Regionalisme dan Security
Teori regionalisme
I. Pendahuluan
Regional security atau keamanan
regional merupakan keadaan yang sangat penting untuk diciptakan mengingat
posisinya dalam dua hal. Pertama, sebagai elemen pembentuk keamanan
internasional ataupun konflik internasional. Hal ini
karena region tersebut saling berhubungan dengan negara-negara atau actor lain
di luar region sehingga interaksi tersebut menimbulkan potensi konflik. Oleh
sebab itu, keamanan regional merupakan hal pertama yang perlu diupayakan demi
terciptanya stabilitas internasional. Kedua, keamanan regional sangat
berhubungan dan mempengaruhi keamanan nasional negara yang terletak di dalam
region yang bersangkutan. Sebuah region yang aman akan
mendukung stabilitas ekonomi maupun politik negara-negara yang berada dalam
region tersebut, misalnya Uni Eropa dan ASEAN. Sementara itu, region yang penuh
konflik akan mengancam keamanan nasional negara di dalamnya, misalnya konflik
nasional dan regional di Timur Tengah yang berkepanjangan.
II. Isi
A. Teori Regionalisme
Menganalisa regional security tidak dapat dipisahkan
dari analisa kemunculan regionalisme dan aspek-aspek yang melanggengkannya.
Teori-teori mengenai regionalisme ini nantinya akan sangat membantu dalam
menganalisa keberlangsungan suatu kawasan. Yakni menjelaskan secara historis,
mengapa suatu kawasan masih eksis dan kemungkinan upaya yang dapat dilakukan
untuk melanggengkan kawasan tersebut.
Region atau kawasan diartikan sebagai sekumpulan
negara yang memiliki kedekatan geografis karena berada dalam satu wilayah
tertentu. Meskipun demikian, kedekatan geografis saja
tidak cukup untuk menyatukan negara dalam satu kawasan. Hettne dan Soderbaun
mengemukakan bahwa kedekatan geografis tersebut perlu didukung adanya kesamaan
budaya, keterikatan sosial dan sejarah yang sama. Dengan
demikian, syarat terbentuknya satu kawasan dapat terpenuhi secara geografis dan
struktural. Dengan logika ini, maka seharusnya semua kawasan di dunia dapat
menjadi sekumpulan negara yang mendeklarasikan diri mereka sebagai satu kawasan
yang sama. Namun pada kenyataannya, tidak semua kawasan memiliki intensitas
interaksi dan kemajuan yang sama antara satu kawasan dengan yang lainnya.
Jika dijawab dengan teori
Fungsionalis, hal ini dikarenakan adanya perbedaan intensitas interaksi dan
integrasi negara dalam menjalankan fungsinya di kawasan. Kawasan yang dapat
memulai interaksi antar negara di dalamnya, akan terus berkembang karena efek
kerjasama “spillovers” hingga akhirnya tercipta integrasi kawasan. Hal ini
berbeda dengan kawasan lain yang tidak memiliki kerjasama kawasan. Maka kawasan
tersebut akan tertinggal dibanding kawasan yang lain.
Teori fungsionalis ini dikritik oleh Beeson yang
mengatakan bahwa Fungsionalis tidak memperhitungkan arti pentingnya kesamaan
identitas dalam integrasi kawasan.Teori fungsionalis hanya memandang interaksi
dan kerjasama antar negaralah yang menjadi faktor utama dalam menciptakan
kawasan. Padahal seharusnya aspek kesamaan identitas dan sistem sosial
merupakan pendorong utama terbentuknya integrasi kawasan. Beeson juga
mengkritisi kelemahan teori fungsionalis yang tidak dapat menjelaskan bagaimana
interaksi tersebut dapat tercipta pertama kali. Meski
demikian, teori fungsionalis ini terbukti berlaku di Eropa yang kini tumbuh
menjadi kawasan yang sangat berkembang dengan Uni Eropa nya. Yakni dengan
menerapkan kerjasama fungsional yang mengahsilkan “spilloever” effects.
