War On Terror Amerika Serikat Di Indonesia: Senapan atau Bantuan ?
Garda utama perang global melawan
terorisme yang digelar oleh pemerintahan Bush adalah Timur Tengah dan
sekitarnya dengan melakukan invasi militer. Selanjutnya adalah Asia Tenggara, sesuai
dengan analisa banyak pengamat yang menyebut bahwa Asia Tenggara adalah front
kedua. [1]
Dalam konteks ini, Indonesia berada dalam situasi yang sulit. Tekanan domestik
dari berbagai kelompok Islam dan nasionalis menentang kebijakan luar negeri AS
ini.[2]
Di sisi lain, lingkungan internasional yang berada dalam pengaruh kuat hegemoni
AS terus mendesakkan pemberantasan terorisme sebagai prioritas utama. Hal ini menciptakan respon yang ambigus dari
pemerintah, hingga Bom Bali 12 Oktober 2002 membuat pemerintah masuk dalam
agenda kontraterorisme yang dipimpin AS, meskipun dalam batas-batas tertentu. Beberapa
pengamat seperti Tan See Seng dan Kumar Ramakhrisna melihat bahwa ada beragam respon
dari beberapa unit terkait di dalam negara, yang terkadang justru terjebak
dalam persaingan antar agensi. Hal ini yang menggambarkan kerja sama
antarnegara dipandang lebih baik daripada kerjasama antarbadan terkait di alam
negara itu sendiri .[3]
Pemerintah
Amerika Serikat juga menitikberatkan kerjasama bilateral di sektor militer yang
dikhususkan pada upaya-upaya perang melawan terorisme internasional yang diduga
telah masuk di wilayah Indonesia. Dalam kerjasama tersebut termasuk pemberian
dana hibah sebesar 50 juta USD. Dari 31 juta USD dana tersebut akan
dipergunakan untuk pelatihan polisi dan program-program pendukung lainnya
(persenjataan dan termasuk teknologi pendukung), 19 juta lainnya untuk pembentukan
unit-unit satuan anti teror baru yang lebih professional. Hal ini kembali
mencairkan hubungan Amerika Serikat dan Indonesia yang telah beku pasca
pelanggaran HAM Timor Timor. [4]
Selain itu pasca peledakan bom Bali, konsulat Amerika Serikat juga menjadi
sasaran semakin mengintensifkan kedua negara menjalankan kerjasama bilateral
dalam usaha memerangi terorisme internasional seperti kerjasama antara
kepolisian dan intelejen.
Pasca
tragedi 9/11, AS
mengeluarkan kebijakan perang melawan terorisme dan mengajak negara di seluruh
dunia untuk ikut dalam pemberantasan terorisme, tidak terkecuali Indonesia. Pada
19 September 2001 selama pertemuan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan
Presiden George W.Bush, kedua kepala negara ini membahas perlunya kerjasama
keamanan antara Indonesia dan AS yang berkelanjutan dan saling menguntungkan
dalam mendukung perdamaian, demokrasi, dan stabilitas. Hasil kesepakatan yang
dicapai antar keduanya memutuskan bahwa akan diadakan Dialog Keamanan setiap
tahunnya yang membicarakan tentang berbagai macam isu keamanan dan pertahanan
baik keamanan nasional maupun keamanan regional, serta pemberantasan terorisme
yang mengancam masyarakat internasional.
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Ralph L Boyce, dalam
kuliah umum berjudul “US-Indonesian Relations in the Post-September 11
World” di Universitas Paramadina, Jakarta, menjelaskan bahwa
terorisme itu harus diperangi melalui bidang diplomatik, melalui kerja sama
intelijen dan saling berbagi informasi serta membangun koalisi. Di bidang
finansial, harus ada kerja sama untuk membekukan aset-aset teroris serta kerja sama
domestik dan internasional untuk mencegah praktik pencucian uang dan imigrasi
illegal.[5]
Indonesia
dan Amerika Serikat memiliki landasan yang kuat dalam melakukan kerjasama untuk
kepentingan kedua belah pihak yang berlandaskan pada adanya nilai-nilai dasar
yang dihormati bersama, meskipun kedua belah pihak memiliki standar dan
kriteria berbeda khususnya norma dan budaya kelokalan yang dimiliki.
