Kehadiran militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Tenggara
Pemikiran
yang kemudian mendorong AS menitikberatkan pengembangan militernya pasca 11
September adalah bahwa dilihat dari perpektif militer, serangan yang terjadi
dengan mudah tanpa resistensi yang berarti dari pihak yang berwenang di AS pada
saat itu telah memperlihatkan kelemahan intelejen dan sistem pertahanan AS.
Secara
tidak langsung, sejak PBB belum menetapkan JI sebagai jaringan Al-Qaeda, AS
telah lebih dahulu menetapkan kawasan Asia Pasifik sebgai prioritasnya untuk
melawan terorisme internasional dengan program yang disebut “United States Pacific
Command (USPACOM)”. [1] Terlepas
dari kebenarannya yang masih menjadi kontroversi, ditemukannya dokumen-dokumen
mengenai adanya rencana operasi serangan teroris secara serentak terhadap
sejumlah fasilitas diplomatik dan militer AS di Singapura, Filipina, Malaysia
dan Indonesia telah meningkatkan kehadiran militer AS di kawasan Asia Tenggara.
Usaha keras AS untuk dapat menghadirkan militernya, memberikan bantuan-bantuan
militer, bahkan tekanan agar negara-negara Asia Tenggara dapat secara aktif
bekerjasama dengan AS, memperlihatkan kecenderungan bahwa kawasan ini merupakan
front kedua perang terhadap terorisme setelah Afghanistan.
Dibawah
kebijakan “global war on terrorism”,
pemerintahan presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush mulai mendorong
kepala pemerintahan negara-negara Asia Tenggara untuk bekerjasama dengan AS. Pasca
serangan militer AS pada 7 Oktober 2001 dengan menyerang Al-Qaeda dan rezim
Taliban di Afghanistan, spekulasi pun cepat menggunung, bahwa operasi-operasi
selanjutnya akan segera dilakukan di tempat lain. Hal ini muncul tidak lama
setelah Asia Tenggara disebut-sebut sebagai “Second Front in the war on terrorism”. [2]
Ada beberapa
alasan yang tidak mungkin dilepaskan mengapa Asia Tenggara menjadi fokus AS
dalam memberantas terorisme, antara lain: [3]
- Terdapat
koneksitas antara Asia Tenggara dengan serangan 11 September. Beberapa
pembajak, termasuk petinggi-petingginya yaitu Mohhammad Atta dan Zacarias Moussaoui
yang sejauh ini diklaim AS memiliki keterlibatan dengan serangan 11 september, dimana
mereka diketahui telah mengadakan pertemuan di kuala Lumpur untuk
membicarakan rencana-rencana mereka.
- Sebelum
serangan 11 September terjadi, AS telah memperingatkan mengenai operasi kelompok-kelompok
militan Islam radikal di kawasan Asia Tenggara, termasuk beberapa
diantaranya berhubungan langsung dengan jaringan Al-Qaedah. Antara lain Al-Ma’unah
(Malaysia), Laskar Jihad
(Indonesia), beberapa cabang Moro (Filipina).
- Dengan jumlah
penduduk yang besar, batas-batas wilayah yang rawan serta lemahnya
institusi negara, membuat AS telah lama mengindentifikasi kawasan ini potensial
menjadi surganya teroris.
Dengan
ketiga faktor tersebut, dan diperkuat dengan peristiwa Bom Bali 12 Oktober
2002, memperkuat kesan bahwa Asia Tenggara akan menjadi kawasan penting dalam
perjuangan melawan para militan Islamis. [4]
Rizal
Sukma mengemukan beberapa faktor mengapa diskursus mengenai kemungkinan Asia
Tenggara menjadi “the second front” dari perang melawan terorisme muncul
kepermukaan: [5]
- Adanya
fakta bahwa Asia Tenggara merupakan kawasan dengan jumlah penduduk muslim
yang sangat signifikan. Bahkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah
penduduk muslim terbesar di dunia. Fakta ini kemudian dikaitkan dengan
adanya pandangan bahwa kebanyakan dari teroris dan kelompok-kelompok
militan identik dengan ideologi islam radikal. Sehingga ketika kemunduran
kondisi ekonomi dan sosial yang
dialami Asia Tenggara pasca krisis ekonomi serta kerusuhan politik yang
terjadi di indonesia, menciptakan lingkungan yang sangat ideal bagi
pertumbuhan dan perkembangan aktivitas teroris, kelompok radikal, serta
kelompok-kelompok separatisme.
