Review New Trends in Terrorism Studies: Strengths and Weakness, Joshua Sinai in Ranstorp, Magnus. 2007. Mapping Terrorism Research:” State of art,gaps and future direction

I.    Ringkasan Eksekutif 
Situasi dan konstelasi hubungan antar negara telah mengalami perubahan drastis setelah terjadinya serangan terorisme pada menara kembar World Trade Center di New York, Gedung Pentagon dan percobaan serangan pada Gedung Putih pada 11 September 2001 hingga di negara Indonesia dengan ledakan di Kuta dan Legian pada 12 Oktober 2002. Semenjak itu bermunculan berbagai studi tentang terorisme dan asumsi dari masing-masing pakar guna menjelaskan fenomena tersebut dan bagaimana mengatasinya. Yang mungkin perlu dicatat adalah bahwa kenyataan di negera-negara berkembang seperti Indonesia, upaya penangulangan terorisme tidak sepenuhnya mendapat sambutan positif dari masyarakat. Di kalangan masyarakat timbul kecurigaan pada pemerintah, khususnya terhadap aparat keamanan, yang dinilai masih mempunyai keinginan untuk kembali pada sistem pengamanan di masa-masa sebelumnya dimana segala cara dapat digunakan untuk mempertahankan kekuasaan  pemerintah, dimana penulis sependapat dengan relevansi kebijakan hard power tersebut. Kekhawatiran yang berlebihan inilah yang membuat kinerja penanggulangan terorisme kurang optimal. Karenanya diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai apa itu terorisme, bagaimana sifat dan karakteristiknya, serta faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas teroris, sehingga dapat muncul hipotesa yang konstruktif sebagai dasar bagi upaya penanggulangan terorisme, salah satunya artikel New Trends in Terrorism Studies: Strengths and Weakness yang ditulis oleh Joshua Sinai sebagai bahan pelengkap buku Magnus Ranstorp . Artikel yang ditulis oleh Joshua Sinai dimaksudkan agar pembaca memberikan pemahaman mengenai fenomena terorisme ditinjau dari pisau analisa teori-teori social, mengidentifikasi karakteristik guna mengetahui kekuatan dan kelemahan sehingga mendapatkan solusi kontraterorisme. Studi tentang terorisme telah mencapai level tertinggi namun menyisakan berbagai problem, khususnya dalam menyepakati definisi terorisme, apakah berkaitan dengan serangan terhadap non kombatan dan kombatan, karena tanpa adanya kesepakatan terhadap hal tersebut, penyusunan database kronologis kejadian terorisme tidak dapat menyajikan analisis data terhadap eskalasi ancaman yang diahadapi oleh sebuah negara. 
II.    Argumentasi Utama 
Pemberontakan terorisme, pada semua bentuk konfihgurasi dan konflik, menyebabkan komunitas internasional menaruh perhatian atas peperangan terhadap ancaman keamanan. Akibatnya sebagian besar negara telah memperbaharui kebijakan pertahanan dan keamanan serta keterlibatan kalangan akademi dalam memberikan analisis terhadap ancaman terhadap terorisme, memperkiratkan skala ancaman dan bagaimana mengatasi ancaman tersebut.  Guna menjabarkan kekuatan dan kelemahan, maka perlu diketahui mulai dari definisi, pemetaan tipologi, memahami modus operandi hingga merumuskan indicator dalam usaha penanggulangan terorisme. Terorisme adalah taktik mengenai peperangan, seperti halnya gerilya, perang konvensional hingga perang menggunakan teknologi tinggi. Operasi terorisme adalah bagian dari peperangan psikologis kelompok pemberontak, dengan maksud merusak ketenangan psikologis dari targetnya. Karenanya, studi tentang terorisme adalah studi interdisipliner, mencakup data kualitatif dan kuantitatif, meskipun mengalami