Kajian TIpologi Terorisme Indonesia (Kasus Pepi Fernando)
Tragedi 11 September WTC dan 12
Oktober Bali telah mengingatkan akan ancaman terhdap perdamaian dan keamanan
dunia yang selalu muncul secara tidak terduga dan eksplosif. Teror hadir dan
menjelma dalam kehidupan sebagai momok yang sewaktu-waktu dapat memicu gangguan
nasional dan global sebagai sumber dan akibat dari pengaruh globalisasi di
zaman yang serba canggih dan modern ini. Logis jika terdapat tuntutan mengenai
perlunya peningkatan kewaspadaan dari berbagai pihak, khususnya penegak hukum
untuk bertindak secara seksama terhadap fenomena terorisme yang muncul. Tidak
ada jaminan bahwa negara dengan sistem keamanan yang canggih lantas aman dari
gangguan terorisme. Amerika Serikat contohnya, harus menerima realitas
memalukan sekaligus memilukan dari serangan terorisme, dengan menjadi sasaran
utama sekaligus pembuktian bahwa negara adidaya tersebut gagal menjalankan
fungsinya sebagai polisi dunia yang melindungi sekaligus menjamin keamanan
dunia.
Seminar Internasional yang dilakukan di New York dan
Washington pada 12 Oktober 2002 sebagai acara untuk mengenang kejadian 11
September 2001 menghasilkan kesepakatan bahwa Asia Tenggara diletakkan sebagai
wilayah kedua yang rawan terorisme (Tan, 2003). Di antara negara lainnya di
Asia Tenggara, Indonesia adalah salah satu yang mendapat perhatian lebih dari
media dunia, khususnya setelah Bom Bali 2000 yang pemicu yang biasa bagi perkembangan fenomena
terorisme. Dalam waktu terakhir ini, terorisme semakin menunjukkan peningkatan
baik organisasi, taktik bahkan hingga eksekusi aksinya. Kasus-kasus konflik di
Indonesia yang tidak tertangani serta menurunnya harmonisasi sosial masyarakat
yang ditandai oleh Indeks Demokrasi Indonesia yang berada pada urutan ke-60 dengan nilai 6,53. Rangking
indeks demokrasi Indonesia tersebut berada di bawah Papua Nugini (ke-59),
Thailand (ke-57), Timor Leste (ke-42), dan India (ke-40). Dengan posisi
tersebut kualitas demokrasi Indonesia termasuk dalam kelompok negara demokrasi
dengan cacat/kekurangan (flawed
democracy), dengan penekanan pada beberapa aspek: proses pemilu dan
pluralisme, kebebasan sipil, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik
dan budaya politik[1]. Hal ini turut memperburuk
citra aparat penegak hukum sebagai lembaga penjamin keamanan, sehingga
dipandang tidak lagi bisa bekerja sendiri menjamin keamanan dalam negerinya.
Terorisme tidak lagi dapat dilihat sebagai fenomena gangguan keamanan semata,
lebih jauh kini telah juga mengancam kedaulatan dan keutuhan sebuah negara. Aksi
terorisme dilakukan selain sebagai upaya menarik perhatian juga menciptakan
disorientasi atau upaya mengurangi bahkan menghilangkan kekuasaan pemerintah di
dalam negara[2]. Persoalan inilah yang menunjukkan adanya pergeseran
cara pandang terorisme sebagai ancaman kedaulatan ketimbang persoalan keamanan.
Hingga kini, beragam aksi terorisme masih dianggap oleh
banyak kalangan sebagai fanatisme agama, melalui kesimpulan bernuansa politik
dan strategis.[3]. Kenyataan ini melahirkan
keraguan atas metode operasi terorisme
lain yang dapat secara efektif mencapai tujuan mereka. Teroris kini tidak hanya siap mati, namun lebih mencari
kematian. Bom bunuh diri di Mapolres Cirebon, efek damage-nya (kerusakan) tidak terlalu hebat, karena jenis bom yang
digunakan adalah low explosif, dan hanya menimbulkan luka-luka. Tetapi, efeknya
berupa opini, khususnya terhadap umat Islam luar biasa.[4] Selain kasus tersebut, terdapat
pula kasus Pepi Fernando yang menjadi otak dari bom buku yang meneror Jakarta
pada Maret lalu. Saat ledakan bom buku di Utan Kayu, Jakarta Timur, dua polisi luka parah. Sedangkan pada temuan bom
di Serpong, polisi menemukan sembilan paket bom dengan berat bervariasi. Berat
paket bom mulai 10 sampai 15 kilogram itu ditemukan di sepanjang jalur pipa gas
milik Perusahaan Gas Negara. Lokasi temuan bom tak jauh dari Gereja Christ
Catedral, sehari menjelang perayaan Jumat
Agung dan Paskah[5].
