Ontologi Terorisme
Situasi
dan konstelasi hubungan antar negara telah mengalami perubahan drastis setelah
terjadinya serangan terorisme menara kembar World Trade Center di New York,
Gedung Pentagon dan percobaan serangan pada Gedung Putih pada 11 September 2001
hingga ledakan di Kuta dan Legian pada 12 Oktober 2002. Semenjak itu
bermunculan berbagai studi tentang terorisme dan asumsi dari masing-masing
pakar guna menjelaskan fenomena tersebut dan cara mengatasinya. Yang mungkin
perlu dicatat adalah bahwa kenyataan di negera-negara berkembang seperti
Indonesia, upaya penanggulangan terorisme tidak sepenuhnya mendapat sambutan
positif dari masyarakat. Timbul kecurigaan pada pemerintah, khususnya terhadap
aparat keamanan, yang dinilai masih mempunyai keinginan untuk kembali pada
sistem pengamanan di masa-masa sebelumnya dimana segala cara dapat digunakan
untuk mempertahankan kekuasaan
pemerintah. Kekhawatiran yang berlebihan inilah yang membuat kinerja
penanggulangan terorisme
kurang optimal.
Karenanya
diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai apa itu terorisme, bagaimana sifat
dan karakteristiknya, serta faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas teroris,
sehingga dapat muncul hipotesa yang konstruktif sebagai dasar bagi upaya
penanggulangan terorisme, salah satunya artikel New Trends in Terrorism Studies: Strengths and Weakness yang
ditulis oleh Joshua Sinai sebagai bahan pelengkap buku Magnus Ranstorp[1]. Artikel
yang ditulis oleh Joshua Sinai dimaksudkan agar pembaca mendapat pemahaman
mengenai fenomena terorisme ditinjau dari pisau analisa teori-teori social,
mengidentifikasi karakteristik guna mengetahui kekuatan dan kelemahan sehingga
mendapatkan solusi kontraterorisme. Studi tentang terorisme telah mencapai
level tertinggi namun menyisakan berbagai problem, khususnya dalam menyepakati
definisi terorisme, apakah berkaitan dengan serangan terhadap non kombatan dan
kombatan, karena tanpa adanya kesepakatan terhadap hal tersebut, penyusunan
database kronologis kejadian terorisme tidak dapat menyajikan analisis data
terhadap eskalasi ancaman yang diahadapi oleh sebuah negara.
I.
Argumentasi
Utama
Pemberontakan
terorisme, pada semua bentuk konfigurasi dan konflik, menyebabkan komunitas
internasional menaruh perhatian terhadap ancaman keamanan tersebut. Akibatnya
sebagian besar negara telah memperbaharui kebijakan pertahanan dan keamanan
serta keterlibatan kalangan akademi dalam memberikan analisis terhadap ancaman
terhadap terorisme, memperkirakan skala ancaman dan bagaimana mengatasi ancaman
tersebut. Guna menjabarkan kekuatan dan
kelemahan, maka perlu diketahui mulai dari definisi, pemetaan tipologi,
memahami modus operandi hingga merumuskan tindakan dalam usaha penanggulangan
terorisme.
Terorisme
adalah taktik mengenai peperangan, seperti halnya gerilya, perang konvensional
hingga perang menggunakan teknologi tinggi. Operasi terorisme adalah bagian
dari peperangan psikologis kelompok pemberontak, dengan maksud merusak
ketenangan psikologis dari targetnya. Karenanya, studi tentang terorisme adalah
studi interdisipliner, mencakup data kualitatif dan kuantitatif, meskipun
mengalami kesulitan dalam menghadapi sifat alami dan kerahasiaan aktivitas terorisme.
Hal ini karena, pertama, sangat sulit bagi peneliti terorisme melakukan studi
lapangan dan terlibat langsung dalam aktivitas teroris. Kedua, akibat sifat
kerahasiaannya, peneliti kesulitan di dalam mengumpulkan data yang akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan mengenai modus operandi dan aktivitas terorisme,
dan yang terakhir, modus operandi yang berubah membuat para peneliti tidak
dapat meperkirakan dengan pasti pola operasi terorisme selanjutnya.
