Respon Publik dan Strategi Kontraterorisme AS di Indonesia
Pilar ketiga
dari pembentukan strategi
adalah publik sendiri, keberlanjutan strategi bergantung pada kondisi dimana elit memiliki atau dapat
memobilisasi
berkelanjutan dukungan domestik. Polling yang melihat pandangan publik terhadap
sikap khusus yang terkait dengan Perang Irak menyimpulkan lebih banyak yang sugestif dan hati-hati daripada yang mendukung perang. Secara khusus, masyarakat
menjadi semakin tidak puas dengan beberapa sifat ambisius dari grand strategi yang dihubungkan dengan invasi ke Irak melalui dominasi kehadiran militer luar negeri sebagai kendaraan utama untuk keamanan, kemauan untuk menggunakan kekuatan militer dalam perang preventif, keengganan untuk mengandalkan sekutu dan lembaga internasional, dan ketidakpedulian terhadap citra Amerika di luar negeri. Jajak pendapat pra-situasi dan pasca-situasi ini memberikan gambaran bagaimana pengalaman Irak menggeser pandangan publik tentang perlunya strategi raya.
berkelanjutan dukungan domestik. Polling yang melihat pandangan publik terhadap
sikap khusus yang terkait dengan Perang Irak menyimpulkan lebih banyak yang sugestif dan hati-hati daripada yang mendukung perang. Secara khusus, masyarakat
menjadi semakin tidak puas dengan beberapa sifat ambisius dari grand strategi yang dihubungkan dengan invasi ke Irak melalui dominasi kehadiran militer luar negeri sebagai kendaraan utama untuk keamanan, kemauan untuk menggunakan kekuatan militer dalam perang preventif, keengganan untuk mengandalkan sekutu dan lembaga internasional, dan ketidakpedulian terhadap citra Amerika di luar negeri. Jajak pendapat pra-situasi dan pasca-situasi ini memberikan gambaran bagaimana pengalaman Irak menggeser pandangan publik tentang perlunya strategi raya.
Publik AS menunjukkan respon ketidakpuasan terhadap pemerintahan
Bush pasca memburuknya situasi di Irak. November 2002, hanya 26
persen warga AS yang menganggap pemerintahnya mis-managing dalam melaksanakan kebijakan luar negeri AS, dalam
bulan yang sama hanya 25 persen menyatakan tidak setuju dengan manajemen
terorisme. Hanya berselang empat tahun kemudian, ketidakpuasan publik terhadap
penanganan perang Irak oleh Bush mengubah pandangan publik. Hanya 26 persen
yang mendukung arus pendekatan Bush dalam membagi sumber daya guna kepentingan
AS di luar negeri, sedangkan 71 persen pulik mengharapkan pemimpin yang akan
menjalankan strategi baru.[1]
Begitu pula dengan dukungan publik terhadap multilateralisme yang meningkat
pasca perang di Irak. Sebanyak 78 persen publik AS menunjukkan preferensi
mereka untuk bekerja dengan sekutu dan organisasi internasional lainnya
ketimbang hanya menggunakan kekuatan saja. Survey pada April 2007 menunjukkan
84 persen warga Amerika mensyaratkan keterlibatan sekutu dalam pergelaran
kekuatan.[2]
Kebanyakan warga AS juga mejadi
waspada dan khawatir terhadap biaya dan konsekuensi dari dominasi militer AS di
luar negeri. Pada tahun 2004, 49 persen dari warga AS percaya bahwa peningkatan kehadiran militer diperlukan
sebagai cara dalam meningkatkan keamanan, namun pada tahun 2006 angka tersebut
berbalik hanya menjadi 26 persen.[3]
Pada 2002, 62 persen responden setuju bahwa cara terbaik untuk memastikan
perdamaian adalah dengan menghadirkan kekuatan militer. Namun pada akhir 2007, hanya 49 persen yang
setuju dengan pernyataan tersebut.[4]
Sebagai tambahan, pengamatan lebih
lanjut juga dilakukan untuk melihat
bahwa pengerahan tersebut mengganggu kekuatan dan eksistensi AS di dunia, 65
