Referensi: Terorism and It's Task Force Policy
Bahan Bacaan I
Causes of Terrorism: An expanded and Updated Review
of the Literature. Lia Brynjar, Norwagian Defense Research Establishment. 2002
Focus:
Laporan ini merupakan survei kritis
literatur akademis tentang penyebab terorisme, berfokus terutama pada teori-teori yang
berusaha menjelaskan mengapa beberapa masyarakat terkena terorisme daripada
yang lain, yaitu tingkat analisis
nasional dan masyarakat. Hal ini
juga mengkaji kerangka
teoritis untuk menjelaskan posisi terorisme
di pada
sistem dunia. Laporan ini
menggarisbawahi pentingnya memahami terorisme dalam konteks politik dan sosial. dengan mengidentifikasi
sosio-ekonomi, faktor rezim politik dan karakteristik sistem internasional.
Issued Discussed:
Pasca 11 September 2001, menjadi
penting bagi
peneliti berusaha untuk memahami kekuatan pendorong di balik terorisme; jika
tidak maka sulit untuk merancang langkah-langkah
penanggulangan
jangka panjang yang efektif dan seimbang.(Hal 7). Analisa
penyebab terorisme, dilihat dari dua level analisa, yaitu level individu dan
kelompok; level nasional dan kemasyarakatan. Pada bacaan ini disajikan argumen
dari ahli seperti Wilkinson dan Crenshaw guna menjelaskan terorisme dari
konteks sosial. Pada bab IV (Causes of
Terrorism on the International Stage) menjelaskan mengenai pengaruh
hegemoni dan bipolaritas pada tatanan politik dunia.. Perubahan dalam “kendali
hegemoni” pada ekonomi dunia dan kapasitas militer berpengaruh terhadap
terjadinya insiden terorisme transnasional (hal 58). Sobek dan Braithwaite
menganalisa data serangan teroris terhadap kepentingan AS periode 1968-1996
menemukan bahwa hegemoni AS yang diartikan sebagai pengaruh militer, ekonomi
dan diplomasi negara merupakan faktor penting dari peningkatan serangan
terhadap AS. Semakin kuat AS, semakin terbuka serangan terorisme terhadap
negara tersebut. (hal 59).
Key findings:
Laporan tersebut menunjukkan bahwa hegemoni, bipolaritas
dan dominasi dari satu negara terhadap sistem dunia, dapat memunculkan serangan
terorisme sebagai bentuk protes. Dominasi AS yang semakin meningkat membatasi
pilihan bagi aktor kritis untuk mengubah status quo melalui instrumen untuk
mendapat pengaruh, sehingga terorisme menjadi pilihan yang menarik.
Context:
Bahan bacaan ini relevan sebagai informasi pendukung
dalam menjelaskan kemunculan terorisme dan pengaruh hegemoni AS terhadap
peningkatan aksi terorisme, sehingga didapat pemahaman mengenai alasan perlunya
AS menciptakan kebijakan kontra terorisme dan membuat negara lain ikut serta
dalam kerangka War on Terror.
Bahan Bacaan II
The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Samuel P Hintington.1996. New York: Rokkefeller Center
Focus:
Buku ini disusun sebagai jawaban
atas pertanyaan mengapa dan bagaimana konflik di antara peradaban mendominasi
politik dunia(hal 13). Analisa yang dikemukakan oleh Huntington tidak hanya
mengungkap bagaimana konflik diantara peradaban menjadi ancaman terbesar bagi
perdamaian dunia, namun juga menawarkan bagaimana tata tertib internasional
yang dilandaskan pada peradaban menjadi usaha perlindungan terhadap peperangan.
Issues Discussed:
Pasca perang Dingin, peta politik
dunia menjadi berubah. Ledakan populasi pada negara muslim dan kebangkitan
ekonomi Asia Timur menjadi tantangan politik global. Perkembangan tersebut
mengusik dominasi Barat, mengalihkan isu nuklir, HAM dan demokrasi, ke arah konflik
peradaban. Gelombang populasi muslim memicu banyak peperangan kecil di
sepanjang Euroasia, kebangkitan Cina dapat mendorong perang dunia terhadap
peradaban. Pada bab II diutarakan bahwa perkembangan Islam dan Asia dituduh
menjadi penyebab berkurangnya pengaruh Barat terhadap dunia. Konsep budaya
universal yang ditawarkan oleh Barat, disadari menjadi potensi konflik utamanya
dengan negara-negara Muslim dan Cina. Untuk itu, negara-negara Barat perlu
melakukan penyesuaian untuk bertahan dan tetap dapat mentransfer ideologinya.
Hal ini bergantung pada komitmen Amerika untuk merumuskan kembali identitas
ke”Barat”an mereka, memperbarui dan menjaganya dalam menghadapi tantangan dari
masyarakat non-Barat.
Key Findings:
Akibat modernisasi, tata ulang politik
dunia bersinggungan dengan garis kebudayaan, menciptakan dua kubu di dalam
masyarakat yaitu mereka dengan kebudayaan yang sama dan mereka yang berbeda.
Tema utama dari buku ini adalah kebudayaan, yang secara luas diartikan sebagai
identitas dari suatu peradaban, mempertajam pola keterpaduan, disintegrasi dan
konflik pasca Perang Dingin. Bagi mereka yang sedang mencari identitas dan
merumuskan kembali etnisitasnya, tidak terkecuali suatu negara, perlu untuk
mengetahui siapa musuhnya dan potensi kebencian terbentuk dari ketidak
terpaduan dari peradaban-peradaban besar di dunia.
