Politik Domestik Indonesia dan Strategi Kontraterorisme AS di Indonesia
Clausewitz menjelaskan bahwa di dalam peperangan sesuatu yang terlihat mudah pada akhirnya sangat sulit untuk dicapai. Konsep tentang fog, friction dan chance sangat berpengaruh terhadap perumusan strategi, setidaknya pada dual hal yaitu di satu sisi adalah peluang di sisi lain berkenaan dengan nasehat ataupun teguran. Clausewitzian Trio dalam konsep kerjasama keamanan diartikan sebagai seberapa banyak informasi yang dikumpulkan mengenai kondisi dan situasi dari wilayah yang menjadi obyek implementasi strategi, sehingga dapat meminimalkan kekaburan informasi, memperkecil gesekan dan memperbesar peluang atau kesempatan yang dapat diambil dalam melaksanakan strategi tersebut, dalam hal ini adalah informasi mengenai kondisi politik domestik negara yang menjadi obyek tujuan penerapan strategi tersebut, melalui dokumen opini publik dan pemberitaan resmi tentang Indonesia.
Indonesia adalah negara dengan
populasi terbesar keempat di dunia dan negara dengan mayoritas penduduknya
Muslim. Indonesia
yang memiliki posisi strategis di jalur laut yang menghubungkan Asia Timur
dengan sumber daya energi dari Timur Tengah, juga merupakan negara kaum Muslim
moderat.[1] Amerika Serikat memandang Indonesia sebagai mitra yang sangat berharga delam perjuangan
melawan militan Islamis radikal di Asia Tenggara. Indonesia terus
mendemokratisasikan dan mengembangkan masyarakatnya dan aturan hukum di bawah
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dipandang sebagai reformis
pemikiran. Bagaimanapun, warisan penyalahgunaan hak asasi manusia oleh militer
yang telah mengakar selama tiga dekade sejak kekuasaan Presiden Soeharto, yang
pada akhirnya mengundurkan diri dari jabatan pada tahun 1998, tetap saja tidak
terpecahkan.[2]
Selanjutnya, Pemilihan Presiden
dan anggota DPR di tahun 2009 dikonsolidasikan dengan demokrasi Indonesia dan
ditandai dengan berlajutnya pilihan oleh para pemberi suara di Indonesia untuk
partai sekuler-nasionalis daripada partai Islam atau pun partai politik Islam.
Presiden Yudhoyono dari Partai Demokrat mendapatkan perolehan yang signifikan
karena mendapatkan restu dari rakyat yang ikut dalam pemilihan Presiden.[3]
Indonesia
juga dipersepsikan mengalami kemajuan dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan
Amerika Serikat, seperti:[4]
1.
Penyebaran dan konsolidasi Demokrasi Indonesia sepanjang
tahun 2004 dan Pemilu Caleg dan Presiden 2009
2.
Pemilihan Presiden Yudhoyono yang secara umum dipandang
sebagai orientasi perubahan
3.
Hasrat ke depan untuk menjadi lebih baik dan meningkatkan
pemahaman Indonesia terhadap Amerika Serikat pasca tsunami 26 Desember 2004
4.
Persepsi Amerika Serikat tentang Indonesia sebagai
partner yang sangat berharga dalam perang melawan ekstremis Islam, dan bantuan
Amerika Serikat yang berharga terhadap Indonesia untuk organisasi keamanan counter terorisme
5.
Hasrat
Timor-Leste untuk membangun hubungan yang positif dengan Indonesia
6.
Anthonius Wamang
yang ditahan karena diduga menembak dua warga Amerika di dekat Timika, di
propinsi Papua, Indonesia
7.
Perdamaian di
Aceh
8.
Meningkatkan
penghargaan di antara pembuat kebijakan dari Amerika mengenai pentingnya
startegi dan geopolitik Indonesia
Sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, Indonesia
dipandang dapat menjadi model peradaban Islam dalam masa transisi abad 21 yang
menggambarkan partnership diantara
Islam dan demokrasi. Kesuksesan Indonesia sebagai negara demokrasi dan pasar
ekonomi, dilengkapi dengan pandangan liberal, sekuler dan menjunjung tinggi
nilai demokrasi telah membentuk mindset
dunia tentang Islam dan Indonesia dengan nilai toleransi yang tinggi.[6].