persen warga AS melihat bahwa Bush terlalu cepat melibatkan kekuatan militernya
di luar negeri dan 67 persen publik menginginkan negara AS harus lebih menekankan
pada sarana diplomatik dan ekonomi, 68 persen masyarakat prihatin dengan posisi
AS di dunia, 78 persen percaya bahwa perilaku AS menurunkan kepercayaan
internasional dan sebagai konsekuensinya menurut 60 persen responden mengganggap sebagai potensi peningkatan ancaman
terorisme.[5]
Perbaikan keamanan di Irak hanya
berpengaruh kecil terhadap upaya menghidupkan antusiasme publik AS terhadap
upaya negaranya dalam mengambil tindakan terhadap masalah keamanan di luar
negeri. Sebaliknya, ketidakpastian ekonomi telah mengangkat isu domestik
tersebut pada level prioritas utama. Pada November 2007, publik mengangkat isu
perang Irak ini di dalam pemilihan kandidat presiden tahun 2008. Setahun
kemudian, masalah Irak menduduki peringkat ketiga setelah ekonomi negara dan
perawatan kesehatan. Pada Februari 2009, Irak menduduki peringkat ketujuh
permasalahan di AS, di belakang ekonomi, terorisme, pendidikan, perawatan
kesehatan, jaminan sosial dan pajak.[6]
Opini ini menambah daftar ketidakpuasan publik atas Doktrin Bush yang melihat
pelanggaran adalah pertahanan terbaik dan sekutu sebenarnya bermanfaat namun
tidak sepenuhnya diperlukan.[7]
Publik Amerika melihat dengan curiga terhadap kekuatan militer sebagai penyedia
keamanan oleh pemerintah dan prihatin terhadap biaya yang timbul atas sikap
tersebut, serta masyarakat berkeinginan agar pemerintah menyelesaikan masalah di dalam negeri.
Tabel 3.3.1
Gambaran Survey
terhadap Publik AS
kategori Isu
|
2002
|
2006
|
2007
|
|
setuju
|
setuju
|
setuju
|
mis-managing kebijakan luar negeri
|
26
|
|
|
manajemen kontraterorisme
|
75
|
26
|
|
pemimpin baru dengan pendekatan baru kontraterorisme
|
|
71
|
|
militer dalam meningkatkan keamanan dan perdamaian
|
62
|
26
|
49
|
keterlibatan sekutu dalam pergelaran kekuatan
|
|
|
84
|
Bush terlalu cepat melibatkan kekuatan militer di
luar negeri
|
|
|
65
|
penekanan pada sarana diplomatik dan ekonomi
|
|
|
67
|
Keprihatinan terhadap posisi AS di dunia
|
|
|
68
|
perilaku AS menurunkan kepercayaan internasional
|
|
|
78
|
perilaku AS sebagai potensi peningkatan ancaman
terorisme
|
|
|
60
|
Gambaran survey tersebut
memperlihatkan masyarakat begitu kritis melihat kepentingan negara, dukungan
penggunaan militer yang indiskriminatif, dan kelangkaan sumber daya, sehingga
melihat multilateralisme dan diplomasi sebagai opsi lain yang menarik bagi
penciptaan keamanan dan perdamaian. Pergeseran opini publik dan fakta dibalik
pergeseran tersebut memaksa perubahan strategi raya oleh pemerintahan Bush.
Selain mengemban perjanjian retoris dengan sikap publik tersebut, upaya
perubahan strategi raya ini juga dilakukan untuk mencerminkan realita wajah
Amerika Serikat yang baru.
Komitmen presiden Amerika terhadap
usaha pemberantasan terorisme, tidak berubah. Sejak serangan 9/11, Amerika
telah menghabiskan dana sebesar US$512 Miliar, hitungan tersebut belum termasuk
dana tambahan sebesar US$800 Miliar yang digulirkan secara berkala sejak
Presiden George W. Bush.[8]
Begitu pula dengan Obama, keseriusan dalam memburu Osama tidak perlu diragukan
lagi. Namun Obama diperingatkan oleh beberapa mantan anggota operasi CIA di Afganistan,
menambah jumlah pasukan tidak menjamin dapat menangkap Osama dengan mudah,
bahkan berpotensi menimbulkan perlawanan sengit dari militant Taliban dan
Al-Qaeda yang akan membuat pasukan AS terjebak dalam perang yang lebih panjang.