Pemilihan terhadap kasus Pepi
Fernando disebabkan karena organisasi ini relatif baru dengan kemampuan
perakitan bom yang tidak kalah dengan jaringan teroris sebelumnya, namun dilakukan
dengan cara otodidak. Penyelidikan di lapangan menunjukkan keterkaitan jaringan
Pepi Fernando dengan jaringan teroris lama, sehingga memperkuat asumsi bahwa
aparat penegak hukum masih belum mampu melakukan pencegahan dan penangkalan
terorisme di Indonesia.
Tulisan ini akan mengkaji tipologi terorisme
dan aksinya oleh organisasi-organisasi yang menggerakkannya di Indonesia.
Kesimpulan yang diharapkan adalah untuk menjelaskan realitas di lapangan
mengenai perilaku terorisme, apakah hanya sebagai kejahatan terhadap keamanan
murni atau lebih jauh merupakan eskalasi ancaman terhadap kedaulatan negara
walaupun dilakukan oleh aktor-aktor non negara. Hasil dari penelitian ini pada
akhirnya akan dapat digunakan untuk menentukan alternatif strategi yang akan digunakan
untuk menangkal fenomena terorisme di Indonesia serta upaya memperkuat
langkah-langkah alternatif strategi yang dipilih dalam usaha penanggulangan
terorisme.
I.
Tipologi Terorisme
Hingga saat ini, definisi
terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah banyak yang merumuskan di
dalam peraturan perundang-undangan. Akar dari kata ‘teror’ berasal dari bahasa Latin ‘terrere’ yang memiliki makna ‘untuk
menciptakan ketakutan’.[6] Definisi yang kerap digunakan adalah yang
diberikan oleh pemerintah AS, dimana terorisme diartikan sebagai aktivitas
kekerasan terencana, bermotivasi politik yang dilakukan terhadap korban non
kombatan oleh kelompok subnasional dan
ataupun agen rahasia. Dalam eksistensinya,
terorisme telah mengalami banyak rumusan definisi, meskipun secara umum
maknanya serupa. Cronin (2002) menyatakan karena kebanyakan pendapat mengatakan
mustahil untuk memberikan satu definisi yang ajek untuk terorisme, maka ia
mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik-karakteristik utama dari
terorisme: sebuah aksi politis yang fundamental, penggunaan kekerasan yang
tidak terduga pada sejumlah target yang nampak acak, dan penargetan terhadap
orang-orang tak berdosa tersebut dilakukan oleh aktor-aktor non-negara[7].
Terorisme tidaklah muncul dari satu faktor saja, namun saling mempengaruhi dengan berbagai faktor lainnya. Akar permasalahan tidak hanya diam, namun berkembang dan berubah
secara konstan. Banyak teori yang dapat membantu memberikan pemahaman mengenai
asal-usul terorisme, misalnya teori struktural, yang berpusat pada kondisi sosial.(lihat New Trend in Terrorism, Joshua Sinai.2007) Negara adalah fokus
utama teori structural tentang terorisme karena perannya sebagai faktor yang mempercepat bangkit dan berkembangnyanya
terorisme. Ketidakadilan social, ketidakpuasan, ketidakpedulian kaum elite dan
krisis kesadaran sosial adalah faktor pendukung munculnya terorisme di kehidupan
masyarakat.