Contexts:
Buku ini tidak secara langsung
bermanfaat dalam penelitian ini, karena konsep yang ditawarkan lebih kepada
pendekatan budaya dan identitas. Namun analisa yang dilakukan oleh Huntington
dapat memberi pemahaman bagaimana Barat dan Amerika melihat kebangkitan muslim
sebagai ancaman, potensi konflik yang mungkin muncul serta usaha yang dilakukan
dalam beradaptasi dan menghadapi tantangan dari masyarakat non-Barat.
Bahan Bacaan III
How the Weak Win War: A Theory of
Asymmetric Conflict. Ivan Areguin.2005. New York: Cambridge Unversity Press
Focus:
Menggunakan data
statistic dan analisa sejarah mendalam terhadap peristiwa konflik yang terjadi
selama dua ratus tahun, Arreguin-Toft menunjukkan bahwa tipe rejim yang independen
dan teknologi persenjataan, serta interaksi dari pendekatan strategis yang
hampir mirip merupakan pilihan yang disukai aktor berkuasa. Pada intinya buku
ini membahas tentang power dan
bagaimana pemahaman yang umum tentangnya dapat menuntun pada kehancuran. Hubungan
diantara power dan konflik telah
menjadi akar dari prinsip teori realism internasional.
Issues discussed:
Arreguin-Toft berargumen bahwa meskipun kekuasaan
yang relatif adalah sebuah persoalan, namun interaksi diantara penggunaan strategi
oleh aktor adalah persoalan ketimbang
berapa banyak kekuatan yang mereka punya saat memulai perang. Pendekatan yang
diambil digunakan untuk memahami konflik asimetris bagaimana Amerika memenagkan
peperangan di Afganistan dalam beberapa bulan, sementara Uni Soviet akhirnya
kalah dalam perang yang menghabiskan waktu selama sepuluh tahun. Di dalam
sebuah peperangan asimetris, masing-masing mencari pengaruh yang berlimpah guna
merebut power.(hal 1) Semakin banyak power yang didapat, semakinbesar peluang suatu
negara memenangkan peperangan. Oleh karenanya power sangat berpengaruh terhadap
cara pandang suatu negara. Namun pada perang asimetris saat ini, mereka dengan
kekuatan yang besar justru kalah oleh negara yang dianggap lemah karena
kekuatan yang dimiliki tidak cukup menandingi. Berbagai kemungkinan muncul
untuk menjelaskan fenomena tersebut. (hal 4) Argumen yang muncul adalah bahwa
negara dengan sistem otoriter mempunyai kemampuan perang lebih baik dibanding
dengan demokarasi
Key Findings:
Teori Interaksi Strategis yang dikemukakan oleh
Arraguin-Toft tidak hanya berimplikasi pada semakin berkembangnya teori
hubungan internasional namun juga bagaimana pembuat kebijakan berhadapan dengan
peperangan sipil dan antar wilayah, sama halnya dengan terorisme. Kombinasi
dari analisis statistic dan terstruktur berfokus pada perbandingan kasus
sejarah yang mendukung interaksi strategis. Buku ini menegaskan bahwa interaksi
strategis sangat berkorelasi dengan hasil konflik asimetris. Hubungan ini
mendukung tesis bahwa pendekatan yang sama mendukung interkasi aktor yang kuat,
sedangkan sebaliknya pendekatan interkasi melemahkan aktor.
Context:
Buku ini relevan dalam menjelaskan mengapa setiap
negara menaruh perhatian yang besar terhadap terorisme. Negara-negara menyadari
potensi kekalahan dalam perang asimetris dengan para teroris. Oelh karenanya
negara akan beradaptasi dan mempelajari setiap celah kesalahan yang ada.
Pembahasan ini dapat masuk dalam bab mengenai terorisme maupun sebagai analisa
dalam memberi kemungkinan jawaban mengapa Amerika menggunakan pilihan soft
power dalam kerjasama kontra terorisme.
Bahan Bacaan IV
The causes of Terrorism. Martha Crenshaw.1981. New
York: Comparative Politics
Focus:
Buku ini menyajikan pendekatan dalam menganalisa
penyebab terorisme, dengan melakukan studi perbandingan atas beberapa kasus
terorisme yang berbeda dalam rangka membedakan pola umum yang disebabkan oleh
keunikan sejarah. Buku ini mencoba menjawab bagaimana kemunculan terorisme,
proses kerja terorisme dan dampak sosial dan politik dari kemunculannya.
Issues discussed:
Crenshaw memulai pembahasannya dengan pendekatan
bahwa terorisme adalah bentuk dari hasil perilaku politik yang merupakan
pilihan rasional dari aktornya yaitu organisasi teroris. Terorisme digunakan sebagai
alat dalam melawan pemerintah. Menurutnya modernisasi menghasilkan ekses
negative berupa terorisme, selain itu juga dikarenakan perilaku sosial dan tradisi
yang mendukung penggunaan kekerasan di dalam melawan pemerintah. Terdapat
beberap kondisi yang secara langsung memunculkan terorisme yaitu perasaan
dikucilkan oleh kaum mayoritas, tidak adanya kesempatan dalam partisipasi
politik, pertemuan diantara ketidakpuasan elit dan masyarakat yang pasif, dan
kondisi yang diciptakan oleh penguasa yang memicu pecahnya terorisme.
Pertanyaan mengenai arah perilaku yang menyebabkan korban dan pembenaran
tindakan terorisme perlu untuk dianalisa mengingat perbedaan bentuk terorisme
melibatkan berbagai pilihan dan level dalam memilih korban. Banyak individu
yang potensial menjadi teroris namun hanya sedikit yang berkomitmen. Terorisme
adalah hasil dari pertumbuhan komitmen dan oposisi secara bertahap, sebuah
perkembangan kelompok rekasi dari aksi maupun respon pemerintah.
Key Findings:
Terorisme merupakan hasil dari ketidakpuasan kaum
elit, merupakan strategi kaum minoritas, tindakannya dilakukan mengatasnamakan
masyarakat yang lebih besar tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu (hal 384).