kesulitan menghadapi sifat alami dan kerahasiaan aktivitas terorisme. Hal ini karena, pertama, sangat sulit bagi peneliti terorisme melakukan studi lapangan dan teribat langsung dalam aktivitas teroris. Kedua, akibat sifat kerahasiaannya, menjadikan peneliti terorisme kesulitan di dalam mengumpulkan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai modus operandi dan aktivitas terorisme, dan yang terkahir, modus operandi yang berubah membuat para peneliti terorisme tidak dapat meperkirakan dengan pasti pola operasi terorisme selanjutnya. Mendefinisikan terorisme dengan benar adalah masalah lain yang dihadapi dalam meneliti fenomena terorisme, dimana tidak ada definisi yang consensus mengenai terorisme yang meliputi kekerasan. Definisi yang kerap digunakan adalah yang diberikan oleh pemerintah AS, dimana terorisme diartikan sebagai aktivitas kekerasan terencana, bermotivasi politik yang dilakukan terhadap korban non kombatan  oleh kelompok subnasional dan ataupun agen rahasia. Penggunaan definisi ini agar mendapat kemudahan, dengan alasan legal untuk menahan dan mendakwa pelaku aksi tersebut. Pendefinisian terorisme dalam ilmu social akan sangat beragam, bergantung apakah aktivitas tersebut hanya menyangkut korban non kombatan atau sebagai sebuah strategi peperangan yang digunakan oleh sekelompok terhadap seluruh warga negara, termasuk juga serangan melawan pasukan militer bersenjata.  Sinai menawarkan solusi untuk memperbaiki problem dalam menentukan apakah serangan terorisme ditujukan terhadap kombatan atau non kombatan. Yang pertama, mengambil dari Alex Schmit, bahwa inti dari kejahatan perang adalah ketika menggulirkan serangan terhadap warga sipil, penculikan dan pembunuhan terhadap tawanan, dan hal tersebut dapat juga berlaku bagi aksi terorisme. Yang kedua, teori dari Boaz Ganor yang mendefinisikan terorisme sebagai bentuk perjuangan kekerasan yang digunakan terhadapa warga sipil dalam rangka mencapai tujuan politik. Formulasi Ganor sangat penting karena memfasilitasi kekurangan yang tidak ada dalam ketentuan hukum di dalam komunitas internasional.dimana semua negara sepakat bahwa pergelaran serangan terhadap warga sipil tidaklah diperbolehkan dan secara internasional dapat dimasukkan ke dalam bentuk kejahatan. Ganor menyimpulkan bahwa jika aksi terorisme dapat secara internasional dilarang sebagai bentuk peperangan, sehingga teroris tidak mempunyai pilihan lain selain memfokuskan diri pada gerilya sebagai aktivits dalam mencapai tujuan politik mereka. Kebanyakan, pendefinisian terorisme oleh ilmu social cenderung berfokus pada penggunaan terorisme guna mempengaruhi target pemirsa dengan menyebarkan ketakutan dengan kejadian local melalui komunitas yang lebih besar. Problematika lainnya adalah saat berhadapan dengan kontraterorisme (offensif) dan kebijakan keamanan nasional (defensive). Perbedaan tipologi terorisme yang digunakan dalam ilmu social berfokus pada karakteristik yang berlainan pula sepertiapakah isu yang diangkat satu atau beragam hal, nasionalis/nasionalis separatis/revolusi social atau fundamental religious, kaum urban atau rural, disponsori negara atau berdiri sendiri, dan apakah organisasinya structural atau jaringan yang bebas. Ada tiga tipe dasar peperangan yang dilakukan oleh teroris, komvensional berdampak rendah, konvensional berdampak tinggi hingga penggunaan senjata CBRN (chemical, biological,radiological and nuclear). Menempatkan sebuah klompok dalam satu atau beberapa kategori membuat analis dapat