Mendefinisikan
terorisme dengan benar adalah masalah lain yang dihadapi dalam meneliti
fenomena terorisme, dimana tidak ada definisi yang konsensus mengenai
terorisme. Definisi yang kerap digunakan adalah yang diberikan oleh pemerintah
AS, dimana terorisme diartikan sebagai aktivitas kekerasan terencana, bermotivasi
politik yang dilakukan terhadap korban non kombatan oleh kelompok subnasional
dan ataupun agen rahasia. Penggunaan definisi ini agar mendapat kemudahan, dengan
alasan legal untuk menahan dan mendakwa pelaku aksi tersebut. Pendefinisian
terorisme dalam ilmu social akan sangat beragam, bergantung apakah aktivitas
tersebut hanya menyangkut korban non kombatan atau sebagai sebuah strategi
peperangan yang digunakan oleh sekelompok terhadap seluruh warga negara,
termasuk juga serangan melawan pasukan militer bersenjata.
Sinai
menawarkan solusi untuk memperbaiki problem dalam menentukan apakah serangan
terorisme ditujukan terhadap kombatan atau non kombatan. Yang pertama,
mengambil dari Alex Schmit, bahwa inti dari kejahatan perang adalah ketika
menggulirkan serangan terhadap warga sipil, penculikan dan pembunuhan terhadap
tawanan, dan hal tersebut dapat juga berlaku bagi aksi terorisme[2].
Yang kedua, teori dari Boaz Ganor yang mendefinisikan terorisme sebagai bentuk
perjuangan kekerasan yang digunakan terhadap warga sipil dalam rangka mencapai
tujuan politik[3].
Formulasi Ganor sangat penting dalam menutupi kekurangan yang tidak ada dalam
ketentuan hukum di dalam komunitas internasional dimana semua negara sepakat
bahwa serangan terhadap warga sipil tidaklah diperbolehkan dan secara
internasional dapat dimasukkan ke dalam bentuk kejahatan. Ganor menyimpulkan
bahwa jika aksi terorisme dapat secara internasional dilarang sebagai bentuk
peperangan, teroris pun tidak mempunyai pilihan lain selain memfokuskan diri
pada gerilya sebagai aktivitas dalam mencapai tujuan politik mereka.
Kebanyakan, pendefinisian terorisme oleh ilmu social cenderung berfokus pada
penggunaan terorisme guna mempengaruhi target dengan menyebarkan ketakutan
dengan kejadian local melalui komunitas yang lebih besar. Problematika lainnya
adalah saat berhadapan dengan kontraterorisme (offensif) dan kebijakan keamanan
nasional (defensive).
Perbedaan
tipologi terorisme yang digunakan dalam ilmu social berfokus pada karakteristik
yang berlainan pula, apakah isu yang diangkat satu atau beragam hal,
nasionalis/nasionalis separatis/revolusi social atau fundamental religious,
kaum urban atau rural, disponsori negara atau berdiri sendiri, dan apakah
organisasinya structural atau jaringan yang bebas. Ada tiga tipe dasar
peperangan yang dilakukan oleh teroris, konvensional berdampak rendah,
konvensional berdampak tinggi hingga penggunaan senjata CBRN (chemical,
biological,radiological and nuclear). Menempatkan sebuah kelompok dalam satu
atau beberapa kategori membuat analis dapat memahami konteks operasi sebuah
kelompok dan melengkapi perkiraan arah geraknya kedepan.
Terorisme
tidaklah muncul dari satu factor saja, namun saling mempengaruhi dengan
berbagai factor lainnya. Akar permasalahan tidak hanya diam, namun berkembang
dan berubah secara konstan. Banyak teori yang dapat membantu memberikan
pemahaman mengenai asal-usul terorisme, misalnya teori struktural, yang berpusat
pada kondisi sosial. Negara adalah focus utama teori structural tentang terorisme
karena perannya sebagai factor yang mempercepat
berkembangnya terorisme. Ketidakadilan social, ketidakpuasan,
ketidakpedulian kaum elite dan krisis kesadaran social adalah factor pendukung
munculnya terorisme di kehidupan masyarakat.