Terorisme secara kolektif dipandang sebagai cara-cara logis untuk mencapai tujuan
akhir. Karena sumber-sumber terorisme
banyak ragamnya, terdapat kerawanan dalam masyarakat atau politik yang
memungkinkan peluang terorisme. Reaksi pemerintah yang inkonsisten, bimbang
antara toleransi dan represi, sangat rawan untuk mendorong terorisme.
Kemudahan, kesederhanaan dan kecepatan tindakan yang ditawarkan oleh model
terorisme memperkuat daya tarik kelompok untuk segera bertindak.
Context:
Literatur ini relevan dalam memberikan gambaran
mengenai bagaimana terorisme muncul dan berkembang di masyarakat. Bahan tersebut
akan melengkapi deskripsi mengenai konsep terrorisme, analisa proses kerja
sehingga
Bahan Bacaan V
Origins of
Terrorism: Psychology, Ideologies, Theologies, State of Minds. Walter Reich.1990. New York:
Cambridge University Press
Focus:
Buku ini berfokus
pada psikologi terorisme, meskipun sebagian pembahasannya dieksplorasi
berdasarkan cara pandang psikologi umum. Buku tersebut secara spesifik membahas
dan menjelaskan hakikat dan asal mula teroris terkait dengan keyakinan, tindakan-tindakan,
sasaran, cara pandang dan sikap mental. Studi ini memberi pandangan dari sudut
lain pada fenomena terorisme. Reich menguraikan salah satu hal dengan
intelektualitas psikologi dan memberikan tantangan politis dalam kehidupan.
Issues Discussed:
Perkembangan
teknologi modern telah memberikan kekuasaan akses yang luar biasa pada senjata
pemusnah massal, pada titik inilah kajian mengena terorisme dari segi
psikologis menjadi hal baru yang penting. Faktor ekonomi, sosial dan ideology
dapat menjelaskan perilaku kelompok besar, namun seringkali tidak dapat
menjelskan perilaku yang dilakukan oleh kelompok kecil yang hanya terdiri dari
beberapa orang saja. Reich berargumen bahwa tindakan dan motivasi teroris murni
karena pilihan strategis, sehingga analisis strategi dan analisis psikologi
harus digunakan dalam upaya memahami
sebagian besar kejadian dan bentuk tindakan teroris. Islam begitu lekat dengan
terorisme karena gerakan-gerakan tersebut berawal dari Timur tengah, termasuk
terorisme yang terkait dengan rezim atau kelompok yang mengakui kesetiaan pada
kepentingan Islam. Buku ini juga mendalami mekanisme psikologis yang mendorong
seseorang utuk membunuh ataupun melakukan aksi bunuh diri. Psikologi tentang
respon pemerintah terhadap teroris juga fenomena menarik untuk dipahami, jika
salah, alihalih meringankan insiden terorisme, respon pemerintah justru dapat
memperbesar dan menigkatkan ketegangan diantara kekuatan besar. Seluruh bahasan
disajikan untuk dapat memahami fenomena terorisme dan merangsang riset-riset
masa depan dalam bidang terorisme yang mungkin dilakukan.
Key Findings:
Terorisme adalah
fenomena yang rumit dan beragam, ditentukan oleh banyak hal yang tidak bisa
didefinisikan secara sederhana, yang mengendurkan usaha-usaha yang tidak bersungguh-sungguh,
memaksa semua penelitian terhadap teka-teki moral dengan kompleksitas yang
majemuk, menantang secara kolektif untuk berusaha mengontrol dengan usaha
intelektual untuk memahaminya. Terorisme adalah contoh dari produk interaksi
manusia yang layak dipelajari dan dipahami sebagai konflik, perjuangan, sejarah
dan realita.
Context:
Buku ini relevan
dalam memberikan penjelasan mengenai definisi terorisme, faktor penyebab dan
hal-hal yang mempengaruhi perkembangannya sehingga melalui gambaran tersebut
dapat dirumuskan bagaimana respon pemerintah dalam memandang dan menghadapi
terorisme. Pembahasan ini akan dijadikan dalam satu bab permulaan sebelum
menganalisa kebijakan keamanan dan kerjasama keamanan suatau negara.
Bahan Bacaan VI
US-Indonesia Diplomatic and Politics
Cooperation Handbook. 2008. USA International Bussiness Publication
Focus:
Buku ini berfokus
pada hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Indonesia dalam bidang
ekonomi, energy, lingkungan hidup, sumber daya mineral dan masalah keamanan
teraktual yaitu narkotika dan terorisme. Buku ini juga menyajikan cara pandang
Amerika terhadap Indonesia, kekuatan dan kelemahan serta batasan-batasan yang
ada dalam melaksanakan hubungan diplomatik.
Issues
discussed:
Buku ini
menjelaskan tentang profil strategis dari negara Indonesia berdasarkan sudut
pandang Amerika Serikat, menyangkut aset dan sumber daya yang dimiliki sebagai
bahan revisi kebijakan hubungan diplomatic Amerika terhadap Indonesia. Untuk
lebih memahami karakter dan menggali informasi lebih dalam, maka disajikan pula
data-data mengenai informasi tentang Indonesia serta prinsip hubungan
internasionalnya Kondisi negara Indonesia yang tidak stabil, sikap curiga dan
perilaku yang ditunjukkan berpengaruh terhadap obyektivitas dan kepentingan
Amerika, hal ini akibat pandangan miring dunia internasional terhadap
radikalisme Islam yang berkembang melalui segala bidang. Hubungan Indonesia-Amerika
Serikat telah terjalin sejak tahun 1960-an dimana Amerika berpartisipasi aktif
dalam menyebarkan kemerdekaan Indonesia. Namun hubungan ini menegang pasca 11
September 2001. Hal ini karena Indonesia, yang dicurigai sebagai lapis kedua
sarang terorisme, tidak tegas dalam mendukung kebijakan War on Terror di Asia
Tenggara. Bahkan pada masa tersebut, Indonesia menganggap bahwa persolan
terorisme adalah urusan internal suatu negara (hal 34). Serangan hotel JW
Marriot tanggal 5 September 2003 menjadi titik tolak perubahan cara pandang
Indonesia terhadap terorisme. Sejak saat itu Indonesia terus menumbuhkan
kesadaran mengenai penanggulangan terorisme dan meningkatkan kerjasama dengan
AS.
