Tekanan Internasional dan Strategi Kontraterorisme AS
Di tingkat
global, keseriusan negara-negara terhadap permasalahan keamanan domestik dan
internasional bermula dari momentum runtuhnya gedung kembar WTC (9/11/2001),
kemudian PBB mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373/2001 dan Nomor
1438/2002 tanggal 14 oktober 2002. Inggris dibawah Tony Blair saat itu pertama
yang mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, Desember 2001,
kemudian menyusul negara dunia lainya semisal Kanada dengan Canadian-AntiTerrorism
Act (18 Desember 2001), Filipina dengan Anti Terrorism Bill. Di Uni Europa juga
lahir konvensi “Council of Europe Convention on the Prevention of Terrorism”(CECPT).
Tragedi Bom Bali (12 Oktober 2002) mendapatkan respon dunia Internasional
dengan dikeluarkannya resolusi DK-PBB Nomor 1438/2002.
Sebuah ironi,
demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, banyak negara-negara dunia
khususnya Indonesia telah mengorbankan hak-hak asasi manusia. Termasuk
hak-hak yang digolongkan dalam Non-derogable right, yaitu hak dasar yang
tidak boleh dilanggar dan dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Namun
faktanya undang-undang antiterorisme telah memberikan legitimasi
kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran atas prinsip free
and fair trial. Seperti halnya Komnas HAM Indonesia, secara terpisah Amnesti
Internasional menyatakan penggunaan siksaan dalam interogasi
orang-orang yang disangka teroris cenderung meningkat.
Sebuah
terobosan dibuat pada Resolusi 1456 PBB tahun 2003, yang sebagian besar atas
desakan anggota tidak tetap Dewan Keamanan, Mexico. Didalam resolusi tersebut disebutkan bahwa
negara harus menjamin bahwa setiap tindakan yang diambil untuk memerangi
terorisme didasarkan pada hukum internasional, khususnya hak asasi manusia,
pengungsi dan hukum kemanusiaan.[1]
Hal ini dilakukan agar pelaksanaan pemberantasan terorisme tidak menimbulkan
kesewenangan yang mengakibatkan pelanggaran atas hak-hak dasar manusia.
Peran Amerika diluar arena domestik, khususnya pada organisasi PBB, adalah
salah satu aspek kebijakan kontraterorisme yang jauh dari perhatian. Pendekatan
ini pada akhirnya mengarahkan PBB dalam kebijakan yang cenderung menunjukkan
deficit perhatian terhadap hak asasi manusia. Hal ini terlihat pada Resolusi
Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 tahun 2001 yang menciptakan kerangka hukum bagi kerjasama
internasional terhadap upaya pencegahan terorisme. Resolusi ini menegaskan beberapa kewajiban negara
sehubungan dengan kegiatan terorisme sebagai berikut: (1) bahwa setiap negara
harus menghindari dan menindak tegas pembiayaan kegiatan terorisme (prevent and suppress the financing of
terrorist acts); (2) bahwa setiap negara harus mengkriminalisasi setiap
tindakan yang disengaja, baik secara langsung maupun tidak, setiap upaya
pengumpulan dana oleh warga negara di wilayah teritorialnya di mana dana tersebut
akan digunakan untuk mendukung kegiatan terorisme; (3) bahwa setiap negara
harus membekukan tanpa ditunda lagi setiap dana dan aset keuangan lainnya
ataupun sumber daya ekonomi dari individu ataupun kelompok yang berpartisipasi
ataupun melakukan kegiatan terorisme.[2]
Resolusi
ini dipertegas dengan resolusi berikutnya No 1377 tanggal 12 November 2001 yang
menetapkan terorisme internasional sebagai satu dari ancaman yang paling serius
terhadap kedamaian dan keamanan internasional. Lalu timbul pula resolusi No
1455 tanggal 17 Januari 2003 dan resolusi No 1456 tahun 2003 yang secara khusus
membidik individu, kelompok, maupun negara yang mempunyai link dengan Taliban
dan Al-Qaeda.[3]
Resolusi
tersebut meninggalkan definisi teroris yang longgar, sehingga membuka pintu
penyalahgunaan oleh negara-negara. Dalam prakteknya resolusi tersebut mendorong