- Eksistensi
pergerakan kelompok separatis di Asia Tenggara ini mendorong kemungkinan
hadirnya terorisme dan jaringan teroris di sekitar daerah pusat gerakan
tersebut terjadi.
- Meningkatnya
peran serta pengaruh kelompok-kelompok islam militan di Indonesia {Laskar
Jihad, Fron Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)},
Malaysia {Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM)}, dan Singapura {Jemaah
Islamiah (JI)}.
- Ditangkapnya
orang-orang dari kelompok-kelompok tersebut yang disinyalir memiliki
keterlibatan dengan aktivitas terorisme, semakin meyakinkan bahwa adanya
jaringan terorisme di Asia Tenggara.
- Ancaman-ancaman
teroris di kawasan Asia Tenggara yang terus meningkat acapkali
memperlihatkan sentimen anti-amerika dikalangan komunitas muslim setelah
peristiwa 11 September dan serangan militer AS ke Afghanistan.
Reaksi negara-negara Asia Tenggara terhadap kebijakan
“global war on terror” sangat
variatif. Sementara Filipina dan Singapura begitu antusias bekerjasama dan
memberikan fasilitas bagi kehadiran
militer AS dikawasannya, beberapa negara lain justru masih ragu-ragu untuk
bekerjasama seperti halnya yang diperlihatkan oleh pemerintah Indonesia.
Meskipun Indonesia bersimpati atas tragedi 11 September 2001, tidak menjadikan
Indonesia secara terbuka mendukung perang terorisme AS, namun tekanan yang
dilakukan AS terhadap Asia Tenggara untuk bekerjasama dengan AS memberantas
terorisme di kawasan ini terus meningkat. AS terus meyakinkan bahwa kehadiran
militer mereka di Asia Tenggara menjadi signifikan untuk membantu menciptakan
dan menjaga keamanan di kawasan ini.
Pentingnya kawasan ini bagi AS, mulai diperbincangkan kembali selama beberapa
tahun terakhir. Hal ini terindikasi dari laporan penelitian yang dikeluarkan
pada Mei 2001 oleh akademisi bekerjasama dan secara resmi dibawah pengawasan
Dewan Hubungan Luar Negeri (Council on
Foreign Relations). Laporan ini memberikan memorandum untuk Bush, antara
lain disebutkan: “saat ini merupakan momen yang tepat bagi pemerintahan Anda untuk
memfokuskan perhatian pada kawasan ini yang selama ini acapkali menghilang dari
layar radar kita, yang ujung-ujungnya selalu menjadi bahaya terhadap
kepentingan kita”. [6]
Secara
umum Asia Tenggara mendukung usaha AS dalam rangka perang memberantas
terorisme. Hanya saja bentuk dukungan yang diberikan terlihat sangat variatif.
Jika Filipina dengan konkrit menerima pasukan AS ke wilayahnya meskipun dengan
dalih “joint exercise”, Singapura juga memberikan fasilitas yang luar biasa
bagi kapal perang AS di pelabuhannya, sebaliknya beberapa negara seperti
Malaysia dan Indonesia masih ragu-ragu untuk bersikap demikian.