Teori
deprivasi relative, melihat terorisme dari sudut lain, yang memfokuskan pada
hubungan antara frustasi dan kemarahan yang menuntun individu ikut melakukan
aksi terhadap sumber yang membuat frustasi. Sementara sebagai akibat dari
adanya teori deprivasi relative, teori deprivasi absolute muncul ketika sebuah
kelompok telah didisktreditkan atas hak-hak dasarnya oleh pemerintah. Perbedaan
antara deprivasi relative dan absolute bergantung pada kesenjangan antara apa
yang orang punya dengan apa yang mereka butuhkan untuk mempertahankan
kebidupan. Pada level social, pengalaman ketimpangan social dan ekonomi, tidak
meratanya pendidikan dan kebebasan masyarakat serta politik yang rendah menjadi
batu loncatan bagi aksi terorisme. Pada level kelompok, agen mobilisasi seperti
pemimpin yang kharismatik, menjadi dorongan bagi para anggotanya, sementara
pada level individual, kerentanan terhadap radikalisasi dan perekrutan ke dalam
organisasi terorisme adalah factor
penyebab ekstra lainnya.
Hubungan
diantara kemiskinan, pendidikan yang rendah dan variable sosio ekonomi lainnya
termasuk benturan antara tradisionalitas dan modernitas dan terorisme adalah
kompleks, seperti halnya hubungan diantara tekanan negara, tidak tersedianya
kesempatan politik yang memicu kemampuan kelompok teroris untuk mengeksploitasi
kegagalan politik atau tidak adanya stabilitas politik yang ada pada negara
yang lemah atau gagal. Adalah sangat penting untuk mempelajari karakteristik
dan sifat pemimpin yang secara efektif merekrut dan meyakinkan individu untuk
bergabung di kelompoknya. Sebagian ilmu telah menunjukkan bahwa mereka yang
ikut ke dalam kelompok teroris didorong oleh berbagai macam factor psikologis
yang berbeda, seperti halnya agresi, narsisme, dan penyimpangan kepribadian
yang paranoid. Penelitian lainnya beragumen bahwa mereka yang ikut dalam
kekerasan terorisme adalah sebenarnya orang yang normal meskipun cenderung
mempunyai tabiat yang buruk. Pemahaman terhadap factor tersebut sangat penting untuk menentukan tindakan agar mencegah
individu bergabung dalam jaringan teroris.
Hubungan
diantara kelompok teroris dengan simpatisan dan sub komunitas yang mendukung
dapat dilihat sebagai bentuk piramida dimana kelompok teroris berada di puncak
sebaliknya simpatisan dan pendukung ada di bawah. Pada tingkat atas dicirikan
peningkatan pergerakan, komitmen dan keikutsertaan dalam aktivitas teroris.
Analisis jaringan social sebuah metode yang cenderung relevan untuk memahami
proses radikalisasi dan rekrutmen organisasi terorisme memetakan tipe dan
frekuensi interaksi diantara individu untuk melihat perbedaan diantara mereka
yang terlibat dalam terorisme. Marc Sageman menemukan bahwa terdapat proporsi
yang signifikan dari teroris yang ikut ke dalam pergerakan global salafi
jihadis akibat pernikahan dan hubungan kekeluargaan dan bahkan melalui
pertemanan yang intensif[4].
Pemahaman mengenai bagaimana individu menjadi radikal sehingga memilih untuk
bergabung dalam kelompok terorisme memberikan pemahaman besarnya ancaman
teroris yang dihadapi oleh negara yang menjadi sasaran. Ide, terutama ideology
agama yang radikal adalah pendorong utama yang menggerakkan individu dan
kelompok melakukan aksi terorisme serta dilengkapi dengan fondasi religi dan
budaya sebagai panduan aksi.