Teori
deprivasi relative oleh Ted Robert
Gurr, melihat terorisme dari sudut lain, yang memfokuskan
pada hubungan antara frustasi dan agresi. Perasaan frustasi dan kemarahan yang
menuntun individu ikut melakukan aksi terhadap sumber yang dirasakan membuat
frustasi. Sementara teori deprivasi absolute muncul ketika sebuah kelompok
telah didiskreditkan atas hak-hak dasarnya oleh pemerintah. Perbedaan antara
deprivasi relative dan absolute bergantung pada kesenjangan antara apa yang
orang punya dengan apa yang mereka butuhkan untuk mempertahankan kehidupan. Pada level sosial, pengalaman
ketimpangan social dan ekonomi, tidak meratanya pendidikan, kebebasan
masyarakat dan politik yang rendah menjadi batu loncatan bagi aksi terorisme.
Pada level kelompok, agen mobilisasi seperti pemimpin yang kharismatik, menjadi
dorongan bagi para anggotanya, sementara pada level individual, kerentanan
terhadap radikalisasi dan perekrutan ke dalam organisasi terorisme adalah factor penyebab ekstra lainnya. Hubungan diantara
kemiskinan, pendidikan yang rendah dan variable sosio ekonomi lainnya termasuk
benturan antara tradisionalitas dan modernitas dan terorisme adalah kompleks,
seperti halnya hubungan diantara tekanan negara, tidak tersedianya kesempatan
politik dan terorisme. Kemampuan kelompok teroris untuk mengeksploitasi
kegagalan politik atau tidak adanya stabilitas politik yang ada pada negara yang
lemah atau gagal adalah penyebab politik lainnya. Sebagian ilmu telah
menunjukkan bahwa mereka yang ikut ke dalam kelompok teroris didorong oleh
berbagai macam factor psikologis
yang berbeda.
Dalam sebuah laporan yang
berjudul The Sociology and Psichology of
Terrorism: Who become a terrorist and Why, divisi riset Federal AS
menyebutkan ada lima ciri dari kelompok teroris yakni separatis-nasionalis,
fundamentalis-religius, religious baru, revolusioner-sosial dan teroris sayap
kanan. Klasifikasi ini didasarkan menurut latar belakang politik dan ideology. Motif
terorisme, menurut Wilkinson dapat dikalsifikasikan menjadi tiga kategori
rasional, psikologis dan budaya.
Sementara National Advisory Committee dalam The report of The Task Force on Disorders and Terrorism, membagi
terorisme dalam lima tipologi, yaitu:
1. Terorisme Politik, mencakup
perilaku kriminal yang dilakukan dengan kekerasan yang didesain terutama untuk
menimbulkan ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis;
2. Terorisme non politik, dilakukan
untuk tujuan keuntungan pribadi, termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi;
3. Quasi Terrorism, menggambarkan
aktivitas yang bersifat incidental untuk melakukan kejahatan kekerasan yang
bentuk dan caranya menyerupai terorisme tetapi tidak mempunyai unsure esensial;
4. Terorisme Politik Terbatas,
menunjuk pada perbuatan terorisme yang dilakukan untuk tujuan atau motif
politik tetapi tidak merupakan bagian dari suatu kmpanye bersama untuk
menguasai pengendalian negara;
5. State Terrorism, terjadi di
suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan.
Studi-studi mengenai terorisme Islam menemukan sejumlah
faktor yang menyebabkan suatu kelompok melakukan teror, baik dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan. Beberapa studi menemukan aksi teror dapat dipicu dari
kegagalan ekonomi global modern dalam menyejahterahkan negara-negara yang
berpenduduk mayoritas Muslim. Studi lainnya mengklaim bahwa munculnya terorisme
disebabkan antara lain oleh dominasi identitas nasional di atas identitas
Islam, ketidaksepakatan terhadap sistem politik tertentu (demokrasi misalnya),
pendudukan Israel di Jerussalem, benturan Islam dan agama lain, dan kekuasaan
oleh pemerintah sekuler (lihat Castells, 2004; Robinson, Crensaw, &
Jenkins, 2006; Moghaddam, 2008).