Bahkan Paul Wolfowitzt, mantan Duta Besar AS di Indonesia
dan Deputi Sekretaris Pertahanan menggambarkan Indonesia sebagai negara yang
mempraktekkan toleransi agama dan demokrasi, menghargai wanita, dan percaya
bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian, dan karenanya seharusnya
menjadi contoh bagi negara muslim lainnya di dunia.[7]
Posisi
geografis Indonesia dalam perdagangan global mencerminkan besarnya kepentingan
negara-negara, utamanya AS, untuk terlibat dalam segala persoalan di Indonesia.
Ketidakstabilan Indonesia mengancam jalur pelayaran internasional. Mantan
komandan pasukan AS di Pasifik, Laksamana Thomas Fargo mencatat bahwa JI adalah
ancaman terbesar di wilayah tersebut dan meningatkan bahwa terorisme yang
berlayar di laut sama seriusnya dengan ancaman terorisme di udara,
terutamakarena pentingnya jalur pelayaran di sekitar Selat Malaka.[8]
Ekspor AS ke Asia Timur senilai kurang lebih US $ 170 juta bersama dengan
sepertiga jumlah perdagangan dunia dan lebih dari 50.000 kapal, melewati jalur
Selat Malaka. Dengan
demikian jalur transit tanpa hambatan melalui alur laut sangat penting untuk
pergerakan barang perdagangan, mineral strategis, pasukan militer dan pasokan
energi untuk
mempertahankan ekonomi AS.[9]
Jepang dan Korea Selatan, dua sekutu utama AS juga melihat keamanan maritim di
sekitar Selat Malaka sangat penting. Negara-negara Asia Timur melihat ke AS
guna mendapatkan jaminan
keamanan dan kebebasan di alur laut. Pembajakan dan serangan teroris di Selat
dapat mengganggu perdagangan di seluruh wilayah tersebut dengan berbagai
metode.
Oleh
karena itu, sangat mengkhawatirkan bahwa terdapat bukti baru yang menunjukkan
jihadis global telah memasuki Asia Tenggara dan menggunakan laut sebagai
perantara serangan mereka.[10]
Sebelas serangan laut tercatat di Asia Tenggara pada bulan November 2004,
termasuk perampokan sebuah kapal tanker minyak bahan bakar cair di perairan Indonesia. Sebuah laporan dari Angkatan Laut
Indonesia mencatat adanya 121 kasus pembajakan diperairan Indonesia pada tahun
2004 dibandingkan dengan data pada tahun 2002 yang hanya berjumlah 15 kasus.
Jalur laut dalam Indonesia juga sangat penting bagi kepentingan pertahanan
nasional AS. Sebuah editorial Jakarta
Post, melaporkan bahwa perairan Indonesia memiliki frekuensi pembajakan tertinggi di
dunia, dan Selat Malaka merupakan target potensial bagi jaringan terorisme di
Indonesia.[11]
Berakhirnya Perang
Dingin dan bangkitnya negara adidaya baru yaitu AS, membuka peluang bagi negara
ini untuk memiliki pengaruh dominan terhadap seluruh kebijakan yang terjadi di
semua negara terutama yang berpengaruh langsung terhadap kepentingan
nasionalnya. Hubungan Indonesia dan AS yang telah terjalin sejak lama dapat
digunakan Indonesia untuk terus meningkatkan kualitas dan posisi Indonesia di
mata dunia dalam mengatasi masalah keamanan dalam negeri Indonesia, terutama
dalam permasalahan terorisme.