penerapan berbagai undang-undang anti terorisme yang samar dan kewenangan yang
luas. Hal ini oleh masyarakat dunia dan berbagai kalangan organisasi swadaya
masyarakat lainnya dianggap sebagai pelanggaran atas penghormatan hak asasi
manusia.[4]
Anggota Dewan Keamanan PBB dianggap menyalahgunakan kewenangan memasukkan
nama-nama dalam Daftar Sanksi. Hal ini terlihat pada kasus Al Barakkat
International Foundation di Swedia, Nabil Sayadi dan istrinya Patricia Vinck di
Belgia, hingga Abousfian Abdelrajk di Kanada.[5]
Kredibilitas PBB semakin dipertanyakan dan negara-negara mulai mengambil
tindakan yang
diawali oleh Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. Pada bulan Juni 2006, menanggapi panggilan
Majelis Umum PBB, Annan menyampaikan pidato berjudul “Targeted Individual Sanctions: Fair and Clear Procedures for Listing
and Delisting”. Annan
berargumen bahwa legitimasi dan kredibilitas rejim sanksi akan bergantung pada
keadilan prosedural
yang memperimbangkan individu dan entitas, termasuk hak untuk diberitahu, hak didengarkan dan
hak untuk dikunjungi. Annan juga
mendesak Dewan Keamanan melakukan penelaahan berkala atas inisiatifnya.[6]
Beberapa
bulan kemudian, pada September 2006, Majelis Umum mengadopsi UN Global Counter-Terrorism Strategy
yang mengakomodasi rekomendasi Sekretaris Jenderal Kofi Annan mengenai prosedur
yang adil dan jelas.[7].
Strategi ini tidak hanya mengakui bahwa promosi hak asasi manusia adalah dasar
untuk memerangi terorisme, tetapi juga menyimpulkan bahwa efektivitas
kontraterorisme dan perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak bertentangan
tujuan, namun saling melengkapi dan memperkuat. Secara parallel, pada bulan Mei
2008, sebuah kelompok kecil yang dipimpin oleh Liechtenstein dan Swiss,
termasuk didalamnya Denmark, Jerman dan Belanda, mengajukan perubahan
substantif terhadap rejim sanksi tersebut. Mereka menyerukan berbagai tindakan
berbasis hak, termasuk penelaahan secara berkala terhadap semua keputusan Listing dan rekomendasi untuk melakukan Delisting. LSM menyambut baik upaya
tersebut, namun mengecam mereka karena tidak akan cukup jauh memberikan jaminan
proses yang diperlukan karena hal tersebut telah dilakakn sejak tahun 2001.
Dewan Keamanan mulai membuat Resolusi 1730 (2006) dengan titik focus pada
Delisting, Redolusi 1735 (2006) yang mewajibkan transparansi bahwa laporan
kasus harus dibuat sedetail mungkin dan Resolusi 1822 (2008) yang fokus pada
peninjauan atas tahanan yang meninggal dari Daftar Konsolidasi tersebut.
Berbagai upaya tersebut menunjukkan adanya tuntutan internasional, baik dari
negara, organisasi maupun masyarakat internasional, bahwa strategi penanganan
kontraterorisme harus memperhatikan pula hak-hak dasar manusia, sehngga
berjalan dengan adil dan jelas.[8]
Barry
Posen mengingatkan bahwa setiap strategi raya harus dapat mengatasi distribusi
global dari kekuatan militer.[9]
Hal ini berkaitan dengan pilihan apakah negara mengejar strategi keunggulan,
mengimplementasikan strategi keterlibatan secara selektif, keamanan kolektif
atau neo-isolasionisme. Sebuah strategi primacy
misalnya, membutuhkan kekuasaan yang lebih besar, gaya liberalisme
internasional dan keterlibatan selektif mungkin akan cocok bagi negara yang
ingin meningkatkan kekuasaannya. Di lain sisi, keamanan kolektif yang
bergantung pada organisasi internasional dalam penyediaan keamanan akan baik
bagi negara dengan kekuasaan yang terbatas, yang tidak dapat secara independen
menyeimbangkan kekuasaan ataupun ancaman dimana warganya menghindari
keterlibatan internasional.[10] Pada kasus kontraterorisme AS, strategi dan kebijakan
yang diambil perlahan dari tahun ke tahun menyebabkan Amerika kehilangan
reputasi sebagai negara superpower dan merubah peta distribusi power pada
tataran dinamika politik internasional.