Perluasan
kehadiran militer AS di daratan Asia Tenggara pasca 11 September dimulai dengan
pengerahan pasukan AS ke Filipina dalam program Baliktan 02-1. Akhir January
2002, AS mulai menyebarkan tentaranya ke Filipina dengan jumlah kurang lebih
660 personel yang terdiri atas 160 orang pasukan khusus (dimana 85 orang
diantaranya dipersiapkan untuk melatih tentara Filipina dengan level sersan),
ditambah dengan 500 personel untuk support dan teknisi.[7]
Program “Balikatan 02-1” ini menindaklanjuti kesepakatan Filipina-AS untuk
mengadakan “training exercise” selama kurang lebih 6 bulan di pulau Basilan,
tempat dimana kelompok pemberontak Abu Sayyaf beroperasi.
Meskipun
Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo bersikeras bahwa kedatangan pasukan AS
dalam rangka memberikan training serta latihan militer dan bukan untuk
membantu mengalahkan kelompok pemberontak, dalam perkembangannya jelas terlihat
bagaimana AS memainkan peran operasional yang lebih penting dalam mencari,
merusak misi, serta “memerangi” Abu Sayyaf. [8]
Dari
sisi fasilitas pelabuhan, secara formal AS tidak lagi memiliki pangkalan laut
permanen di Asia Tenggara setelah Subic Bay ditutup. Demikian penting nilainya,
sehingga saat masalah pangkalan ini mulai timbul, AS segera melakukan analisis
untuk kemungkinan “penggantinya”.[9]
Kawasan yang disebut dalam daftar ini antara lain: Cockburn Sound, Jakarta,
Guam, Kaohsiung, Sattahip dan Singapura.[10]
Fasilitas militer untuk kekuatan laut AS saat ini lebih banyak diperoleh dari
Singapura, namun seiring dengan perkembangan setelah September 2001 beberapa
negara seperti Filipina, Indonesia, dan
Vietnam juga ikut memberi fasilitas militer yang bervariasi untuk AS. Pada tanggal 31 Agustus 2002 kantor berita
Antara memberita bahwa walikota Bitung, Milton Tansil dan konsultan AS: Vincent A. Lacelly,
menandatangani kesepatakatan untuk membangun pelabuhan (dockyard) bagi kapal-kapal perang AS di Bitung, Sulawesi Utara.
Proyek tersebut menelan biaya Rp 3 trilyun dan beroperasi pada tahun 2005. [11]
Sedangkan
Singapura dukungan logistik yang cukup besar bagi militer AS dengan menyediakan
akses pangkalan bagi pesawat dan kapal-kapal laut AS.35 Sejak Maret 2001,
pemerintah Singapura telah memberikan fasilitas tempat bagi kapal perang
AS di pangkalan Angkatan Laut
Changi - Singapura, yang mulai dibangun
seluas 86 hektar diatas selat Malaka yang merupakan jalur laut tersibuk di
dunia. [12]
Dukungan
lain datang dari Thailand dan Vietnam. Berdasarkan laporan dari para diplomat
AS, pemerintah Thailand pada prinsipnya telah setuju untuk mempersilahkan AS
untuk menyimpan persediaan logistiknya di pangkalan laut Thailand.[13]
Demikian pula halnya Vietnam. Kerjasama lebih konkrit sudah mulai dilakukan
Vietnam dan AS. Pada 19 November 2003, Kapal perang AS tiba di pelabuhan Sai
Gon, kota Ho Chi Min- Vietnam. [14]
Pemerintah
Filipina mengizinkan AS untuk mempergunakan wilayah udara Filipina termasuk
penggunaan lapangan udara untuk keperluan transit dalam upaya menciptakan
perdamaian dunia.[15]
Sementara itu, Indonesia temasuk negara yang
masih kurang kooperatif dalam memenuhi keinginan-keinginan AS berkenaan dengan
perang melawan terorisme. Sehingga dukungan yang ditunjukan Indonesia selama
ini terbilang sedikit. Dalam kunjungan President Indonesia Megawati ke