Indonesia dan Amerika Serikat memiliki landasan yang
kuat dalam melakukan kerjasama untuk kepentingan kedua belah pihak yang
berlandaskan pada adanya nilai-nilai dasar yang dihormati bersama. Meskipun
demikian, tidak serta merta membuka peluang dan jalan mulus bagi kedua belah
pihak untuk campur tangan lebih jauh, mengingat kedua belah pihak memiliki
standar dan kriteria berbeda khususnya norma dan budaya kelokalan yang
dimiliki. Strategi kedua negara telah disepakati dalam bentuk kerjasama yang bersifat
menyeluruh melalui dukungan terhadap integritas teritorial, perkembangan
demokrasi dan reformasi, serta upaya Indonesia dalam menjaga stabilitas
nasional yang tercatat dalam Joint
Statement Presiden RI dan Presiden
AS pada saat kunjungan Presiden Bush ke Indonesia, 20 November 2006, yang
menyebutkan bahwa “…the two countries are
bound by a broad based-democratic partnership based on equality, mutual
respect, common interest and the shared values of freedom, pluralism and
tolerance…”[12]
Amerika
mempunyai setidaknya lima kepentingan vital di Indonesia.[13]
Pertama munculnya ekstrimisme Islam di Asia Tenggara telah memimpin AS dengan
menyatakan bahwa kawasan ini merupakan front kedua dalam perang melawan
terorisme dengan Indonesia sebagai mata rantai yang paling lemah. Pejabat
pertahanan dan intelijen AS menyatakan bahwa Indonesia telah menjadi surga bagi
berkembangnya ekstrimisme Islam dan terorisme. Jamaah Islamiah, yang dianggap
sebagai perpanjangan tangan Al-Qaeda di Asia Tenggara, telah menciptakan
jaringan sel-sel ekstrimis Islam yang rumit di Asia Tenggara, dengan fondasi
yang kuat di Indonesia. Analis intelijen percaya bahwa Al-Qaeda telah melatih
banyak warga Indonesia melalui kamp-kamp teroris kelompok JI dan JI menerima
dukungan ideologi, keuangan dan logistik
dari Al-Qaeda.[14] Menurut Rohan Gunaratna, ancaman JI di
Indonesia belum berkurang sejak Bom Bali 2002, dan memperingatkan akan bahaya
yang lebih besar mengancam Indonesia.[15]
Indonesia dikritik atas lambatnya respon pemerintah dalam menanggapi ancaman
tersebut. Hingga kini, Indonesia belum menyatakan JI sebagai sebuah organisasi
dan karena merupakan organisasi berbadan hukum, pemerintah tidak memiliki
kekuatan untuk membongkar jaringan infrastruktur JI. Kekhawatiran yang makin
melanda adalah ketika JI berbaur dengan kelompok militan lain di Indonesia dan
mengambil porsi dalam setiap kekerasan komunal seperti Ambon, Poso dan Maluku.
Hingga kini AS dan Indonesia belum bersepakat dalam memahami sifat ancaman
terorisme, namun kedua negara bertekad untuk mencegah serangan lebih lanjut,
hal ini membuat kontraterorisme di Indonesia menjadi bagian dari prioritas AS
mengingat negara ini adalah mayoritas muslim terbesar.
Serangan
terhadap gedung-gedung vital pemerintahan Amerika Serikat pada tanggal 11
September 2001 menjadi titik balik dari kedigdayaan Amerika. Sesuatu yang tidak
pernah terpikirkan sebelumnya terjadi di dalam wilayah kedaulatan Amerika
Serikat. Kemampuan dan kecanggihan peralatan militer yang dimiliki ternyata
tidak mampu menangkal serangan teroris yang menelan 3000 korban jiwa dalam
hitungan menit. Jika sebelumnya pemerintah Amerika Serikat lebih mempersepsikan
ancaman yang sifatnya datang dari luar dalam atribut negara dan melihat ancaman
hanya dalam bentuk militer, maka serangan 9/11 menjadi semacam kejutan bagi
para akademisi hubungan internasional serta sekaligus para pengambil kebijakan
Amerika Serikat pada masa pemerintahan Bush Jr. Keamanan dalam negeri seakan
terabaikan. Sektor transportasi, keuangan, informasi, pangan, jaringan
logistik, sektor kimia yang telah menjadi pemicu sekaligus pondasi dari
kekuatan ekonomi Amerika Serikat serta gaya hidup ala Amerika justru telah
menjadi variasi instrumen bagi pihak yang memusuhi Amerika Serikat untuk
menyerang sektor-sektor tersebut yang sebagian belum diproteksi dengan baik.[16]
Mengutip Amitav Acharya, bahwa Amerika Serikat yang selama perang dingin telah
merasakan kondisi (selamanya) aman terhadap serangan non nuklir dari pihak
lain, paska 9/11 keadaan dan situasi yang sebelumnya mereka rasakan pun telah
usai.[17]
Perasaan aman dari ancaman militer, perasaan bahwa kedigdayaan Amerika Serikat
sebagai kekuatan superpower yang akan menjamin keamanan wilayah dan manusia
yang berada didalamnya.