memahami konteks operasi sebuah kelompok dan melengkapi perkiraan arah deraknya kedepan. Terorisme tidaklah muncul dari satu factor saja, namun saling mempengaruhi dengan berbagai factor lainnya. Akar permasalahan tidak hanya diam, manun berkembang dan berubah secara konstan. Banyak teori yang dapat membantu memberikan pemahaman mengenai asal-usul terorisme, misalnya teori struktural, yang berpusat pada kondisi sosial. Negara adalah focus utama teori structural tentang terorisme karena perannya sebagai factor yang mempercepat bangkit dan berkembangnyanya terorisme. Ketidakadilan social, ketidakpuasan, ketidakpedulian kaum elite dan krisis kesadaran social adalah factor pendukung munculnya terorisme di kehidupan masyarakat. Teori deprivasi relative, melihat terorisme dari sudut lain, yang memfokuskan pada hubungan antara frustasi dan agresi. Perasaan frustasi dan kemarahan yang menuntun individu ikut melakukan aksi terhadap sumber yang dirasakan membuat frustasi. Sementara sebagai akibat dari adanya teori deprivasi relative, teori deprivasi absolute muncul ketika sebuah kelompok telah didisktreditkan atas hak-hak dasarnya oleh pemerintah. Perbedaan antara deprivasi relative dan absolute bergantung pada kesenjangan antara apa yang orang punya dengan apa yang mereka butuhkan untuk mempertahankan kebidupan. Pada level social, pengalaman ketimpangan social dan ekonomi, tidak meratanya pendidikan, kebebasan masyarakat dan politik yang rendah menjadi batu loncatan bagi aksi terorisme. Pada level kelompok, agen mobilisasi seperti pemimpin yang kharismatik, menjadi dorongan bagi para anggotanya, sementara pada level individual, kerentanan terhadap radikalisasi dan perekrutan ke dalam organisasi terorisme adalah  factor penyebab ekstra lainnya. Hubungan diantara kemiskinan, pendidikan yang rendah dan variable sosio ekonomi lainnya termasuk benturan antara tradisionalitas dan modernitas dan terorisme adalah kompleks, seperti halnya hubungan diantara tekanan negara, tidak tersedianya kesempatan politik dan terorisme. Kemampuan kelompok teroris untuk mengeksploitasi kegagalan politik atau tidak adanya stabilitas politik yang ada pada negara yang lemah atau gagal adalah penyebab politik lainnya. Adalah sangatv penting untukmempelajari karakteristik dan sifat pemimpin yang secara efektif merekrut dan meyakinkan individu untuk bergabung di kelompoknya. Sebagian ilmu telah menunjukkan bahwa mereka yang ikut ke dalam kelompok teroris didorong oleh berbagai macam factor sikologis yang berberda, seperti halnya agresi, narsisme, dan penyimpangan kepribadian yang paranoid. Penelitian lainnya beragumen bahwa mereka yang ikut dalam kekerasan terorisme adalah sebenarnya orang yang normal meskipun cenderung mempunyai tabiat yang buruk. Pemahaman terhadap factor sikologis teroris sangat penting didalam menciptakan ukuran untuk mencegah individu bergabung dalam jaringan teroris. Hubungan diantara kelompok teroris dengan simpatisan dan komunitas sub yang mendukung dapat dilihat sebagai bentuk piramida dimana kelompok teroris berada di puncak sebaliknya simpatisan dan pendukung ada di bawah. Pada tingkat atas dicirikan peningkatan pergerakan, komitmrn dan keikutserataan dalam aktifitas teroris. Analisis jaringan social sebuah metode yang cenderung relevan untuk memahami proses radikalisasi dan rekrutmen organisasi terorisme memetakan tipe dan frekuensi interaksi diantara individu untuk melihat perbedaan diantara mereka yang terlibat dalam terorisme. Marc Sageman menemukan