Washington D.C. pada 19 September 2002, Ia menyampaikan rasa simpatinya atas
peristiwa 11 September yang menimpa AS kepada Presiden Bush, dan mendukung
tindakan AS untuk memberantas jaringan terorisme. Selanjutnya Indonesia juga
menawarkan kerjasama, termasuk memberikan hak terbang bagi pesawat AS di
wilayah udara Indonesia dalam rangka mendukung perang melawan terorisme.[16]
Malaysia
dan Brunei Darussalam juga tidak terlalu aktif dalam memberikan fasilitas
militer bagi AS. Padahal AS sempat meminta Malaysia untuk menjadikan Kuala Lumpur
sebagai tempat “Regional Training Centre to Counter Terrorism” dia Asia
Tenggara, yang menjadi program yang sedang direncanakan AS.42 Sementara itu,
sejak 11 September Thailand berkoordinasi secara penuh dengan AS dalam
memberantas terorisme dengan memberi akses-akses untuk fasilitas militer,
memberikan izin menggunakan ruang udara Thailand, membuat pernyataan-pernyataan resmi/formal
yang mendukung, bekerjasama dalam pertukaran informasi, serta untuk keperluan invesitigasi
terorisme innternasional, Thailand mengizinkan lapangan udaranya untuk transit
pesawat AS.[17]
[1] States Department
trancript of press briefing, “U.S. – Pacific Chief says Combating Terrorism in
Asia-Pacific”, Washington D.C, 5 March 2001, di http://www.usinfo.state.com diakses
22 Januari 2012 pukul 20.05 WIB
[2] Mathew. “US may turn attention to far east
terror groups”, The Guardian, 11 Oktober 2001
[3] David Capie & Amitav Acharya, “A Fine Balance:
US Relations with Southeast Asia since 9/11, December 2002, hal. 5-6 http://www.ceri-sciences-po.org
Diakses tanggal 10 Maret 2012 pukul 18.35 WIB
[4] Ibid, hal. 6
[5] Rizal Sukma, “The Second Front Discourse:
Southeast Asia & The Problem of Terrorism”, dalam Asia Pacific Security:
Uncertainty in a Changing World Order” (Kuala Lumpur, 2002), hal. 78-80
[6] The United States and Southeast
Asia: A Policy Agenda for the New Administration, Mei 2001, hal.1
[7] The National Bureau of Asian
Research: Washington D.C., 2002, hal. 32
[8] John Roberts, US “Training
exercise” in the Philippines sets stage for Broader military operations, 15
Maret 2002, http://www.wsws.org/articles/2002/mar2002/phil-m15.shtml diakses
2 April 2012 pukul 20.55 WIB
[9] Joewono, Dlara, dkk. Jenderal
Pemikir dan Diplomat: 75 tahun Hasnan Habib, 2003: 77 Centre for Strategic and
International Studies, 2003,
hal 77
[10] Ibid, Hal 77
[11] US to Build Naval Dock in
Indonesia, http://www.english.peopledaily.com.cn/200209/01/eng20020901 102419.ahtml diakses 2
April 2012 pukul 20.35 WIB
[12] Michael Richardson, Singapore
Wellcomes US Aircraft Carrier, Maret 2001, http://www.singapore-windows.org/sw01/010322ih.htm diakses 31 Maret 2012 pukul
19.20 WIB
[13] Alan Boyd, US Recognizes It‟s Military, http://www.atimes.com/atimes/southeastasia/EK21Ae01.html
diakses pada 18 Febuari 2012 pukul 13.00 WIB
[14] U.S. Navy Ship Arrives at Sai
Gon Port, di http://www.vietnamembassy-usa.org/news/newsitem diakses
3 April 2012 pukul 18.35 WIB
[15] Angel Rabasa, Southeast Asia
After 9/11: Regional Trends and U.S. Interests, Testimoni kepada Subcommittee on East Asia dan The Pacific House of Representatives
Coomittee on International Relations pada 12 Desember 2001, (Washington D.C:
RAND Publication, 2001), hal.8
[16] Ibid, David Capie, hal.11
Komentar
Posting Komentar