Dalam NSS 2002, AS
menyatakan ingin memerangi terorisme baik dengan pertempuran maupun dengan
penyebaran paham sekuler dan demokrasi, terhadap ideologi yang dianggap AS
mendukung berkembangnya terorisme, yaitu: Mendukung pemerintahan moderat dan
modern, terutama di dunia Muslim, untuk memastikan bahwa kondisi dan ideologi
yang mendukung terorisme tidak menemukan tempat untuk berkembang di negara
manapun[18].
Dengan dikeluarkannya kebijakan War On Terror,
berdampak terhadap negara-negara dengan ideologi Islam, yang dituduh sebagai
ideologi yang mendukung terorisme. Tidak terlepas juga Indonesia sebagai negara
dengan jumlah Muslim terbesar di dunia walaupun Indonesia bukan negara
berideologikan Islam, karena dalam NSS 2006 beberapa negara Islam diduga
sebagai tempat para teroris, dan salah satunya adalah Indonesia.
Sejak serangan
9/11, telah banyak studi tentang kelompok ataupun organisasi Islam, yang
melawan AS dengan penggunaan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Sebaliknya, masih sedikit
penelitian yang melihat bagaimana kelompok ini dipandang oleh mayoritas muslim
dan pandangan mereka tentang kontraterorisme Amerika. Salah satu peneliti
adalah Universitas Maryland yang mencoba memahami bagaimana opini publik muslim terkait
permasalahan tersebut dengan
melakukan riset terhadap negara Mesir, Maroko, Pakistan dan Indonesia. Khusus
pada negara Indonesia, sebanyak 66 persen dari 1.141 responden menyatakan tidak
senang terhadap perilaku yang ditunjukkan oleh AS pada masa Pemerintahan Bush
tersebut. Bahkan sebanyak 60 persen responden menyatakan bahwa segala yang
terjadi di dunia, khususnya terkait persoalan terorisme, disebabkan oleh
dominasi dan perilaku AS di dunia. Meskipun demikian 46 persen warga Indonesia
tidak memungkiri manfaat bantuan AS terhadap Indonesia, utamanya ketika terjadi
bencana tsunami Aceh 2004. Sebanyak 74 persen warga percaya bahwa perilaku yang
ditunjukkan oleh AS melalui invasi ke negara-negara tersebut adalah untuk
menguasai sumber daya energi.[19]
Sementara
itu studi lain dilakukan oleh akademisi Indonesia yang melihat pola dan tren
pandangan Indonesia terhadap Amerika dan kebijakan keamanannya. Hasilnya
sebanyak 44 persen masyarakat Indonesia tidak menyukai Amerika dan 37 persen
publik menyatakan bahwa tujuan dari kampanye anti terorisme yang dilakukan oleh
AS adalah untuk menyerang Islam. Opini publik Indonesia ini diperoleh melalui
informasi yang terdapat pada televisi, terkait pemberitaan tentang perang Irak
dan Afganistan. Meskipun Amerika dilihat sebagai negara yang terus mempromisikan
liberalism, demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, namun hal
ini tidak berpengaruh terhadap pandangan publik Indonesia atas perilaku yang
ditunjukkan oleh AS. Hanya sedikit yang melihat bantuan AS terhadap upaya
normalisasi Aceh pasca tsunami, dapat mempengaruh citra positif AS. Gambaran
opini publik ini tidak jauh berbeda dengan negara-negara lain seperti Perancis,
Jerman dan Rusia. Survei
yang dilakukan oleh The Pew Global
Atitude menunjukkan bahwa persentase opini publik yang tidak menyukai
perilaku AS berimbang dengan opini publik pada ketiga negara Eropa tersebut[20]. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat faktor selain agama, utamanya Islam, yang
mempengaruhi pandangan masyarakat atas kontra terorisme AS.