Key Findings:
Hubungan bilateral
Indonesia dan Amerika telah terjalin lama sejak era 1960-an, dengan dukungan
Amerika dalam mempublikasikan kemerdekaan. Fluktuasi hubungan diantara kedua
negara sering terjadi, salah satunya pasca 9/11 dimana Amerika mengharapkan
dukungan Indonesia terhadap kebijakan kontra terorisme di Asia Tenggara. Pada
akhirnya Indonesia dan AS menunjukkan hubungan eratnya dalam usaha penanggulangan
terorisme di Indonesia maupun Asia Tenggara. Hal ini membuat Amerika merumuskan
kembali pendekatan yang dilakukan dalam melaksanakan hubungan diplomatiknya.
Kondisi ini terkait kalkulasi strategis pemerintah AS terhadap posisi Indonesia
baik secar bilateral maupun di mata dunia.
Context:
Buku ini relevan
dalam menggambarkan hubungan Amerika Seriakt dan Indonesia selama ini serta
proyeksi hubungan keduanya pada masa mendatang. Hal ini berguna untuk
menjelaskan perspektif Amerika dan pilihan kebijakan yang dibuat dalam rangka
kerjasamanya dengan negara laian, khususnya Indonesia.
Bahan Bacaan VII
Inside Terrorism: Revised and Expanded
Edition. Bruce
Hoffman. New York Columbia University Press
Focus:
Buku ini berfokus
tentang perkembangan terorisme, Hoffman membuat klasifikasi dalam menggambarkan
pesatnya pertumbuhan terorisme. Pada akhir pembahasan Hoffman memproyeksikan
arah perkembangan terorisme kedepan dengan menyajikan perbandingan terhadap
terorisme kini sehingga dapat dirumuskan usaha penanggulangan yang lebih baik
pada masa mendatang.
Issues
discussed:
Sifat dan karakteristik
terorisme berubah, dengan musuh baru yang dihadapi memiliki motivasi dan
rasionalitas yang berbeda sehingga memunculkan tantangan bagi teroris untuk
mengubah keinginannya. Dunia sedang menghadapi tantangan baru, sebuah era
dimana kekerasan teroris menjadi perhatian utama. Masa awal kemunculan
terorisme telah berakhir, berganti dengan generasi baru yang lebih kejam dan
merusak. Terorisme kini juga mementingkan publisitas dibanding hanya membunuh
dan memperbanyak kekerasan yang dilakukan dengan dalih agama. Sejak saat itu,
terdapat hubungan yang erat antara terorisme dengan motivasi keagamaan dengan pembunuhan
tingkat tinggi yang ditunjukkan pada aksi bunuh diri seperti negara Israel,
Indonesia dan Rusia. Perubahan karakter dan motivasi ini menyebabkan Hoffman
merevisi ulang dan memperbarui pendefinisian dan karakteristik terorisme.
Key Findings:
Terorisme kini
berubah dari sekedar kekerasan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu,
dengan menambahkan unsur motivasi keagamaan dan metode serangan yang lebih
mematikan. Selain itu, publikasi juga menjadi perhatian teroris guna mencari
simpati dan support, mengetahui respon pemerintah serta menyampaikan pesan
perubahan yang diinginkan. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan wawasan
mengenai terorisme yang ada pada masa kini, untuk dapat dijadikan bahan dalam
kebijakan penanggulangannya.
Context:
Buku ini relevan
dalam memberikan gambaran mengenai perkembangan terorisme pada masa kini serta
proyeksi taktik dan serangan pada masa yang akan datang. Bahasan ini akan
digunakan sebagai bahan pendukung pada bab mengenai terorisme, kemudian sebagai
bahan analisa dalam mengukur ketepatsan respon pemerintah terhadap terorisme.
Bahan Bacaan VIII
Terrorism in the Future of US Foreign Policy. Raphael F. Pearl. 2001. US
Congessional Research Service
Focus:
Laporan ini
berfokus pada usaha Amerika Serikat merespon serangan terorisme, khususnya
pasca 9/11, kerangka kebijakan dan sarana yang digunakan, langkah-langkah yang
dilaksanakan melalui organisasi yang dibentuk serta daftar negara yang
dicurigai mendukung terorisme.
Issues discussed:
Terorisme
internasional telah lama dikenal sebagai ancaman terhadap keamanan domestik
maupun internasional. Peristiwa serangan terhadap 3 tempat sekaligus pada
tanggal 11 September, member senmangat kepada negara-negaa untuk kembali
berfokus pada pemecahan masalah terorisme. Pilihan kebijakan yang dapat
dilakukan dapat pada diplomasi, kerjasama internasional maupun melalui
inisiatif konvensi-konvensi. Aksi terorisme baik di dalam negeri maupun yang
berkaitan dengan obyek vital di luar negeri menjadi perhatian utama kebijakan
Amerika Serikat. Oleh karenanya Amerika Serikat menyusun kebijakan dan
membentuk organisasi-organisasi pelaksana dalam berhadapan dengan negara
pendukung ataupun yang bersekongkol dengan terorisme maupun yang dilakukan oleh
kelompok independen. Proyeksi para analis mengenai kebutuhan review secara
komprehensif mengenai kebijakan terorisme, struktur organisasi dan kesiapan
untuk menghadapi terorisme, telah menjadi tendensi kebutuhan utama.