Teori
organisasi membantu menjelaskan pola organisasi dinamis yang diadopsi oleh
kelompok terorisme untuk mengelola personil dan aktifitasnya, selain itu pola
tersebut dipilih agar memastikan loyalitas dan kohesifitas anggotanya atas
dasar pengorbanan salah satu nyawa untuk aksi tersebut. Struktur organisasi
yang efektif oleh teroris berubah-ubah sepanjang waktu termasuk memperluas
jaringan infrastruktur logistic organisasi, meningkatkan kapabilitas keamanan,
menguasai teknologi komunikasi terbaru yang dapat mendukung efisiensi tanpa
harus terdeteksi. Beberapa organisasi teroris yang besar seperti Hamas dan
Hisbullah juga menjaga struktur organisasi yang legal untuk memperluas basis
support. Dalam menganalisa tren terbaru dari organisasi terorisme terdapat
empat kritik yang saling berhubungan,
yang pertama, perbedaan cara teroris kota dan kota membangun organisasi pergerakannya; kedua, organisasi
teroris apakah berdasarkan struktur hierarki, sel-sel, atau formasi jaringan;
ketiga, peran dari komunikasi, bagaimana internet dieksploitasi untuk
memberikan perintah virtual dan mekanisme kontrol diantara pimpinan, operasi
dan pendukungnya; keempat, peran dari pendanaan, mencakup hubungan antara
kelompok terorisme dan front penjamin kesejahteraan ekonomi dan social.
Untuk memahami prosedur operasi internal sebuah
grup sangat diperlukan data kualitatif dan kuantitatif mengenai modus operandi
seperti yang dilakukan oleh teroris. Mereka memutuskan target, taktik,
personil, dan tugas masing-masing devisi berdasarkan sel-sel operasi,
menyelenggarakan pengamatan mengalokasi sumber-sumber untuk operasi, mengatur
administrasi dan logistic operasi dan melaksanakan rencana penyerangan. Kelompok
teroris cenderung mengkombinasikan cara-cara tradisional dan modern guna
mencapai tujuannya. Modus operandi yang konvensional tidaklah berlaku lama,
mereka cenderung untuk mengambil pelajaran dan menyempurnakan serangan
selanjutnya. Perkembangan database kronologis kejadian terorisme memberikan
mafaat yang besar untuk mengetahui tren wawasan lainnya terhadap terorisme,
efektifitas langkah kontra terorisme ataupun dampaknya terhadap tatanan social.
Pendefinisan terorisme sebagai tindakan yang ditujukan hanya kepada masyarakat
sipil aksi-aksi melawan pasukan militer hanya akan menjadi database insiden
tipe lain, selain itu permasalahan sumber data yang dikategorikan rahasia
intelijen akan menjadi problem dalam pengukuran besarnya ancaman terorisme
karena secara hanya focus kepada kejadian yang sukses. Keterbatasan akademis di
level pengumpulan data adalah tidak dapat memperkirakan keotoritasan dan
perolehan data base pemerintah, dilain pihak prosedur statistik mensyaratkan
untuk meng-generalisasi kejadian yang jarang terjadi yang dapat dijadikan
hipotesa penelitian.
Meskipun
tidak dapat mendekati perkiraan dan prediksi seperti pada bencana alam, ilmu
sosial telah mengembangkan pendekatan untuk mengantisipasi gerakan terorisme.
Seperti contohnya aplikasi analisis dari database kronologis kejadian yang
menciptakan pengetahuan terhadap kejadian terorisme. Dalam rangka memetakan
lokasi geografis dan distribusi serangan dan mengidentifikasi wilayah yang
beresiko tinggi. Data yang diperoleh dari karakteristik dan detail dari
serangan sebelumnya maupun operasi yang gagal dapat menciptakan sinyal
peringatan untuk memprediksikan kemungkinan, frekwensi dan lokasi serangan
selanjutnya. Belum diketahui apakah analisis trend dari data dapat menjanjikan
validitas dari prediksi analisis komparatif dari ilmu alam, sementara ilmu
sosial dapat framework yang lebih teliti untuk memprediksikan data dalam bentuk
yang lebih umum.