Sementara itu, berdasar “New Regional Theory”, perkembangan regionalism tergantung pada tiga hal. Yakni,
dukungan dari kekuatan besar di dalam kawasan (regional great power), tingkat
interaksi antar negara dalam kawasan, dan saling kepercayaan antar negara dalam
kawasan. Melalui teori ini, dapat dipahami bahwa mengapa satu kawasan lebih
tertinggal dibanding yang lainnya adalah karena permasalahan kekuatan dan
keinginan negara yang bersangkutan untuk membentuk satu kawasan. Bisa jadi
suatu kawasan tidak tercipta integrasi karena memang integrasi tersebut tidak
diinginkan dan diupayakan oleh para great powers.
Selain teori di atas, Hennet membagi
tingkatan regionalism ke dalam lima tahapan yang meningkat secara gradual. Lima tahapan ini menunjukkan kematangan suatu kawasan
seiring dengan meningkatnya intensitas hubungan internasional antar negara di
kawasan. Tahapan ini dapat menjawab pertanyaan mengapa satu kawasan dapat lebih
maju dibandingkan dengan kawasan yang lain dan persyaratn apa yang harus
diupayakan agar tercipta integrasi kawasan yang lebih matang.
Tahapan tersebut adalah :
1. Simple Geographic Unit of States
Kriteria:
· Tidak ada kerjasama dan interaksi rutin antar negara
di dalam kawasan.
· Kerjasama terjadi hanya ketika ada ancaman, dan kerjasama
tersebut juga berakhir ketika ancaman sudah berakhir.
· Sangat bergantung pada sumber daya pribadi, yakni
pada masing-masing negara.
2. Set of Social Interactions
Kriteria :
· Dalam kawasan sudah tercipta interaksi antar negara
namun hanya diatur norma-norma atau institusi informal
3. Collective Defense Organisation
Kriteria :
· Negara mulai bersekutu dengan negara lain yang memiliki
pemikiran yang sama di dalam satu kawasan untuk melawan ancaman bersama tau
musush bersama.
· Ada perjanjian formal yang mengikat dan mengatur
negara-negara dalam satu kawasan.
· Ada kombinasi kekuatan, meski bukan berupa
penggabungan apalagi peleburan
4. Security Community
Kriteria:
· Interaksi antar masyarakat sipil antar negara sudah
mulai dikembangkan.
· Tercipta hubungan yang damai antar nmegara dalam
kawasan.
· Adanya kesepakatan untu memilih menggunakan cara-cara
damai untuk menyelesaikan masalah.
5. Region State
Kriteria:
· Kawasan sudah memiliki identitas bersama yang berbeda
dari kawasan lain
· Kawasan memiliki kapabilitas bersama sebagai satu
kawasan
· Kawasan memiliki legitimasi sebagai satu kesatuan
regional
B. Keamanan regional dari berbagi perspektif
Dalam sejarah perkembangannya,regionalisme mendapat
beberapa tanggapan dari beberapa pihak khususnya pihak
realist,neo-liberal,institusionalis dan konstruktivis.Ketiga pihak tersebut
memiliki pemahaman yang berbeda mengenai keamanan regional, yakni pada
bagaimana cara menciptakan kondisi yang kondusif bagi keamanan regional.
a. Perspektif Realis
Perspektif realis memandang bahwa
masalah keamanan regional tidak dapat disatukan meskipun mereka memiliki
kepentingan yang sama. Hal ini membuat membuat kerjasama diantara negara-negara
dalam satu regional sulit untuk dijalankan karena tidak adanya saling
kepercayaan antar negara dalam kawasan. Perspektif realis meyakini bahwa negara
tidak boleh bergantung pada negara lain, sehingga “self-help” merupakan cara
terbaik dalam mencapai stabilitas keamanan yang mandiri. Dengan adanya sistem
“self-help” ini, maka kooperasi antar negara-negara dalam kawasan sulit untuk
dibentuk.