bahwa terdapat proporsi yang signifikan dari teroris yang ikut ke dalam pergerakan global salafi jihadis akibat pernikahan dan hubungan kekeluargaan dan bahkan melalui pertemanan yang intensif. Pemahaman mengenai bagaimana individu menjadi radikal sehingga kelompok teroris atau bagaimana individu memilih untuk bergabung dalam kelompok terorisme memberikan pemahaman mendasar besarnya ancaman teroris yang dihadapi oleh negara yang menjadi sasaran. Ide, terutama ideology agama yang radikal adalah pendorng utama yang menggerakkan individu dan kelompok melakukan aksi terorisme serta melengkapi mereka dengan fondasi religi dan budaya ,sebagai panduan untuk beraksi. Teori organisasi membantu untuk menjelaskan pola organisasi dinamis yang diadopsi oleh kelompok terorisme untuk mengelola personil dan aktifitasnya, selain itu pola tersebut dipilih agar memastikan loyalitas dan kohesifitas anggotanya atas dasar pengorbanan salah satu nyawa untuk aksi tersebut. Selama bertahun-tahun struktur organisasi yang efektif oleh teroris berubah-ubah sepanjang waktu termasuk memperluas jaringan infrastruktur logistic organisasi meningkatkan kapabilitas keamanan menguasai teknologi komunikasi terbaru yang dapat mendukung efisiensi tanpa harus terdeteksi beberpaa organisasi teroris yang besar seperti hamas dan hisbullah juga menjaga struktur organisasi yang legal untuk memperluas basis support. Dalam menganalisa tren terbaru dari organisasi terorisme terdapat empat kritik yang saling  berhubungan, yang pertama, perbedaan cara teroris kota dan kota  membangun organisasi pergerakannnya, kedua, apakah organisasi teroris diorganisasi berdasarkan struktur hierarki, sel-sel, atau formasi jaringan, ketiga, peran dari komunikasi, bagaimana internet dieksploitasi untuk memberikan perintah firtual dan mekanisme control diantara pimpinan, oprasi dan pendukngnya, keempat, peran dari pendanaan, mencakup hubungan antara kelompok terorisme dan front penjamin kesejahteraan ekonomi dan social.  Untuk memahami prosedur oprasi internal sebuah grup sangat diperlukan data kualitatif dan kuantitatif mengenai modus operandi seperti yang dilakukan oleh teroris. Mereka memutuskan target, taktik, personil, dan tugas masing-masing devisi berdasrkan sel-sel oprasi, mereka juga menyelenggarakan pengamatan mengalokasi sumber-sumber untuk oprasi, mengatur administrasi dan logistic untuk oprasi dan melaksanakan rencana penyerangan kelompok teroris ini cenderung untuk mengkombinasikan cara-cara tradisional dan modern guna mencapai tujuannya. Modus operandi yang konvensional tidaklah berlaku lama, mereka cenderung untuk mengambil pelajaran dan menyempurnakan serangan selanjutnya. Perkembangan dari data basekronologis kejadian terorisme memberikan mafaat yang besar untuk mengetahui tren wawasan lainnya terhadap terorisme, efektifitas langkah kontra terorisme ataupun dampaknya terhadap tatanan social. Jika terorisme didefinisikan sebagai tindakan yang ditujukan hanya kepada masyarakat sipil aksi-aksi melawan pasukan militer hanya akan menjadi data base insiden tipe lain, selain itu permasalahan sumber data yang dikategorikan rahasia intelegent akan menjadi problem dalam pengukuran besarnya ancaman terorisme karena secara firtual data basehanya focus kepada kejadian yang sukses, atas kondisi tersebut salah satu keterbatasan akademis di level pengumpulan data adalah tidak dapat memperkirakan keotoritasan dan perolehan data base pemerintah, dilain pihak prosedur statistok mensyaratkan untuk menggeneralisasi dari kejadian yang jarang terjadi yang dapat dijadikan hipotesa penelitian.  