Hal ini belum termasuk ancaman ditinggalkan para sekutu yang tergabung dalam
pasukan NATO, sebab beberapa tahun terkahir sejumlah negara sekutu mulai
mengurangi jumlah pasukan di Afganistan. Apabila Obama mengambil kebijakan yang
salah, akan menimbulkan dampak yang kurang lebih sama dengan yang dialami Bush
dalam memutuskan kebijakan perang melawan teror.[9]
Beberapa petinggi keamanan AS
memberikan saran kepada presiden baru tersebut sebagai jawaban atas desakan
respon publik terhadap usaha pemberantasan terorisme yang dilakukan oleh AS.
Penasehat kepresidenan AS Letjen Douglas E. Lute menyarankan untuk meningkatkan
kerjasama dengan pemerintahan Afganistan dalam perang yang terjadi di negara
tersebut, untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari koalisi negara-negara
Eropa di bawah komando NATO. Termasuk juga opsi untuk mempererat kerjasama dengan negara tetangga seperti Afganistan, Iran dan Pakistan. Sejauh ini para
staf Keamanan Nasional seminimal mungkin memberi rekomendasi aksi militer seperti
apa yang telah dilakukan pada masa pemerintahan Bush.
Berdasarkan ukuran
dan lokasi, kestabilan, stabilitas, keutuhan dan kesejahteraan Indonesia
menjadi isu yang penting bagi Asia dan dunia. Ketidakstabilan Indonesia akan
merugikan keamanan AS, kepentingan strategis, regional dan tujuan ekonomi di
Asia Tenggara. Namun sejak 9/11, upaya AS untuk menggulirkan perang melawan
terror juga meningkatkan kelompok anti-Amerika yang memungkinkan esktrimis
Islam dan pendukungnya menjustifikasi tindakan terorisme. Akibatnya hal ini
tidak menguntungkan persepsi publik AS di dalam negara maupun di Indonesia dan
meningkatkan persepsi negatif yang dapat menjadi ancaman serius. Meskipun Bush berkali-kali
menerangkan bahwa perang melawan terorisme bukanlah perang melawan Islam, namun
mayoritas kaum muslim, utamanya di Indonesia merasa terancam. Persepsi negatif
ini menciptakan ketegangan AS-Indonesia.
Sebuah
survei yang diselenggarakan oleh Dewan Hubungan Luar Negeri Chicago menemukan bahwa hanya 33 persen dari warga Amerika
yang berpikir bahwa AS memiliki kepentingan vital di Indonesia,
peringkat ini
secara
signifikan lebih rendah dari yang diberikan untuk negara-negara seperti Arab Saudi, Pakistan, Filipina, atau
Mesir
[1] U.S. Foreign
Policy Performance Ratings
and Priority Rankings, Program
on International Policy
Attitudes-Knowledge Networks, February
2003, wvvw.pipa.org
diakses 15 Februari 2012
pukul 09.00 WIB
[2] Publik Agenda, "Anguish over Iraq Shakes Publik's Faith in Military
Solutions," April 2007
[3] Diminished Publik
Appetite for Military Force
and Mideast Oil,"
Pew People and
the Press, September 6, 2006.
[4]Trends in Political Values and Core Attitudes: 1987-2007, Pew Research
for the People and
the Press, March
22, 2007, Hal 24.
[5] ”Seven in Ten Americans Favor Congressional
Candiclates Who Will Pursue a Major Change in Foreign Policy," World Publik
Opinion, 19 October 2006
[6] Polling Report, http://www.pollingreport.com/prioriti2.hitm
diakses 25 April 2012
pukul 11.00 WIB
[7] Mackubin Thomas
Owens, "The Bush
Doctrine: The Foreign
Policy of Republikan Empire," Orbis, Winter , 2009, Hal 219
[8] Wasis Wibowo, Obama memburu
Osama-Terjerat Perang Tak Berujung Melawan Terorisme. Grafindopress, 2009, hal
15
[9]
Ibid, hal 18
Komentar
Posting Komentar