Key Findings:
Para analis di
Amerika Serikat telah lama mampreyeksikan akan kebutuhan dan kesiapan
pemerintah dalam menghadapi aksi terorisme yang menjadikan Amerika Serikat
sebagai targetnya. Tidak dapat dipungkiri, hal ini karena Amerika adalah simbol
kekuasaan dunia dan akibat kebijakan luar negerinya yang selalu mengundang
kritik. Pasca serangan World Trade Center,
Pentagon dan Pennsylvania, Aerikia Serikat benar-benar menaruh perhatian
terhadap ancaman serangan terorisme baik di dalam negeri maupun kerawanan
terrhadap obyek-obyek vitalnya di luar negeri. Amerika Serikat menyusun
kebijakan- kebijakan dan menyediakan perangkat organisasi yang dapat digunakan
dalam menghadapi negara yang mendukung terorisme, negara yang bersekongkol
maupun oleh kelompok independen, serta memetakan negara-negara yang dicurigai
menjadi sarang teroris.
Context:
Bacaan ini relevan
dalam memperkaya materi pada latar belakang permasalahan dengan sudut pandang
pada Amerika, sekaligus dapat dijadikan bahan dalam melakukan analisa menngenai
respon kebijakan pemerintah Ameriak Serikat dalam berhadapan dengan terorisme.
Bahan Bacaan IX
National Counter Terrorism Strategies:
Legal, Institutional, and Public Policies Dimension in the US, UK, France,
Turkey and Russia.
Robert W. Orttung & Andrey Makaychev. 2006. USA. IOS Press
Focus:
Buku ini merupakan
kelanjutan dari workshop Penelitan Lanjutan NATO mengenai strategi nasional
kontraterorisme negara-negara yang tergabung dalam NATO. Ide utamanya adalah
untuk mendiskusikan dan membandingkan bermacam reaksi dalam menghadapi
tantangan terorisme skala besar. Focus dari terma yang ada pada buku ini mencakup
tiga hal: kejahatan terorisme, kebutuhan koordinasi diantara negara-negara dan
kebimbangan diantara menjamin kebebasan sosial masyarakat atau keamanan
nasional.
Issuess
discussed:
Asumsi awal yang
dikemukakan adalah negara-negara anggota NATO yang terkena dampak langsung
terorisme, menghasilkan bermacam respon. Analisa yang dikembangkan adalah
mengidentifikasi perbedaan diantaranya untuk dapat dijadikan masukan bagi
negara masing-masing dalam menyempurnakan kebijakan kontra terorismenya. Pembahasan
dalam buku ini dimulai dengan mengidentifikasi asal usul dari terorisme
kontemporer, kemudian memetakan trend kontra terorisme gobal, kemudian
melakukan identifikasi kebijakan kontra terorisme dari Inggris, Turki, Rusia,
Perancis dan Amerika. Meskipun Amerika adalah satu-satunya negara superpower,
namun memiliki pengalaman yang sedikit dalam menghadapi persoalan terorisme.
Oleh karenanya studi komporasi ini akan menguntungkan Ameriak dalam menyusun
hinga merevisi kebijakan kontra terorisem yang dimiliki. Analisa yang ada
terdiri dari bagaimana mendefinisikan ancamna terorisme kontemporer,
mempelajari tren terorisme dan kontra terorisme global dan diakhiri dengan
menemukan keyword dari masing-masing
kebijakan kontra terorisme negara-negara untuk dapat dipadukan atau dijadikan
bahan revisi kebijakan masing-masing.
Key Findings:
Perbandingan dan
analisa kebijakan kontraterorisme dari negara Inggris, Turkey, Rusia, Perancis
dan Amerika menuntun kesimpulan pada tiga hal: menemukan central gravity dari hubungan diantara organisasi kejahatan terorisme
di dalam perlawanan terorisme, kebutuhan melakukan koordinasi antar pemerintah
dalm upaya menghadapi terorisme dan pilihan diantara keamanan yang besar dan
menjamin kebebasan individu dalam kehidupan social.
Context:
Bahan ini relevan
digunakan sebagai analisa dalam melihat bagaimana kebijakan kontra terorisme
Amerika dibentuk, faktor apa yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan
kerjasama keamanan serta bagaimana organisasi internsional berpengaruh dalam
membentuk karakter kontra terorisme pada negara-negara anggotanya.
Bahan Bacaan X
Realism, Game Theory and Cooperation. Robert Jervis. 1988. New York:
Cambridge University Press Volume 40 No.3
Focus:
Buku ini dibangun dengan
focus pada persinggungan atau hubungan diantara realism dan game theory, pada
strategi yang secara rasional dapat digunakan untuk memenuhi kepentingannya.
Studi ini menggunakan model game theory yang sederhana untuk memberikan
pengetahuan dan kekakuan hubungan sebagai formalitas.
Issues
discussed:
Sejak jaman
Tucydides, para peneliti menekankan bahwa politik internasional digerakkan oleh
konteks anakhir diaman politik tersebut mengambil tempat. Security dilemma sebagai akibat dari kebutuhan suatu negara mencari
keamanan dirinya, telah mengancam keamanan negara lain. Dalam keadaan tersebut,
maka dijelaskan faktor yang menyebabkan terjadinya kerjasama diantara
negara-negara. Realisme dan game theory saling melengkapi, keduanya structural,
strategis dan rasional, namun mempunyai kelemahan masing-masing. Mendarakan
diri pada konsep Prisoner Dilemma, pertanyaan yang coba dijawab adalah
bagaimana actor yang egois dengan kepentingannya sendiri dapat bekerjasama di
dalam kondisi anarkhi dan pertentangan kepentingan. Ketika satu ide dipandang
baik dan dirasakan bersama, maka tiap actor akan mengesampingkan permasalahan
kepentingan mereka dan keterbatasan yang dimiliki, ide terebut diantaranya
adalah masalah keamanan dan ekonomi politis. Kerangka kerja anarkhi mendorng
para peneliti untuk berkonsentrasi pada
pertanyaan yang tidak sentral.