Meskipun tidak dapat mendekati perkiraan dan prediksi seperti pada bencana alam, ilmu sosial telah mengembangkan pendekatan untuk mengantisipasi gerakan terorisme. Seperti contohnya aplikasi analisis dari database kronologis kejadian dapat menciptakan pengetahuan terhadap kejadian terorisme. Dalam rangka memetakan lokasi geografis dan distribusi serangan dan mengidentifikasi wilayah yang beresiko tinggi. Data yang diperoleh dari karakteristik dan detail dari serangan sebelumnya maupun operasi yang gagal dapat menciptakan sinyal peringatan untuk memprediksikan kemungkinan, frekwensi dan lokasi serangan selanjutnya. Belum diketahui apakah analisis trend dari data dapat menjanjikan validitas dari prediksi analisis komparatif dari ilmu alam, sementara ilmu sosial dapat framework yang lebih teliti untuk memprediksikan data dalam bentuk yang lebih umum. Untuk dapat membuat upaya pemberantasan terorisme lebih efektif, pemerintah perlu menerapkan kombinasi strategi koersif dan softpower yang dapat menumpas kelompok perlawanan sekaligus mencegah konflik menjadi aksi kekerasan. Memahami akar yang menyebabkan konflik dapat menambah kapabilitas pemerintah untuk menetukan taktik dan strategi yang efektif untuk menghadapi tantangan dan ancaman yang spesifik. Sebagian pergerakan insurgent tidak dapat dipisahkan dari ekstrimitas dan tidak tertarik merundingkan permintaan mereka. Nampaknya tidak akan terjadi kesepakatan damai diantara pemerintah dan pemberontak bahkan jika pemerintah berkeinginan memecahkan akar masalah dari konflik itu sendiri. Sangat sulit membedakan legitimasi pemberontak ataupun keinginan yang dilegitimasi. Salah satu kelebihan dari pergerakan teroris adalah sangat sedikit informasi yang aka didapatkan mengenai operasi dan intensitas serangan yang akan terjadi. Analisis jaringan sosial dapat digunakan untuk mengurangi kesempatan yang dimiliki oleh teroris dengan memungkinkan praktisi kontraterorisme untuk memetakan bagaimana kelompok terorisme merekrut dan mengoragnisasi dirinya, sehingga praktisi kontra tero dapat mempertimbangkan apakah akan menggunakan operasi yang sederhana ataupun rumit sekalipun sebelum terjadinya serangan. Karenanya metodologi geografis dan jaringan sosial dapat digunakan untuk memampu  pemetaan pola wilayah sebagai asumsi lokasi dan pergerakan terorisme, apa rencana serangan kedepan dan karakteristik dari masing-masing operasi. Namun, salah satu kekurangan yang dihadapi oleh studi terorisme adalah tidak tersedianya metode dan pola-pola untuk menetapkan tindakan pemerintah dalam menanggulangi terorisme. Tidak ada alat pasti yang dapat digunakan untuk upaya kontra terorisme. MAA (mission area analysis), metode yang dikembangkan militer, mungkin salah satu alat yang dapat dipertimbangkan guna menutupi kekurangan metode kontra terorisme, untuk memformulasikan roadmap strategi yang dapat diaplikasikan dengan taktik yang tepat di lapangan. Ukuran keberhasilan operasi kontra terorisme dapat saja termasuk data yang mengindikasikan perselisihan di dalam kelompok, pengabaian, kesulitan dalam merekrut, permasalahan pendanaan, kehiilangan negara penyokong dan pendukung ataupun kendala lain yang dihadapi oleh teroris itu sendiri. Segala hal yang menyebabkan seseorang pada akhirnya meninggalkan kelompok terorisme, dapat menjadi kunting guna membongkar rahasia terorisme dan sebaliknya akan dijadikan masukan guna operasi kontra terorisme. 