Kesepakatan kerjasama yang bersifat
menyeluruh melalui dukungan terhadap integritas teritorial, perkembangan demokrasi
dan reformasi, serta upaya Indonesia dalam menjaga stabilitas nasional tercatat
dalam Joint Statement Presiden RI dan Presiden AS pada saat
kunjungan Presiden Bush ke Indonesia, 20 November 2006, yang menyebutkan
“…the two countries are bound by a
broad based-democratic partnership based on equality, mutual respect, common
interest and the shared values of freedom, pluralism and tolerance…”.[6]
Pemerintah
Indonesia dan Amerika Serikat sepakat membuat komisi bersama, kesepakatan
tersebut ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton. Kedua menteri sepakat
untuk melakukan rencana aksi kemitraan komprehensif meliputi kerjasama politik
dan keamanan, ekonomi dan kerjasama pembangunan dan kerjasama di bidang sosial
budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada bidang kerjasama
keamanan, kedua pemerintah juga sepakat untuk melanjutkan kerjasama yang
tertuang dalam dialog keamanan, dimana kerjasama tersebut antara lain pada
keamanan maritim, bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana, perdamaian
dan reformasi
pertahanan.[7] Melalui
kerjasama kemitraan dengan Indonesia, Amerika Serikat dapat menjangkau dunia
untuk berbagi nilai yang sama.[8]
Salah satu butir kerjasama kemitraan yang berkaitan dengan penanganan terorisme
di Indonesia adalah untuk memperkuat kerjasama dalam mencegah dan memberantas
tantangan non-tradisional dalam keamanan regional, termasuk manajemen dan
respon bencana, keamanan maritim, kontra terorisme, penyelundupan migran dan
perdagangan manusia, perdagangan narkoba, perdagangan gelap bahan nuklir dan
sumber radio akif, penyakit menular, korupsi, pencucian uang, cyber crime, dan kejahatan ekonomi
internasional, sumber daya alam kejahatan, penebangan liar dan perdagangan
liar, penangkapan ikan yang tidak diatur dan tidak dilaporkan, melalui
peningkatan
kapasitas, manajemen perbatasan, pertukaran informasi dan mekanisme konsultasi
bilateral regular, dan melalui ASEAN dan ARF serta melalui Pusat Penegakan
Hukum Jakarta Cooperation (JCLEC).[9]
Amerika
Serikat dan Indonesia juga bekerjasama pada bidang lainnya yakni kepolisian dan
keamanan, penegak hukum, legislator, kantor imigrasi, perbankan, dan lainnya
seperti intelejen finansial. Kemudian
program lainnya termasuk pelatihan penyelenggaraan kerjasama dalam
counterterrorism di bidang militer Indonesia dimana program yang diberi oleh AS
yakni pelatihan Unit Polisi Nasional “Datasemen Khusus 88” (Densus 88). Untuk
tujuan ini telah dialokasikan dana sebesar $5 juta, termasuk investigasi
program, Explosives Incidents
Countermeasures, Crisis Response, dan pelatihan anggota.[10]
Sampai
dengan tahun 2003 pemerintah Indonesia telah menetapkan 271 anggota polisi
berprestasi untuk mendapatkan pelatihan khusus.
Pelatihan ini dilaksanakan di Indonesia dengan mendatangkan beberapa
pelatih dari Amerika Serikat dan juga ada yang dilaksanakan di Amerika Serikat
Pelatihan di Indonesia dengan mendatangkan pelatih dari AS: [11]
1) Riot
Control Unit Training;
2)
Senior Leadership Workshop;
3)
Transition to Civilian Policing for Supervisors;
4)
Civil Disturbance Management;
5)
Post Blast Bomb Investigation Course;
6) Terorist Crime Scene
Investigation Course.
b) Pelatihan langsung di Amerika Serikat:
1) Hostage Negotiation Course, di New
Mexico;
2) Vital
Instalation Protection, di Albuquerque;
3) Post Blast
Investigation Course, di New Mexico;
4) Explosive
Diffusion Training, State Police Academy, di Lousiana;
5) Critical
Incident Management training, State Police Academy, di Lousiana
Berdasarkan
data yang dilansir oleh Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, yang bernaung
dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, dalam rangka peningkatan
kapasitas penegak hukum telah dilaksanakan kerjasama dengan pihak
pemerintah Amerika Serikat untuk mempelajari hal-hal yang menyangkut penanganan
terorisme di negara tersebut. Peserta pelatihan ini terdiri dari personil
lintas departemen seperti Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri,
Departemen Hukum dan HAM, Departemen Perhubungan, TNI, Polri dan BIN.