Di Indonesia, kasus pelaku teror sangat mungkin digerakkan oleh lebih dari
satu motif,
namun kecenderungan mengarahkan pada fanatisme religius. Kuatnya pergerakan dan
perkembangan terorisme disebabkan oleh mudahnya indoktrinasi ideologi dan karakter
jejaring yang kuat. Indoktrinasi ikut
berperan dalam dua cara. Yang pertama adalah proses pendidikan dimana seseorang
diberi keyakinan tentang pentingnya latar belakang dan cara-cara yang
diperlukan untuk melaksanakan sebuah misi. Agen yang berpengaruh dalam fase
ini, yang biasanya sangat panjang waktunya, bisa jadi adalah keluarga, teman
ataupun guru. Tipe yang kedua adalah bujukan yang berorientasi pada pencapaian
misi bagi orang yang dimaksud untuk melakukan bunuh diri. Hal ini biasanya
dilakukan oleh pemimpin yang kharismatik dalam politik, militer ataupun agama.
Jenis ini sangat singkat, bersifat seperti komando militer kepada
tentara-tentara, sehingga mereka tidak memiliki ide lain selain mematuhi
perintah.[8]
Pada kasus Pepi Fernando,
meskipun keterampilan membuat bom didapat dari internet[9],
namun keyakinannya yang radikal telah ada
sejak lama. Benar
bahwa Pepi tak punya relasi langsung dengan Al Qaida dan tidak terkait langsung dengan
struktur komando jaringan Jamaah Islamiyah atau kelompok Noordin M Top. Jika dirunut lebih jauh, almamater Pepi termasuk wilayah
rekruitmen Syaifudin Zuhri, perekrut
‘pengantin’ bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton yang tewas setelah penyerbuan
Densus 88 di sekitar UIN Syarif Hidayatullah, 2009 lalu. Perjalanan Pepi ke Aceh juga diduga bertemu dengan Ustad
Jaja, pimpinan NII Banten yang
tewas tertembak dalam baku tembak di Aceh 2010.[10] Jaringan Pepi Fernando tergolong rapi, tanpa struktur
yang tegas dan cenderung bersifat sel-sel lepas namun dengan pembagian tugas
dan peranan masing-masing. Pada kasus tersebut, dapat terlihat variable yang cenderung menguatkan
gerakan terorisme di Indonesia adalah pada pelaku terorisme yang terkait dengan
ideologi dan jaringan.
II.
Epistimologi Terorisme
Merujuk pada tipologi terorisme
diatas, suatu cara yang mudah untuk memahami tindakan dan motivasi teroris
adalah dengan mengasumsikan bahwa tindakan dan motivasi tersebut murni karena
pilihan strateginya[11].
Terorisme dipandang sebagai strategi penggunaan kekerasan bersenjata yang indiscriminate dan sebagai senjata pihak
lemah terutama aktor non negara melawan negara.
Banyak kalangan akademisi
memberikan pemahaman mengenai terorisme sebagai tindakan yang dilakukan guna
mengekspresikan strategi politik. Terorisme mengikuti proses logika tertentu,
sehingga dapat dianggap menunjukkan rasionalitas kolektif. Efisiensi dan
efektivitas merupakan standar utama dalam pembandingan antara terorisme
terhadap cara-cara lain untuk mencapai tujuan politik.
Terorisme adalah taktik mengenai peperangan, seperti
halnya gerilya, perang konvensional hingga perang menggunakan
teknologi tinggi. Operasi terorisme adalah bagian dari peperangan psikologis
kelompok pemberontak, dengan maksud merusak ketenangan psikologis dari
targetnya. Karenanya, studi tentang terorisme adalah studi interdisipliner,
mencakup data kualitatif dan kuantitatif, meskipun mengalami kesulitan
menghadapi sifat alami dan kerahasiaan aktivitas terorisme.[12].
Ada tiga tipe dasar peperangan yang dilakukan oleh
teroris, komvensional berdampak rendah, konvensional berdampak tinggi hingga
penggunaan senjata CBRN (chemical, biological, radiological and nuclear).
Menempatkan sebuah kelompok dalam satu atau
beberapa kategori membuat analis dapat memahami konteks operasi sebuah kelompok
dan melengkapi perkiraan arah geraknya kedepan. Dan nampaknya sampai saat ini,
strategi bom bunuh diri dan kombinasi dengan pembunuhan politik masih menjadi
alat yang diandalkan para teroris dalam mencapai tujuan mereka.