III.    Tinjauan Kritis     
Terorisme merupakan suatu kenyataan realitas yang muncul dan berkembang diantara kehidupan manusia. Upaya untuk memetakan apa sebenarnya terorisme, apa yang mendasari  dan apa yang menggerakkan dia untuk berkembang serta mengidentifikasikan kekuatan sekaligus kelemahan dari terorisme menjadi hal penting yang harus dipelajari guna menciptakan solusi kontra terhadapnya. Tujuan dari terorisme bergantung kepada motofnya, baik menyangkut ideologi, politik ataupun relasi diantara keduanya, tidak dipungkiri dapat juga bermotif ekonomi. Terorisme tidak mempunyai batasan moral atau sasaran. Yang penting bagi teroris adalah bagaimana mencapai tujuan, bagaimanapun caranya. Secara ontologism, terorisme adalah State of Affairs, dimana manusia mempunyai hubungan kausaliats dengan munculnya terorisme itu sendiri . Hakekat subyek terorisme adalah manusia, sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai ambisi. Bila dicermati secara mendalam akar penyebab munculnya aksi terorisme sangat rumit dan kompleks. Berbagai muktifaktorial yang menyangkut masalah transnasional dan kehidupan politik dunia bisa jadi penyebab dan pemicu terjadinya terorisme. Secara umum muktifakktorial yang terjadi adalah faktor ketidakadilan itu terjadi di berbagai belahan dunia baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Berbagai faktor ketidakadilan tersebut akan memicu faktor radikalisme dan fundamentalisme. Radikalisme dan fundamentalisme akan dipermudah oleh rendahnya pendidikan, kemiskinan, budaya,  dan kehidupan sosial. Keterbelakangan pendidikan, perubahan politik, kemiskinan atau rendahnya peradaban budaya dan sosial seseorang akan memicu radikalisme dan fundamentalisme yang berujung pada kekerasan, ekstrimisme dan terorisme. Sementara itu, Smelser dalam bukunya “The Faces of Terrorism: Social and Psicological Dimension” mencoba menjawab pertanyaan apa yang menimbulkan terorisme, pendukung dan bagaimana mereka berpikir, dan bagaimana - dan mengapa penanggulangan yang telah dilakukan tidak bekerja , sejalan dengan mekanisme kerja Horgan . Horgan yakin gerakan terorisme lahir bukan sebagai gerakan sosial, namun sebagai proses yang rentan terhadap benturan psikologis. Gerakan terorisme selalu dikaitkan dengan arogansi, kebiadaban, korban cedera dan meninggal, namun realitas lain yang terjadi adalah gerakan politik yang menggunakan terorisme mahir memanipulasi peristiwa bahkan media, demi keuntungan dan sarana mencapai tujuan mereka. Neil Smelser mulai dengan mengatasi masalah mendasar dari mendefinisikan apa sebenarnya terorisme. Smelser mengusulkan satu definisi diantara berbagai definisi terorisme yang tercipta, sekumpulan orang yang memperhitungkan kompleksitas, bermuatan politis, tidak konvensional dan dekat dengan kekerasan. Smelser mengeksplorasi akar penyebab dan kondisi terorisme, dan menguji ideologi yang menginspirasi dan menjadi kekuatan serta tersebar ke seluruh dunia. Smelser melihat lebih dekat pada pelaku terorisme itu sendiri, bagaimana perekrutan mereka, motivasi mereka, pembentukan kelompok mereka, maksud mereka diantara warga lainnya, dan penggunaan media dalam mengejar agenda mereka. Ia mempelajari sasaran masyarakat