Tanda-tanda gelombang kemunduran AS
terlihat pasca perang Irak.Fareed Zakaria bahkan mengungkapkan bahwa dunia
pasca Amerika telah muncul ditandai dengan kebangkitan China dan India.[11]
Penurunan tersebut tampak kontras dengan pernyataan bahwa Amerika adalah tempat
yang relatif lebih stabil di dunia. Terdapat dugaan beberapa faktor yang
menyebabkan kemunduran tersebut. Pertama, perjuangan AS di Irak menimbulkan
persepsi negatif warga terhadap power
yang dimuliki oleh negaranya. Pandangan yang berkembang adalah pergi ke Irak
untuk menunjukkan kekuatan AS dapat digunakan untuk misi kebaikan. Namun
pergolakan yang terjadi di Timur Tengah, berlawanan dengan ide untuk
mengimplementasikan demokrasi, menunjukkan bahwa para pembuat keputusan terlalu
berlebihan menaruh harapan bahwa kapasitas yang dimilki AS dapat menentukan
jalannya peristiwa di luar negeri atau mengontrol perilaku negara lain dan
sejauh mana situasi di dalam negeri dapat dibentuk oleh kekuatan dari luar[12].
AS berlimpah dalam sumber daya dan peralatan canggih, memungkinkan untuk
menggunakan baik instrument politik atau utilitas militer sebagai taktik
asimetris dalam menghadapi pemberontak di Irak.
Faktor kedua adalah, terlalu banyak
kekuatan pasukan dan instrumen militer yang dikerahkan dalam perang Irak dan
Afganistan, sehingga mempengaruhi kapabilitas dan kesiapan AS untuk ikut
terlibat dalam operasi-operasi lainnya. Kondisi terbaik adalah pada saat rasio
rotasi berada pada angka 2, yang artinya untuk setiap tahun pengerahan, talah ada
cadangan persiapan selama 2 tahun. Rasio ini mencapai titik terendah 0.75 pada
tahun 2004 ketika setiap unit aktif telah ditugaskan ke Iraktanpa meninggalkan
cadangan pasukan. Angka ini membaik pada 2005 menjadi sekitar 1,5 namun turun
kembali pada 2007 dan 2008. Bahkan salah satu petinggi militer AS menyatakan
bahwa dibutuhkan tiga sampai empat tahun agar rasio tersebut dapat kembali
ideal atau setidaknya mempunyai perbandingan 1:1, yang artinya 15 bulan di
barak dan 15 bulan beroperasi[13].
Implikasi yang terlihat adalah rendahnya kesiapan pasukan AS akibat eksploitasi
yang berlebihan di Irak dan Afganistan.
