya mobilisasi massa yang terbatas saja, yang dapat diakhiri dengan penangkapan atau pengeliminasian pemimpinnya. Kelompok terorisme seperti Jamaah Islamiah,yang menyerupai rangkaian buah anggur tidak bisa diperlakukan sebagai organisasi dengan struktur kepemimpinan yang jelas, melainkan terdiri atas individu-individu yang siap bergerak kapan pun ada yang mengoordinasikan.
Dari perspektif terror management theory, aksi teror yang dilakukan oleh mereka dengan demikian terjadi karena merasa kelompok identitas mereka terancam. Dengan mendasarkan pada teks-teks keagamaan yang ditafsirkan sebagai legitimasi ideologis sikap mereka, maka wajar jika kondisi psikologis mereka selalu merasa terancam, seakan-akan berada dalam situasi perang, dan upaya untuk memperjuangkan terwujudnya tatanan tersebut adalah bentuk jihad dan ibadah yang akan mendapat pahala di akhirat kelak. Perkembangan kelompok dari sisi kuantitas pun akan dianggap sebagai kekuatan untuk melawan hal-hal yang dianggap sebagai pengancam identitas kelompok mereka, yakni semua nilai-nilai, kultur dan ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai, kultur dan ideologi mereka.
Pada akhirnya, latar belakang munculnya terorisme pada tiga kategori, yaitu struktural, psikologis, dan pilihan rasional. Teori struktural menjelaskan sebab terjadinya terorisme dalam konteks lingkungan, politik, sosial, dan ekonomi masyarakat. Teori psikologis mempertanyakan mengapa individu tertarik bergabung dengan organisasi teroris, bahkan rela berkorban jiwa dengan cara bunuh diri. Sementara, teori pilihan rasional (rational choice) menjelaskan partisipasi teroris dalam aksinya dengan kalkulasi untung rugi[2]. Dengan kondisi jaringan terorisme yang terdiri dari sel-sel lepas, pengembangan kelompok dapat lebih efektif, selain itu penangkapan dan pembunuhan pimpinan teroris saja bisa menimbulkan kejutan balik (backfire) berupa peningkatan publisitas dari para teroris yang tewas sebagai martir yang akan menarik anggota-anggota baru.
Kekerasan berbasis agama, kendati memiliki legitimasi teologis, namun sesungguhnya juga dipahami sebagai fenomena yang memiliki jalinan degan entitas dan faktor lain, semisal ekonomi, politik atau lainnya. Namun, karena ekspresi kekerasan seringkali dibungkus dengan agama, maka kemudia kekerasan lebih kental nuansa dan motif agamanya dibanding motif lainnya. Ini karena, persoalan agama menyentuh secara lansung dimensi emosionalitas dan batiniah setiap pemeluknya. Karenanya, ketika agama menjadi identitas dan ideologi, maka akan mudah tersulut jka simbol-simbolnya disinggung atau merasa dilecehkan orang lain. 
Ada dua cara lain yang bisa mengakhiri petualangan kelompok terorisme. Pertama, memutus regenerasi kepemimpinan dan menghilangkan kemampuan memobilisasi pendukung.Tanpa kemampuan untuk mengartikulasikan visi yang jernih dari tujuan akhir pergerakan kepada para penerus, kelompok terorisme akan tereliminasikan. Kedua, kelompok teroris tidak akan selamat tanpa dukungan dari populasi di sekitarnya. Itu termasuk menyembunyikan buron, menggalang dana, ikut serta dalam persiapan dan eksekusi, hingga yang pasif berupa ketidakpedulian terhadap tanda-tanda aktivitas terorisme, menurunnya kerja sama dengan penyidik kepolisian, dan ekspresi dukungan terhadap tujuan kelompok teroris.
Respons multimedia terkoordinasi semestinya juga diupayakan sebagai bagian dari operasi kontraterorisme, untuk membentuk public distaste terhadap kelompok terorisme. Hal tersebut dilakukan dengan memperlihatkan perspektif korban-korban tak berdosa, ketidaksetujuan terhadap visi kelompok yang melakukan aksi, sempit dan sesat pikir dari para pendukung dan partisipan terorisme, dan kesediaan kelompok teroris menghalalkan penjagalan dan pembunuhan korban-korban sipil. Memutus mobilisasi dukungan terhadap kelompok terorisme hendaknya juga dilakukan dengan memberikan alternatif yang lebih baik kepada mereka yang berpikir ingin bergabung dengan terorisme, melalui gerakan reformasi membersihkan birokrasi, meningkatkan pengeluaran untuk kesejahteraan dan pendidikan, menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di wilayah-wilayah yang kurang mendapat perhatian pembangunan.

Daftar Referensi
·         Abas, N. (2005) Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI. Jakarta: Grafindo.
·         Apple, M. W. (2004) Ideology and Curriculum. 3rd Edition. New York & London: RoutledgeFalmer
·         Horgan, J. (2005) The Psychology of Terrorism. London & New York: Routledge
·         McLaren, P dan Leonard, P. (eds.) (1993) Paulo Freire: A Critical Encounter. London & New York: Routledge
·         Pyszczynski, T., Greenberg, J., dan Solomon, S. (1999). A Dual-Process Model of Defense againts Conscious and Unconcious Death-Related Thoughts: An Extension of Terror Management Theory; Psychological Review 106 (4), pp. 835-845, dalam Bracher, M. Radical Pedagogy: Identity, Generativity, and Social Transformation. New York& Basingstoke, Hampshre, England: Palgrave MacMillan
·         Reich, Walter.(1990) Origin of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind. New York: Cambridge University Press


[1] Reich, Walter. Origin of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind. 1990
[2] Asfar, Muhammad. Islām Lunak Islām Radikal: Pesantren, Terorisme dan Bom Bali, ed. Mammad Asfar. Surabaya: Pusat Studi Demokrasi dan HAM (PusDeHAM) dan Jawa Pos Press, 2003

Komentar

  1. Jangan selalu berbicara terorisme jika ingin menyudutkan salah satu agama, http://transparan.id

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process