juga, mengungkap rumitnya dampak sosial dan psikologis karena harus menghadapi ancaman yang selalu datang dari serangan teroris sekaligus merespons ketika hal tersebut terjadi. Dia menjelaskan apa artinya hidup di bawah ancaman terorisme, dan tantangan pose kebijakan dalam dan luar negeri. Sejauh ini, Smelser menarik temuan terbaru dalam sosiologi, ilmu politik, antropologi, ekonomi, psikologi, psikiatri, dan sejarah. Obyek dan tujuan yang dikehendaki Smelser adalah entitas masyarakat secara luas, tidak seperti Horgan dan Borum.  Smelser juga membahas faktor yang berkontribusi terhadap penurunan kelompok teroris, ketergantungan oleh kelompok-kelompok teroris pada publisitas konstan, langkah-langkah yang efektif dalam melawan terorisme dan dampak terorisme di masyarakat madani. Smelser menunjukkan hubungan kompleksitas social dan psikologis sebagai akar terorisme dan sifat sederhana dari pandangan para pemimpin kita. Pada intinya dari argumennya adalah pendapat bahwa kaum minoritas melihat menimbulkan ideologi yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya alat menyampaikan keluhan.  Setelah 9/11 Smelser mengambil pandangan bahwa ilmuwan sosial harus menawarkan pendekatan segar yang menghindari perdebatan politikus partisan. Beberapa sentuhan yang bagus adalah dia menggunakan pengalaman pribadi untuk menerangkan isu-isu kunci dan identifikasi tentang sejumlah 'entrapments’. Dunia pasca terorisme, utamanya sejak tragedy 9/11, telah menguatkan betapa perlunya memperkuat pemahaman mengenai fenomena social dan psikologis. Bahwa apa yang menurut sebagian besar masyarakat dipandang sebagai akar penyebab perilaku terorisme, mulai dari ketidakadilan, kekecewaan bahkan penyakit social pun belum tentu menimbulkan semangat perlawanan menggunakan kekerasan atau terorisme, pun hal ini juga tidak dapat begitu saja digeneralisasikan kepada kelompok terror lainnya. Memahami akar terorisme merupakan hal yang misterius, menyangkut kompleksitas dan paradoks di dalamnya. Setiap kelompok teroris memiliki sifat yang unik dan harus diteliti dalam konteks budaya serta sejarah nasionalnya sendiri. Akan sangat tidak bijaksana untuk menganggap karakteristik yang sama terhadap semua kelompok teroris. Namun dapat digarisbawahi, Teror atas nama apapun biasanya menghendaki adanya perubahan terhadap kondisi yang ada. Ada dua target yang berbeda, yakni target kekerasan dan target pengaruh terhadap masyarakat luas. Tetapi tetap pada kerangka untuk mencapai tujuan-tujuan politik, meski terkadang juga untuk mencapai tujuan agama. Perbedaan cara pandang terhadap masalah untuk menyelesaikannya, bisa jadi merupakan alasan kuat para teroris untuk melakukan perubahan. Bahwa caranyalah dianggap sebagai satu-satunya cara yang benar. Memahami lebih jauh terhadap terorisme merupakan sebuah kebutuhan yang penting. Kesalahan anggapan terhadapnya berimplikasi terhadap orang banyak. Terjadinya proses penuduhan salah satu pihak tak lain karena kurangnya pemahaman terhadap terorisme itu sendiri. bahkan kalau perlu terhadap masyarakat itu sendiri. Ketiga literatur tersebut mencoba menguak secara mendalam melalui penelitian tentang aspek psikologi, ideologi, teologi dan sikap mental terorisme.