Faktor ketiga yang berkontribusi
terhadap memudarnya persepsi terhadap Amerika adalah tumbuhnya rasa overstretch
yang berlebihan di antara negara-negara. Paul Kennedy mengingatkan jika negara
menghabiskan lebih dari 10 persen PDB pada pos pertahanan, akan meningkatkan
resiko rasa overstretch negara
tersebut.[14]
Menurut ukuran ini, pengeluaran AS masih aman,yaitu 4 persen dari PDB, atau
lebih kecil dibandingkan dengan periode Perang Dingin yang berkisar 5 sampai
11,7 persen.[15]
Argumen dari overstretch adalah bukan
pemborosan belanja militer yang mempengaruhi keamanan ekonomi, namun pemborosan
ekonomi domestik akan mempengaruhi keamanan militer .Nial Ferguson merangkum
versinya sendiri dengan menyebutkan bahwa penurunan dan kejatuhan AS bukan
disebabkan oleh teroris namun lebih karena krisis financial yang melanda negara
yang sejahtera.[16]
Banyak permasalahan ekonomi dunia
berasal dari AS yang dengan cepat menghasilkan sejumlah efek yang berpotensi
menimbulkan ketidakstabilan negara-negara lain sebagai konsekuensinya. Misalnya
ketika harga minyak turun, akan menimbulkan goncangan bagi negara yang
menggantungkan ekonominya pada minyak seperti Rusia, Iran dan Venezuela
sehingga menurunkan permintaan dari konsumen yang mengganggu China dan sebagian
mitra dagang Eropa.[17]
Dibandingkan dengan sekutu dekat, gambaran ekonomi tersebut memprlihatkan
keuntungan AS, ketika AS dengan cepat menggunakan daya ungkit ekonomi untuk
merangsang perekonomian nasional dan memperbaiki sistem perbankan maka
negara-negara Eropa. Salah satu kekhawatiran adalah utang publik, kekhawatiran
lain terkait dengan beban tunjangan pengangguran.
Secara riil, perang Irak hanya
berperan kecil dalam mengubah susunan distribusi kekuasaan secara
internasional. Namun belanja militer AS hingga kini tetap tidak tertandingi.
Pada tahun 2006 belanja pertahanan AS mencapai sekitar US$ 531 Milyar, hampir
sepuluh kali lipat dari negara Inggris yang hanya US$59.7 Milyar. Diukur dari GDP,
pengeluaran pertahanan China juga nyaris US$ 115 Milyar, namun selisihnya masih
sangat jauh dari AS terlebih Negara Tirai Bambu tersebut tidak berpartisipasi
dalam perang Irak maupun Afganistan.[18]
Dalam ukuran ekonomi, tahun-tahun Perang
Irak bertepatan dengan derap pertumbuhan ekonomi di China. Pada tahun 2007,
perekonomian di China masih setengah dari ekonomi AS dan pendapatan perkapita
hanya sepersepuluh dari AS, namun tingkat pertumbuhannya yang sekitar 8-10 persen telah
malampaui laju pertumbuhan AS.[19]
Akibatnya saham ekonomi dunia AS menurun dari 23 persen pada tahun 2002,
menjadi 21,9 persen pada 2006 dan turun kembali 20,8 persen pada 2008.
Sebaliknya, sharing China bergerak
dari 8,1 persen menjadi 10,2 persen dan hampir dua kali lipat dalam kurun waktu
sepuluh tahun terakhir.[20]
Berdasarkan standar ukuran kekuatan militer dan
ekonomi, AS tetap relatif dominan dibanding saingan terdekatnya, China.
Karakteristik teknis dari kekuasaan terus menunjukkan bahwa AS adalah kekuatan
unipolar, memiliki kekuatan yang lebih dalam setiap dimensi dibanding pesaing
terdekatnya.[21] Terlepas
dari tidak berubahnya distribusi kekuasaan, persepsi terhadap power dari AS telah berubah. Diluar
perang Irak, tidak dapat dipungkiri adanya consensus yang menerangkan AS tetap aman berada dalam
posisi puncak hierarkhi kekuasaan internasional. Bahkan ekonom Neall Ferguson merespon
pertanyaan mengenai apakah power dan dijawab power adalah AS dan tidak pernah
ada yang dapat menandingi
[1] United
Nations Resolutions 1456 http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N03/216/05/PDF/N0321605.pdf?OpenElement,
diakses 22 Mei 2012 pukul 10.30 WIB
[2] Chapter VII, United nations Resolution Number
1373 Document http://www.un.org/News/Press/docs/2001/sc7158.doc.htm,
diakses tanggal 22 Mei 2012 pukul 11.05 WIB
[3] United nations Resolution Number
1377 Document http://daccess-
ods.un.org/TMP/8422250.15163422.html, diakses tanggal 22 Mei 2012 pukul
12.00 WIB
[4] Yvonne Terlingen. The United
States and the UN’s Targeted Sanctions of Suspected Terrorists: What Role for
Human Rights?. Ethics & International Affairs. New York : Summer 2010,
Vol.24,2nd Ed, hal 132
[5] Ketiganya didakwa memberikan
akses dan bantuan kepada para teroris dan dibekukan aksesnya. Ibid , hal
132-134. Lihat juga http://www.statewatch.org/terrorlists/docs/Vinck%20-%20Sayadi%20(English).pdf
diakses tanggal 22 Mei 2012
pukul 13.00 WIB
[6] Surat dari UN Secretary-General Kofi Annan kepada President
of the Security Council, 15 Juni 2006, record by the Legal Counsel on June 22,
2006 (UN Doc.S/PV.5474).