Tabel 2.5.1
Kerjasama Kontraterorisme Indonesia dengan Amerika Serikat[12]
Tahun 2002-2009
No.
|
Nama Pelatihan
|
Tempat
|
Keterangan
|
1
|
Counter Terrorism Course
|
Washington DC
|
November 2002
|
2
|
The Comprehensive Security Responses
and Terrorism
|
Honolulu, Hawaii
|
23 Agustus – 10 September 2002
|
3
|
Crisis Management Training for
Trainers
|
PTIK, Jakarta
|
16-17 Desember 2003
|
4
|
Workshop “ Media Handling Skills and Public Relations
Dring a Crisis”
|
Gedung LIN, Jakarta
|
29 November – 3 Desember 2004
|
5
|
Workhsop Sehari
“Keamanan dan Pengamanan bagi Jaksa dan Hakim”
|
Bali
|
14 Januari 2005
|
6
|
Lokakarya “ Masalah
Hukum para Hakim, Jaksa dan Kepolisian”
|
Hotel Aston, Makassar
|
19-20 September 2006
|
7
|
Seminar “Civil-Military Interagency Cooperation on
CounterTerrorism”
|
Hotel Shangrilla, Jakarta
|
26-29 September 2005
|
Laporan
Departemen Luar Negeri AS menyatakan
bahwa prioritas
kebijakan menyeluruh luar negeri AS di Indonesia adalah
untuk membantu transformasi menjadi demokrasi, moderat yang stabil, mampu mengatasi
tantangan regional dan dalam kemitraan global dengan masyarakat internasional.[13] Negara ini menghadapi banyak perkembangan dan
tantangan keamanan, termasuk ancaman teroris,
separatis dan konflik etnis, kelemahan lembaga penegak hukum, tingginya
tingkat korupsi, kemiskinan dan pengangguran,
rendahnya tingkat
pendidikan, dan kondisi kesehatan
yang
buruk.
Tujuan
strategis terbesar dalam hal pendanaan kontra terorisme adalah investasi pada
orang 87.600.000 juta Dolar, yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan membersihkan program
air. Sebuah inisiatif bantuan utama AS selama enam tahun, sebesar 157.000.000 juta Dolar, diberikan kepada
sektor pendidikan yang dimulai pada 2004. Bantuan terbesar
kedua adalah program perdamaian dan keamanan, tercatat 41.700.000 juta Dolar untuk tahun 2008 bagi militer
dan polisi Indonesia untuk melawan terorisme,
proliferasi senjata tempur dan kejahatan lintas
negara lainnya, memantau perairan strategis,
dan bekerja sama dengan angkatan bersenjata Amerika
Serikat.[14]
Pergantian
Presiden yang dimenangkan oleh Barack Husein Obama bagi negara-negara di dunia
membawa perubahan terhadap kebijakan pemerintah AS yang lebih mengutamakan
peperangan dalam menghadapi setiap masalah yang ada. Berbeda dengan Presiden AS sebelumnya, Obama dalam setiap
kebijakan yang Ia keluarkan menggunakan soft power, dimana berusaha untuk
mengubah image AS dimata dunia dan merangkul negara-negara Muslim, hal ini
berbeda dengan Presiden AS sebelumnya.
Terpilihnya
Obama dan kerjasama antara Indonesia dan AS memberikan keuntungan bagi
masing-masing pihak. AS adalah negara superpower sedangkan Indonesia adalah
negara terbesar di Asia Tenggara, AS adalah negara dengan perekenomian terbesar
di dunia, Indonesia adalah negara dengan gerak perekonomian terbesar di Asia
Tenggara. Indonesia memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, bahkan lebih
banyak jika dibandingkan dengan Timur Tengah, sehingga terdapat kepentingan-kepentingan dan asset strategis
yang dimiliki keduanya untuk menjalin kerjasama terutama dalam bidang keamanan.