IV.    Kesimpulan Aplikatif 
Dari berbagai perspektif aksi teror yang dilakukan oleh mereka dengan demikian terjadi karena merasa identitas dan kelompok, yang menyangkut hak-hak dasar mereka terancam. Dengan mendasarkan pada teks-teks keagamaan yang ditafsirkan sebagai legitimasi ideologis sikap mereka, maka wajar jika kondisi psikologis mereka selalu merasa terancam, seakan-akan berada dalam situasi perang. Dengan demikian karakteristik tersebut tidak hanya reaksioner terhadap yang dianggap mengancam mereka saja, melainkan juga ekstensif dengan mengajak orang-orang untuk ikut dalam kelompok tersebut. Mereka pun yakin tatanan dunia baru sesuai dengan keyakinan ideologis mereka tersebut adalah perintah Tuhan, dan upaya untuk memperjuangkan terwujudnya tatanan tersebut adalah bentuk jihad dan ibadah yang akan mendapat pahala di akhirat kelak. Selain itu juga sekaligus merasa telah menyelamatkan orang-orang tersebut ke jalan yang benar dari ketersesatan. Perkembangan kelompok dari sisi kuantitas pun akan dianggap sebagai kekuatan untuk melawan hal-hal yang dianggap sebagai pengancam identitas kelompok mereka, yakni semua nilai-nilai, kultur dan ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai, kultur dan ideologi mereka. Dengan merujuk pada karakteristik eksklusif dari gerakan terorisme tersebut, maka yang paling mungkin dilakukan adalah mewaspadai tiap kelompok atau orang-orang yang memiliki nalar dan praktik sosio-kultural eksklusif. Namun yang perlu ditekankan adalah: sikap mewaspadai tidak dapat diartikan sebagai menjauhi mereka, pun tidak selayaknya memberikan penilaian negatif terlebih dulu. Pada kenyataannya refleksi dan introspeksi diri telah terbukti menjadi sebab seseorang keluar dari kelompok jaringan yang berideologi terorisme dan kekerasan, yakni ketika mereka tersadar dengan sendirinya setelah berpikir secara kritis dengan refleksi dan introspeksi terhadap nilai-nilai ideologis dan kultural serta aksi-aksi yang telah mereka lakukan (misalnya adalah kisah Nasir Abas, 2005).  Ada dua cara lain yang bisa mengakhiri kelompok terorisme. Pertama, memutus regenerasi kepemimpinan dan menghilangkan kemampuan memobilisasi pendukung. Tanpa kemampuan untuk mengartikulasikan visi yang jernih dari tujuan akhir pergerakan kepada para penerus, kelompok terorisme akan tereliminasikan. Kedua, kelompok teroris tidak akan selamat tanpa dukungan dari populasi di sekitarnya. Itu termasuk menyembunyikan buron, menggalang dana, ikut serta dalam persiapan dan eksekusi, hingga yang pasif berupa ketidakpedulian terhadap tanda-tanda aktivitas terorisme, menurunnya kerja sama dengan penyidik kepolisian, dan ekspresi dukungan terhadap tujuan kelompok teroris. Ini tidak akan sulit bila mau berusaha, karena sebagian besar masyarakat secara alamiah lebih memilih ketiadaan ancaman terorisme maupun pemberlakuan keadaan darurat dalam kontra-terorisme. Respons multimedia terkoordinasi semestinya juga diupayakan sebagai bagian dari operasi kontraterorisme, untuk membentuk public distaste terhadap kelompok terorisme. Hal tersebut dilakukan dengan memperlihatkan perspektif korban-korban tak berdosa, ketidaksetujuan terhadap visi kelompok yang melakukan aksi, sempit dan sesat pikir dari para pendukung dan partisipan terorisme, dan kesediaan kelompok teroris menghalalkan penjagalan dan pembunuhan korban-korban sipil. Memutus mobilisasi dukungan terhadap kelompok terorisme hendaknya juga dilakukan dengan memberikan alternatif yang lebih baik kepada mereka yang berpikir ingin bergabung dengan terorisme, melalui gerakan reformasi membersihkan birokrasi, meningkatkan pengeluaran untuk kesejahteraan dan pendidikan, menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di wilayah-wilayah yang kurang mendapat perhatian pembangunan.  
Daftar Pustaka •    Apple, M. W. (2004) Ideology and Curriculum. 3rd Edition. New York & London: RoutledgeFalmer •    Horgan, J. (2005) The Psychology of Terrorism. London & New York: Routledge •    McLaren, P dan Leonard, P. (eds.) (1993) Paulo Freire: A Critical Encounter. London & New York: Routledge •    Reich, Walter.(1990) Origin of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind. New York: Cambridge University Press

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Domestik dan Pembentukan Strategi Kontraterorisme

Tehnik Pengambilan Sample dalam Penelitian

Grand Strategy Making Process