[7] UN
Counter Terrorism Strategy http://www.un.org/terrorism/strategy-counter-terrorism.shtml,
diakses 22 Mei 2012 pukul
14.00 WIB
[8] The United States and the UN's
Targeted Sanctions of Suspected Terrorists: What Role for Human Rights? http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/404/90/PDF/N0840490.pdf?OpenElement lihat juga http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1747-7093.2010.00253.x/full,
diakses 22 Mei 2012 pukul 10.53 WIB
[9] Barry Posen,
"Stability and Change
in US Grand
Strategy," Orbis, Fall 2007
[10] Bary Posen and Anclrew L.
Ross, "Competing
Visions for US Grand
Strategy,"
Inlernational Sectwril., Winter
1996-1997, Hal. 5-53; 32
[11] Fareecl Zakaria,
7he Post-American World (W.W.
Norton, 2008); lihat juga Richard
Haass,"The Age of
Nonpolarity: What Will Follow U.S. Dominance," Foreign
A&/tin;, May/June 2008
[12]
John A. Tompson, "The Overestimation of American
Power: Sobering Lessons
fi-on the Past," World Policy
Journal, Summer 2006, pp. 85,
96
[13] William H.
McMichael, "MUllen: Better
dwell time will not come
soon," Army Times, July 31. 2007
diakses pada laman http://www.armytimes.com/news/2007/07/military_jcsconfirmation_mullen_070731w/ 7 Mei 2012 pukul 11.00 WIB
[14] Paul Kennedy dalam Rise and Fall
of Great Powers . Vintage Books, 1989
[15] US Department
of Defense, "FY 2007
Department of Defense
Budget," briefing slides, February 6,
2006, diakses dari laman
http://www.defenselink.mil, slide 26 7 Mei 2012
[16] Niall Ferguson
and Laurence J.
Kotlikoff. "Going Critical:
American Power and
the Consequences of Fiscal Overstretch," The National
Interest, Fall 2003.
[17] Exports Decline 22.6%
in April," China Economic
Review, May 12, 2009, diakses melalui http://www.chinaeconomicreview.com/node/40727
diakses tanggal 22 Mei 2012 pukul 11.15 WIB
[18] Data dari World Bank's World
Development Indicators yang
membandingkan GDP dan besaran anggaran militer disbanding GDP. SIPRI Yearbook
2008 Armaments. Disarmamenis and International Security. Stockholm, Sweden:
SIPRI
[19] Wayne M.
Morrison and Michael F.
Martin, "How Large is
China's Economy? Does it Matter?"
CRS Report, February 13,
2008; World Bank, World Development Indicators
1992-2006, Hal 116
[20] International Monetary Fund World
Economic Outlook Database, October 2008.
http://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2008/02/weodata/index.aspx diakses 3 Mei 2012 pukul 21.30
WIB
[21] Stephen G.
Brooks and William
C. Wohlforth, World Out of
Balance (Princeton, NJ: Princeton University
Press, 2008, Hal 237
Komentar
Posting Komentar