Kedatangan Presiden Obama pada November 2010 silam
di Indonesia merupakan kunjungan pertamanya setelah terpilihnya Obama sebagai Presiden
AS. Kedatangannya tersebut secara resmi meluncurkan US-Indonesia
Comprehensive Partnership, yang merupakan sebuah inisiatif dimana AS akan
memperluas dan memperkuat hubungan dengan Indonesia untuk menangani isu-isu
regional dan global. Kemitraan ini juga dimaksudkan untuk lebih merekatkan tali
kerjasama kedua belah pihak, tidak hanya menyangkut satu isu, namun juga
hubungan yang lebih merata. Makna dari kunjungan tersebut adalah untuk
mengintensifkan hubungan Indonesia dan AS untuk beradaptasi dengan tantangan
abad ke-21.[15]
Perang melawan terorisme tidak hanya bisa dilakukan di medan perang,
melainkan di berbagai bidang. Selain melalui diplomasi, perang bisa dilakukan
dengan menggalang kerja sama intelijen, pembekuan aset finansial, hingga pencegahan imigrasi ilegal.
Melalui pemaparan diatas, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa Amerika Serikat melaksanakan kebijakan War on Terror di Indonesia melalui
strategi diplomasi dan penegakan hukum atau disebut Soft Approach. Strategi ini didasari pada keinginan bersama kedua negara yang meletakkan prinsip-prinsip demokrasi,
keseimbangan kemitraan, saling menghargai, dan saling berbagi nilai-nilai
kebebasan, pluralitas dan toleransi sebagi landasan pelaksanaan kejasama
diantara kedua negara tersebut.
[1] John
Greshman, “Is Southeast Asia the Second Front?”, dalam Foreign Affairs, Juli/Agustus 2002, halaman 61-63.
[2] Tatik
S. Hafidz, “The War on Terrorism and The Future of Indonesia’s Democracy”, IDSS Working Paper
[3] See Seng Tan dan Kumar
Ramakrishna, “Interstate and Intrastate Dynamics in Southeast Asia’s War on
Terror”, dalam SAIS Review, Winter
2004 Vol. XXIV no.1, halaman 98
[4] Sarah Nuraini Siregar. Relasi
TNI-Polri dalam Penanganan Terorisme Era Megawati. Hal 271 diakses dari elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../8506.pdf diakses
tanggal 26 April 2012 pukul 19.45 WIB
[5] Noorkholis Ridho, Peran
Amerika Serikat Dalam Memerangai Terorisme di Indonesia. http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/01/14/peran-amerika-serikat-dalam-memerangi-terorisme-di-indonesia/
diakses 20 Maret 2012 pukul 12.00 WIB
[6] Aly Yusuf, Kerjasama
Indonesia-Amerika. www.theindonesianinstitute.com/index.php/pendidikan-publik/wacana/269-kerja-sama-indonesia-amerika
, diakses 26 Maret 2012 pukul
21.00 WIB
[7] Poin Kemitraan Komprehensif
AS di Indonesia, http://dunia.vivanews.com/news/read/178146-poin-poin-kemitraan-komprehensif-as-indonesia,
diakses tanggal 20Maret 2012 pukul 12.30 WIB
[8] RI-AS Perlu Bangun Kemitraan
Komprehensif, http://m.republika.co.id/berita/shortlink/32336
diakses tanggal 11 Februari 2012 pukul 18.35 WIb
[9] Isi Kemitraan Komprehensif
AS di Indonesia, http://www.mediaumat.com/fokus/2184-44-inilah-isi-kemitraan-komprehensif-as-indonesia-.html
diakses tanggal 9 Februari 2012 pukul 19.00 WIB
[10] State Department Fact Sheet
“Summary of Counter Terrorism Assistance
for Indonesia,” 10/03
[11] Thamrin, 2007 : 63 dan DKPT:
Kiprah dalam Situasi Kontrversi dan Keterbatasan oleh Rhousdy Soeriaatmadja dan
Brigjen Ivan Sihombing. 2009. Kemenko Polhukam
hal 101-110
[13]
Thomas Lum.. U.S. Foreign Aid to East and
South Asia: Selected Recipients.CRS Report for Congress, CRS Press, 2008.
hal 18
[15]
“US-Indonesia
Comprehensive Partnership Press Release”,
http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2005-11-23-voa7-85405487.html,
diakses tanggal 9 April 2012 pukul 20.30 WIB
Halo, saya sedang mencari data untuk skripsi saya dan berkunjung ke blog anda. Saya tertarik dengan buku yang dibuat oleh Rhousdy Soeriaatmadja seperti di tabel yg anda cantumkan. Apa anda punya buku/soft copynya? Saya sudah cari di google tapi tidak ketemu. Anda bisa hubungi saya melalui prasetyaniatikahputri@gmail.com. Terimakasih.
BalasHapus