Selama
bertahun-tahun struktur organisasi efektif oleh teroris berubah-ubah sepanjang
waktu termasuk perluasan
jaringan infrastruktur logistic organisasi guna
meningkatkan
kapabilitas keamanan dengan
menguasai teknologi komunikasi terbaru yang dapat mendukung efisiensi tanpa
harus terdeteksi. Beberapa
organisasi teroris yang besar seperti Hamas dan Hisbullah, juga menjaga struktur
organisasi yang legal untuk memperluas basis support. Marc Sageman menemukan
bahwa terdapat proporsi yang signifikan dari teroris yang ikut ke dalam
pergerakan global salafi jihadis akibat pernikahan dan hubungan kekeluargaan
dan bahkan melalui pertemanan yang intensif. Pemahaman mengenai bagaimana
individu menjadi radikal sehingga kelompok teroris atau bagaimana individu
memilih untuk bergabung dalam kelompok terorisme memberikan pemahaman mendasar
besarnya ancaman teroris yang dihadapi oleh negara yang menjadi sasaran.
Analisis jaringan sosial ini
menunjukkan diantara banyak faktor yang mendukung perkembangan terorisme,
terutama di Indonesia, faktor ideologi masih berperan penting dalam upaya
perekrutan dan pengembangan jaringan terorisme nasional maupun global. Namun
proses indoktrinasi ideology masih menyisakan banyak persoalan. Indoktrinasi
memerlukan adanya komunikasi dua arah antara orang lama dengan para calon
teroris. Di lapangan, M syarif terbukti telah melakukan kontak dengan jaringan
terorisme sebelumnya untuk menguatkan keyakinannya dalam berjihad (peledakan
diri) di Mapolres Cirebon. Pun begitu, Pepi Fernando juga telah melakukan hal
yang sama. Pepi diduga pernah melakukan kontak dengan Syaifudin Zuhri dan
Uztads Jeje, keduanya merupakan jaringan lama terorisem di Indonesia.
III. Aksiologi Terorisme
IV.
Etika Terorisme
Pada bagian ini akan memaparkan
ide dasar dari strategi penanggulangan terorisme. Menurut Peter S. Temes, perang adalah sesuatu yang salah,
tetapi diperlukan. Berakar di ajaran
agama-agama, teori modern-sekuler tentang ‘Just War”, menempatkan negara
sebagai aktor dengan legitimasi memerintahkan dan melaksanakan perang. Adalah
Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, yang dalam Perang Dunia I, menyatakan
kepentingan melindungi hak asasi manusia (HAM) dengan melakukan perang sebagai
misi ideologisnya dalam skala global. Perang
adalah sah dalam memerangi ‘musuh jahat’, pelanggar HAM.
Daftar Pustaka
http://www.meteck.org/causesTerrorism.html
[3] R, Ben Yishai. 1987. “Beirut is Not Entebbe, Saturday Suplement.
Hebrew (diakses dari Google book)
[4] http://www.eramuslim.com/editorial/siapa-dan-apa-motivasi-bom-bunuh-diri-di-ceribon.htm
[6] GĂ©rard Chaliand dan
Arnaud Blin (ed.), “Preface”, the History
of Terrorism: From Antiquity to Al Qaeda (Berkeley
and Los Angeles : University of California
Press ), 2007, h. 8-9.
[7] R.G. Frey dan
Christopher W. Morris, “Violence, Terrorism, and Justice,” dalam Frey and
Morris (ed.), Violence, Terrorism, and
Justice (Cambridge :
Cambridge University Press), 1991, h. 3.
[8] Merari. Ariel. “ Kill or to be Killed, Middle East Suicide Terrorism
in Origins of Terrorism Walter Reich. pp 257
[11] Walter Reich. Origins of Terrorism: Psychologies,
Ideologies, Theologies, States of Mind, Baltimore: Woodrow Wilson Center Press,
1998
[12] New Trends in Terrorism Studies: Strengths and Weakness, Joshua Sinai
in Ranstorp, Magnus. 2007. Mapping
Terrorism Research:” State of art,gaps and future direction”
Komentar
Posting Komentar