Key Findings:
Konsep dasar
seperti kerjasama, penyerangan dan kekuatan mempengaruhi perilaku. Kerangka
kerja suatu negara biasanya digerakkan oleh ketakutan dan godaan untuk mencari power. Konsep anarkhi dan dilemma
keamanan mendorong analis untuk melihat bahwa system internasional tidak hanya
membiarkan konflik. Tetapi dapat membuatnya. Actor negara mungkin menolak untuk
bekerjasama, tetapi tidak seluruhnya, karena negara mencari keuntungan positif
dari eksploitasi, selain karena negara-negara takut inisiatif kerjasama mereka
akan diselewengkan. Untuk tujuan analisa dan rekomendasi, kerangka kerjasama
menghasilkan proporsi yang signifikan pada kondisi dan strategi kemungkinan
perilaku kerjasama dan dampaknya.
Context:
Bahan ini relevan
digunakan sebagai kerangka analisa untuk melihat kebutuhan kerjasama dan
perilaku yang ditunjukkan oleh masing-masing negara, serta menjesakan mengapa
pilihan kerjasama tetap dilakukan meskipun kemungkinan penyelewengan kerjasama
sangat besar.
Bahan Bacaan XI
Region and Power:
The Structure of International Security. Barry Buzan and Ole Waever. 2003. New
York: Cambridge University Press.
Focus:
Buku ini berfokus
pada pembentukan pola keamanan regional pasca Perang Dingin, dengan tetap
mempelajari sejarah keamanan regional masing-masing wilayah. Dengan mengkaitkan
dinamika keamanan regional dan debat terkini mengenai struktur kekuatan global,
buku ini mengungkap kekhususan intepretasi keamanan internasional pasca Perang
Dingin. Kerangka analisa yang dibangun menggambarkan perbedaan mendasar dari
dinakina keamanan pada masing-masing belahan dunia.
Issues
discussed:
Buku ini
mengembangkan ide bahwa sejak dekolonisasi, pola keamanan regional menjadi
menonjol di dunia politik internasional. Buku ini mengkombinasikan teori
operasional dari keamanan regional dengan aplikasi empiris melalui keseluruhan
system internasional. Buku ini merupakan jawaban dari tantangan
oeprasionalisasi teori Buzan mengenai kompleksitas keamanan regional dengan
menunjukkan otonomi dan hal-hal yang menjonjol dari politik internasional.
Tanpa campur tangan dari rivalitas negara super power di seluruh kawasan,
kekuatan lokal mempunyai cukup ruang untuk bermanuver. Berakhirnya Perang
DIngin, negara superpower tidak mempunyai minat untuk mengintervensi kerjasama
keamanan di luar kawasannya. Namun serangan terorisme 9/11 memicu kembali
intervensi super power terhadap keamanan di luar wilayahnya, dengan tujuan yang
lebih spesifik. Otonomi keamanan regional secara relatif membangun pola hubngan
keamanan internasional yang secara radikal berbeda dengan struktur bipolar yang
ditunjukkan pada perang Dingin.
Key Findings:
Regional Security
Complex Theory. (RSCT) memungkinkan untuk memahami struktur kerjasama keamanan
yang baru dan melakukan evaluasi balance
of power secara relative serta hubungan mutual negara-negara diantara
regionalitas dan globalisasi. RSCT berbeda dengan pengaruh system level dari global power yang kapasitasnya
memungkinkan pengaruh diluar wilayahnya. Karena setiap tantangan dapat bergerak
lebih mudah pada wilayah yang berdekatan, maka ketergantungan keamanan biasanya
dibentuk dengan pola kelompok regional, hal ini menghasilkan kompleksitas
keamanan. Proses dari sekuritisasi dan
level ketergantungan keamanan ditentukan oleh kompleksitas actor di dalamnya.
Context:
Buku ini relevan
dalam mendukung analisa mengenai konsep security dengan melihat teori dan
sejarah dari struktur keamanan internasional terdahulu, membedakan level
keamanan regional dengan internasional dan kompleksitas teori keamanan
regional. Hal ini akan memperjelas perbedaan kepentingan di dalam konsep
keamanan dan kerjasama keamanan.
Bahan Bacaan XII
Aftar Bali: The
Threat of Terrorism in South East Asia. Kumar Ramakhrisna & See Seng
Tan.2003. Singapore: Institute of Defense and Strategic Studies
Focus:
Buku ini berfokus
pada faktor-faktor penyebab terjadinya terorisme dilihat dari perspektif agama,
ideology, media, radikalisme islam dan perbedaan faktor penanganan terorisme
dari segi strategi keamanan antara Indonesia dan Amerika.