[1]
Bruce Vaughn. 2006.
Indonesia: Domestic Politics, Strategic
Dynamics, and American Interests. Congressional Research Service, The Library of Congress 101. Hal 1
[3] Op. cit., hal 2
[4] Expanded report version yang dikembangkan oleh CRS
Specialist, Larry Niksch. CRS Report RS20572, Indonesian Separatist Movement in
Aceh. 2008
[5] Sunny Tanuwidjaja, “The East
Asian Summit and Indonesia,” The Jakarta Post, February 1, 2006
[6] “Islam Moderat dan Ancaman Terorisme,” Media Indonesia
Online, Dec. 10, 2004. http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004121001144116 diakses 24 Maret 2012 pukul 15.00 WIB
[7] “Seeking Allies in Terror War, U.S. Woos Southeast Asia,
Michael Richardson, International Herald Tribune, November 29, 2001. http://www.iht.com/articles/40338.html diakses
24 Maret 2012
pukul 14.00 WIB
[8] Crack U.S. troops may be used to
flush out terrorists in key Southeast Asian waterway,” Channel News Asia, 5
April 2004. http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_asiapacific/view/78644/1/.html diakses 4 Mei 2012 pukul 19.00
WIB
[9] UNLOS Dept of Defense Position
Summary 1994, National Security and the United Nations Convention on the Law of
the Sea, U.S. Department of Defense July 1994. Diakses dari http://www.prosea.org/articles-news/unesco/UNLOS_Dept_of_Defense_Position_Summary_94.html diakses 4 Mei 2012 pukul 20.05 WIB
[10] “Al-Qaeda Terrorist Plan to turn
tanker into a floating bomb,” London Sunday Telegraph, September 13, 2004
[11] Republik of Indonesia country
risks remain high,” The Jakarta Post, May 26, 2004
[12]Aly Yusuf, Op.cit.,
[13]Lena
Kay. 2005.
Indonesian Publik Perception of the US and the Implication for US Foreign Policy.
Honolulu Pacific Forum CSIS hal 3
[14] Rohan Gunaratna, Nov. 16, 2004. Kepala Pusat Penelitian Kekerasan Politik dan
Terorisme, Akademi Militer West Point AS
[16] Stephen E. Flynn, “The Neglected
Home Front”, Foreign Affair 83, (September/October, 2004): dalam, Joel J.
Sokolsky. “Northern Exposure?”: American Homeland Security and Canadian International
Journal, Vol. 60, No. 1 (Winter, 2004/2005), Hal. 35-52
[17] Amitav Acharya. State-Society
Relation: “Reordering Asia and The World after September 11”. dalam World in
Coallition: Terror and the Global Order. (London: Palgrive/New York : Saint
Martin 2002)
[18] United States National Security
Strategy 2002, hal 6
[19] Muslim Public Opinion on US
Policy, Attacks on Civilians and al Qaeda, April 2007. http://www.worldpublicopinion.org/pipa/pdf/apr07/START_Apr07_rpt.pdf,
hal 3-5, diakses 20 Mei 2012 pukul 15.00 WIB
[20] Anies Baswedan. “Intepreting
Public Opinion in Indonesia: Does Religion Matter” dalam Workshop America in
Question: Indonesian Democracy and the Challenge of Counter-Terrorism in South
East Asia. Liu Institute for Global Issue, University of British Coumbia 28-29
Januari 2006 http://www.ligi.ubc.ca/sites/liu/files/Publications/Workshop_Report_Indonesia_Democracy/Annex3.pdf,
diakses 22 Mei 2012 pukul 10.00 WIB
Komentar
Posting Komentar