Jika memandang dengan perspektif
ini, maka integrasi kawasan tidak akan pernah terwujud. Bahkan ide mengenai
kerjasama kawasan dan pemeliharaan keamanan regional secara bersam-sama
merupakan hal yang tidak masuk akal. Salah satu kerjasama dan interaksi yang
paling mungkin terjadi di kawsana adalah kerjasama untuk menangani musuh bersama
dari luar kawsana. Meski hal itu bukan sebagai ajminan bahwa negara-negara
dalam kawsan dapat saling percaya untuk tergabung bersamam melawan musuh dari
luar kawasan.
b. Perspektif Institutionalis
Kaum Institusionalis memandang bahwa
institusi regional akan memudahkan terjalinnya kerjasama kawasan, menghilangkan
anarki internasional dan membantu kepentingan negara-negara untuk menciptakan
keamanan regional. Hal ini tentu saja sangat
bertentangan dengan perspektif realis yang menyangsikan hilangnya sikap anarkis
dan melahirkan kerjasam. Bull meyakini bahwa “Hukum kerjasama “ ini dapat
berlaku jika diberlakukan sistem contingency and equivalence. Contigency dimaknai sebagai upaya pemberian reward
bagi negara yang bersedia melakukan kerjasama dan memberi hukuman bagi yang
menolak melakukannya. Pernyataan ini disempurnakan oleh Milner yang menyatakan
bahwa perlu adanya keseimbangan pemberian reward sehingga terjalin hubungan
baik antar negara-negara yang mendapatkannya. Dalam
perkembangan kontemporer, reward yang didapatkan dari hasil kerjasama kawsan
dapat berupa kemajuan ekonomi bersama, seperti Uni Eropa, atau terciptanya
stabilitas kawsana seperti misalnya ASEAN.
Perbedaan utama antara kedua paham
ini adalah perbedaan aspek terpenting yang menentukan keamanan regional. Kaum
realis memandang bahwa militer adalah faktor terpenting dari keamanan.
Sementara itu, pihak institusionalis mengatakan tidak hanya militer saja yang
merupakan aspek terpenting dari keamanan regional, tetapi juga bidang politik
dan sosial
c. Perspektif Konstruktivis
Kaum konstruktivis memiliki anggapan
bahwa keamanan regional dapat sengaja dikonstruksikan secara sosial melalui
interaksi sosial. Selanjutnya, interaksi tersebut akan membentuk kesamaan
identitas dan kepentingan. Alexander Wendt menyatakan bahwa kondisi ini dapat
terwujud jika memenuhi tiga landasan utama yaitu pembagian ilmu,pembagian
sumber daya material dan kepraktisan. Ketiga hal ini
akan membentuk sebuah sistem keamanan regional yang efektif.
C. Ancaman terhadap Keamanan Regional
Ancaman merupakan dua sisi mata uang
bagi terciptanya stabilitas kawasan. Di satu sisi, ancaman dapat mengganggu
keamanan regional. Namun di sisi lain, ancaman justru dapat menciptakan
kerjasama regional untuk menghilangkan ancaman tersebut. Lepas dari hal itu,
ancaman dapat dieskuritisasi sehingga tetap tercipta kerjasama regional namun
tidak mengganggu keamanan regional.
Secara umum, ada empat kategori
ancaman yang dapat mengancam keamanan regional. Tiga ancaman pertama
diungkapkan oleh Hettne sedangkan yang lain oleh Snyder. Ancaman tersebut yakni:
a. Balance of Power Contest
Yakni ancaman yang muncul karena adanya keinginan
antara negara-negara di kawasan untuk menguasai aspek-aspek tertentu, misalnya
sumberdaya dan hegemoni. Hal tersebut menyebabkan para kator saling berlomba
dalam memenangkan kepentingannya dan tidak menempuh upaya kerjasama.