Issues
discussed:
Dalam salah satu
bab pada buku ini membahas terorisme yang terjadi di Amerika dan Indonesia
serta perbedaan diantara kedua negara tersebut dalam mengatasinya. Perdebatan
mengenai keamanan AS terhadap terorisme internasional dibagi ke dalam dua
pandangan yang saling berhubungan. Pertama adalah campur tangan AS terhadap
konstruksi ideologi bahwa Islam adalah berbahaya, dan kedua perdebatan mengenai
identitas politik dari Amerika Serikat. Sementara itu pada bab lain, Indonesia
sebagai negara mayoritas Islam, masuk di dalam kecurigaan AS sebagi negara
penyokong terorisme. Islam di Indonesia menjadi obyek perhatian mengingat
kerawanannya terhadap aksi radikal yang erat dengan terorisme. Demokrasi
dipandang sebagai jawaban atas kerawanan radikalisme Islam maupun dalam upaya
melawan terorisme. Selain itu dalam essay lain, dijelaskan mengenai dilemma
bagi Indonesia dalam partisipasinya terhadap War on Terror (hal 357) tanpa menjadi National Security State yang
mengekang kebebasan publik. Diungkapkan pula bagaimana strategi soft power Amerika Serikat dan
bantuannya kepada negara lain dalam menghadapi terorisme.
Key Findings:
Serangan Amerika
terhadap Irak memberikan implikasi bagi Indonesia sebagai negara dengan
mayoritas muslim. Terlepas dari fakta bahwa para demonstran mengkritik
mebijakan perang AS dengan damai, namun membangun sentiment anti Amerika. Dua
serangan yang mentargetkan Amerika, bom Bali dan bom Marriot, bukan tidak
mungkin kelompok radikal Islam mendapat manfaat dari sentiment anti Amerika
tersebut. Oleh karenanya sangat penting untuk meghadapi tantangan baru dengan
pendekatan yang lebih komprehensif. Strategi keamanan konvensional dipandang
tidak cukup sebagai jawaban atas gerakan terorisme yang tidak konvensional. Ini
berarti selain meningkatkan kemampuan fisik melalui koordinasi intelijen dan
kerjasama keamanan global, tetapi juga meningkatkan kemampuan sosial untuk
mendapat dukungan dari publik
Context:
Buku ini relevan
memberikan data tambahan mengenai situasi penanganan terorisme, baik Amerika,
Indonesia, maupu kerjasama diantara
keduanya. Selain itu juga memperkaya analisa dalam menemukan jawaba mengapa
Amerika menekankan pendekatan soft power bagi kontraterorisme di Indonesia.
Bahan XIII
Democratic Responses to Terrorism. Leonard Weinberg. 2008. New
York: Routledge
Focus:
Buku ini membicarakan
tentang respon negara demokratis terhadap terorisme, panduan untuk
mengimplementasikan demokrasi pada dunia internasional, bagaimana memperkuat
masyarakat sipil, dan pengaruh Islam terhadap demokrasi.
Issues
discussed:
Dalam buku ini
dikatakan bahwa dalam mengembangkan masyarakat sipil sebagai bentuk dari sebuah
kontra terror sangat penting melibatkan LSM atau NGOs dalam membentuk
perspektif masyarakat mengenai terorisme itu sendiri. Hal pertama yang harus
dilakukan oleh pemerintah adalah penegakan hukum, agar masyarakat sipil merasa
aman dan terlindungi. Pelaksanaan hukum dimulai dari perspektif kesamaan dalam
hukum untuk masyarakat sipil. Dikatakan pula bahwa demokrasi adalah salah satu
metode untuk menentang bernegosiasi dengan terorisme. Karena demokrasi
menentang adanya kekerasan dan terorisme tidak diperkenankan untuk
menggunakannya sebagai alat kekuasaan.
Key Findings:
Buku ini
menawarkan pendekatan menganai bagaiman menghadapi tantangan terorisme. Bahwa
tantangan terorisme adalah nyata, namun perlu dihadapi dengan penghormatan atas
hak asasi manusia dan penegakan hukum.
Selain itu, masyarakat sipil diharapkan mengahadapi terorisme dengan
semangat seperti prajurit militer, bahwa mereka harus saling melindungi satu
sama lain,dan mempunyai kesadaran untuk mendukung penegakan hukum dan
peningkatan demokrasi, anti kekerasan.
Context:
Buku ini relevan
digunakan sebagai bahan analisa pilihan kebijakan kerjasama Amerika yang
cenderung soft power ketika berhadapan dengan negara demokrasi lainnya.
Karakteristik penanganan terorisme yang demokratis juga akan dipelajari untuk
mengetahui apakah pola kerjasama ataupun kebijakan kontra terorisme
masing-masing negara sudah cukup demokratis.
Buku XIV
Terrorism and US Foreign Policy. Paul R Pillar. 2001.
Washington: The Brooking Institute
Focus:
Buku ini berfokus
pada cara pandang Amerika Serikat terhadap terorisme dan penanganannya, dengan
pokok bahasan dimensi terorisme, mengapa terorisme menjadi persoalan dan elemen
kebijakan kontra terorisme Amerika Serikat.
Issues
Discussed:
Peristiwa pembajakan
pesawat untuk kemudian diledakkan menuju World Trade Center, dan beberapa kejadian
lainnya pada September 2001, mengalihkan perhatian Amerika terhadap kejadian
terorisme di dalam negara pada masa sebelumnya. Serangan ini merupakan
peristiwa terbesar dalam era modernitas terorisme internasional dan menyebabkan
dampak yang sangat besar. Peristiwa 9/11 memberi dampak yang luar biasa,
membuat Amerika Serikat mengkoreksi kebijakan keamanan negara dan bahkan
kebijakan diplomasinya, dengan prioritas dan intensitas pada terorisme. Hal ini
menjadikan diskusi dan analisa mengenai kebijakan kelautan dan menciptakan
sebuah era baru dimana Amerika harus menciptakan perubahan radikal terhadap
tantangan keamanan yang baru. Analisa ini mencoba untuk mengungkap sifat dasar
dan nilai yang harus dibayar ketika berhadapan dengan terorisme internasional,
elemen dalam menanggulanginya, kekuatan dan kelemahan pada tiap elemen
tersebut, peran negara dan kelompok, pentingnya pemahaman publik dan support
mereka serta bagaimana kontra terorisme dan diplomasi luar negeri dapat saling berhubungan
ataupun berbenturan.
Key Findings:
Serangan 9/11
menunjukkan bahwa trend dan pola terorisme internasional telah ada sejak sepuluh
tahun terakhir. Keberanian dan dampak luar biasa yang ditimbulkan dari serangan
tersebut membuat ancaman tersebut seakan-akan terlihat baru. Orang luar akan
melihat bahwa negara yang menyokong terorisme semakin meningkat. Hal ini bukan
terlihat dari serangan 9/11 itu sendiri, namun juga dari tujuan pembuatan
kebijakannya, yang melibatkan peran negara dan kelompok serta pentingnya
pemahaman public dan dukungan mereka terhadap perubahan radikal yang dilakukan
pemerintah Amerika Serikat.
Context:
Buku ini relevan
dalam memahami bagaimana kebijakan kontra terorisme diciptakan dan kebijakan
diplomasi dijalankan, dalam konteks pemberantasan terorisme, diharapkan dapat
menjawab perilaku atau pilihan kebijakan kontra terorisme yang dijalankan.
Buku XV
Reaserch of Terrorism, Andrwe Silke, 2005. Frankin and
Franciss e-Library.
Focus:
Buku ini membahas
tentang metode penelitian kontra teroris dan perkembangan masa depan penelitian
terorisme.
Issued Discussed
Dalam buku 8ini diungkap tentang
proses penelitian terorisme yang menuai perdebatan antara para penelitinya
mengenai metoda dan pembelajaran yang dipakai. Penelitian terorisme membutuhkan
waktu yang panjang bahkan tahunan untuk mendapatkan hasil yang seksama
mengenaifaktor penyebab terorisme itu sendiri yang berhubungan dengan sejarah
kelompok, budaya,dan tradisi yang
berhubungan dengan metoda kotra teroris modern. Hal ini bukan waktu yang
singkat untuk dilakukan. Pendekatan multi disiplin diperlukanuntuk pemecahan
masalah seperti memanfaatkan sejarah, anthropology, sosiologi, psikologi dan
ilmu politik untuk membantu berfikir sistemik dan menarik empati dari
pemerintah menjawab persoalan terorisme yang menerut mereka susah untuk dicapai.
Pengeksploitasian sumber referensi penelitian mutlak membantu dalam menemukan
pemecahan masalah. Sumber referensi yang bisa didapat dari pelaku terorisme
adalah sumber referensi yang sangat mempunyai nilai tinggi dalam lingkaran
penelitian ini, karena sumber ini adalah sumber asli yang jarang didapatkan dan
mempunyai nilai operasional yang sangat menarik bagi instansi pemerintah.
Sebaliknya referensi sumber terbuka yang dapat diakses seperti sejarah,
analisis politik dan teks-teks agama berfungsi sebagai dasar penelitian. Hal
ini berlaku khususnya untuk penelitian terorisme Islam dimana menggunakan
teks-teks agama islam sebagai dasar penelitian.
Key Finding
Selain membutuhkan waktu yang
relative lama, penelitian kontra terorjuga membutuhkan multi disiplin ilmu agar
hasil penelitian tidak saja menemukan pemecahan masalah namun juga mendapat
perhatian dan dukungan dari pemerintah. Ada dua sumber referensi dalam
penelitian ini yaitu sumber asli dan sumber terbuka. Sumber asli terkait
langsung dengan actor sedangkan sumber terbuka terkait dengan dasar teori
penelitian.
Context
Buku ini relevan digunakan
sebagai panduan metoda penelitian dalam penyusunan tesis ini.
Referensi lain:
·
Adrianus Harsawaskita & Evan A. Laksmana. 2007. Rethinking Terrorism
in Indonesia: Lessons From the 2002 Bali Bombing. Spanyol: UNISCI Discussion
Papers No.15
·
Ann E.
Robertson. 2007 Terrorism and global security.
New York: Infobase Publishing
- Amitav
Acharya, See Seng Tan. 2004. Asia-Pacific security cooperation:
national interests and regional order. Singapore: Nanyang Technological
University
· Benjamin Netanyahu, 2001. Fighting
Terrorism: How Democracies Can Defeat the International Terrorist Network. NY:
Farrar, Straus and Giroux
·
Bruce Vaughn. 2009. Terrorism in South East Asia. Congressional Research
Service
·
Bruce Vaughn. 2009. Indonesia: Domestic politics, Strategic Dynamics,
and American Interest. Congressional Research Service
·
Daniel Benjamin. 2005. America in the World in the Age of Terror: A New
Landscape in International Relations. Washington: Center for Strategic and
International Studies
·
Marc Sageman,. 2004. Understanding Terror Networks (Philadelphia:
University of Pennsylvania
·
Martha Crenshaw, 2001. ‘Why
America? The Globalization of Civil War’, Current History 100 (650)
·
Stephen Sherlock. 2002. Bali Bombing and what it means to Indonesia..
Australia, Department of the Parliamentary Library. Current Issues Brief No. 4
2002–03
·
Timo Kivimäki. 2003. US-Indonesian
hegemonic bargaining: strength of weakness. England: Ashgate Publishing
·
TV Paul. State, Security Function and The New Global Force. Paper
presented at the REGIS sponsored Conference on “What States Can do Now”, McGill
University, Montreal, November 3-4,2000
·
Walter Reich (ed.) 1990 “Origins
of Terrorism, Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind” (Washington,
D.C.: Woodrow Wilson Center Press
·
Wyn Rees.
2006. TRansatlantics-Counter Terrorism
Cooperation: The new imperative. New York: Routledge
Yonah Alexander.
2006. Counterterrorism strategies: successes and failures of
six nations. US: Potomac Book
Komentar
Posting Komentar