b. “Grass fire” Conflicts
Yakni ancaman yang berupa konflik yang terjadi antar
negara karena permasalahan-permasalahan local. Misalnya permasalahan politik,
ekonomi dan etnis yang melibatkan issue di negara lain.Pada umumnya, konflik
ini didorong oleh dua hal : masalah pemicu dan permasalahan mendasar yang
memang sudah ada dan menjadi sengketa. Misalnya, masalah perebutan wilayah.
c. Intra-state Conflicts
Yakni ancaman regional yang berupa konflik internal di
suatu negara tertentu di dalam kawasan tersebut. Meskipun demikian, konflik
tersebut memiliki potensi untuk mempengaruhi hubungan dengan negara lain yang
memiliki hubungan tidak langsung terhadap konflik. Misalnya konflik etnis
minoritas di satu negara dimana etnis tersebut menjadi etnis mayoritas di
negara yang lain.
d. Transnational Threats
Ancaman ini tidak berasal dari issu keamanan
tradisonal seperti layaknya ketiga ancaman di atas. Ancaman ke empat ini
merupakan konflik yang berasal dari masalah lingkungan, ketidakadilan ekonomi,
politik, sosial, kesehatan dan juga isu-isu migrasi. Ancaman ini tidak
memerlukan penanganan secara militer. Namun jika tidak ditangani akan mengancam
kawasan secara keseluruhan, tidak hanya satu negara saja.
III. Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan bahwa
keamanan regional dapat terwujud jika ancaman bersama dapat dihilangkan. Oleh
karena itu, penting artinya untuk mengidentifikiasi ancaman yang memiliki
potensi merusak stabilitas kawasan. Teori-teori mengenai regionalisme memiliki
peran dalam memberikan kerangka sejarah mengapa sekumpulan negara menyatakan
dirinya sebagai satu kawasan. Dengan mengetahui latar belakang terbentuknya
kawasan tersebut, kita dapat mengidentifikasi ancaman atau threats yang dapat
mengganggu keamanan regional. Misalnya, sebuah kawasan yang terbentuk sebagai
upaya mempertahankan kawasan dari serangan musuh bersama, sebut saja kawasan
tersebut NATO. Jika interaksi di dalam NATO tersebut belum kuat, maka kawasan
akan melemah dengan sendirinya seiring hilangnya ancaman. Bandingkan dengan
ASEAN yang walaupun ancaman (komunis) sudah berakhir, namun kerjasama justru
dapat tercipta di bidang yang lain.
Meskipun demikian, ancaman atau
musuh bersama saja tidak cukup untuk menciptakan kerjasama demi terwujudnya
keamanan regional. Dari teori Institutionalis dan New Regionalism Theory, kita
mendapatkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar tercipta stabilitas
dan kerjasama kawasan. Diantaranya adalah adanya interaksi, persamaan
identitas, saling kepercayaan , dan sistem reward and punishment dalam
menjalankan kerjasama.
Beeson,M. Rethinking Regionalism: Europe and East
Asia in Comparative Historical Perspective. Journal of European Policy,
12.2005.
Buzan, Barry. People, States, and Fear: An Agenda
for International Security Studies in Post-Cold war era. London : Pinter.
1983.
Bull, H.The Anarchical Society : A Study of Order
in World Politics. Basingstoke : Macmillan. 1997.
Hettne,B. The New Regionalism : A Prologue. In
Hettne,B. (ed), The New Regionalism and the Future of Security Development, Vol.4.
London : Macmillan.2000.
———– Development, Security and World Order: A
Regionalist Approach, European Journal of development Research, 9. 1997.
———– and B. Soderbaun, F. (2002). The New
Regionalism Approach. Politea, 17. 1998.
———————————– Theorizing the Rise of Regionnes”.
London : Routledge. 2002
Keohane, R.O. After Hegemon: Cooperation and
Discord in the World Political Economy, Princeton: Princeton University
Press.1984
Komentar
Posting Komentar