Untuk
dapat membuat upaya pemberantasan terorisme lebih efektif, pemerintah perlu
menerapkan kombinasi strategi koersif dan softpower yang dapat menumpas
kelompok perlawanan sekaligus mencegah konflik menjadi aksi kekerasan. Memahami
akar yang menyebabkan konflik dapat menambah kapabilitas pemerintah untuk
menetukan taktik dan strategi yang efektif untuk menghadapi tantangan dan
ancaman yang spesifik. Sebagian pergerakan insurgent tidak dapat dipisahkan
dari ekstrimitas dan tidak tertarik merundingkan permintaan mereka, pun tidak
akan terjadi kesepakatan damai diantara pemerintah dan pemberontak bahkan jika
pemerintah berkeinginan memecahkan akar masalah dari konflik. Salah satu
kelebihan dari pergerakan teroris adalah sangat sedikit informasi yang aka
didapatkan mengenai operasi dan intensitas serangan yang akan terjadi. Analisis
jaringan sosial dapat digunakan untuk mengurangi kesempatan yang dimiliki oleh
teroris dengan memungkinkan praktisi kontraterorisme untuk memetakan bagaimana
kelompok terorisme merekrut dan mengorganisasi dirinya, sehingga praktisi dapat
mempertimbangkan apakah akan menggunakan operasi yang sederhana ataupun rumit
sekalipun sebelum terjadinya serangan. Karenanya metodologi geografis dan
jaringan sosial dapat digunakan untuk pemetaan pola wilayah sebagai asumsi
lokasi dan pergerakan terorisme, apa rencana serangan kedepan dan karakteristik
dari masing-masing operasi. Namun, salah satu kekurangan yang dihadapi oleh
studi terorisme adalah tidak tersedianya metode dan pola-pola untuk menetapkan
tindakan pemerintah dalam menanggulangi terorisme. Tidak ada alat pasti yang
dapat digunakan untuk upaya kontra terorisme. MAA (mission area analysis),
metode yang dikembangkan militer, mungkin salah satu alat yang dapat
dipertimbangkan guna menutupi kekurangan metode kontra terorisme, untuk
memformulasikan roadmap strategi yang dapat diaplikasikan dengan taktik yang
tepat di lapangan. Ukuran keberhasilan operasi kontra terorisme dapat saja
termasuk data yang mengindikasikan perselisihan di dalam kelompok, pengabaian,
kesulitan dalam merekrut, permasalahan pendanaan, kehiilangan negara penyokong
dan pendukung ataupun kendala lain yang dihadapi oleh teroris itu sendiri.
Segala hal yang menyebabkan seseorang pada akhirnya meninggalkan kelompok
terorisme, dapat menjadi penting guna membongkar rahasia terorisme dan akan
dijadikan masukan operasi kontra terorisme.
II.
Tinjauan
Kritis
Terorisme merupakan suatu realitas
yang muncul dan berkembang diantara kehidupan manusia. Upaya untuk memetakan
apa sebenarnya terorisme, apa yang mendasari
dan apa yang menggerakkan dia untuk berkembang serta mengidentifikasikan
kekuatan sekaligus kelemahan dari terorisme menjadi hal penting yang harus
dipelajari guna menciptakan solusi kontra terhadapnya. Tujuan dari terorisme
bergantung kepada motifnya, baik ideologi, politik ataupun relasi diantara
keduanya, dan tidak dipungkiri dapat juga bermotif ekonomi. Terorisme tidak
mempunyai batasan moral atau sasaran. Yang penting bagi teroris adalah
bagaimana mencapai tujuan, bagaimanapun caranya. Secara ontologis, terorisme
adalah State of Affairs, dimana manusia mempunyai hubungan kausalitas dengan
munculnya terorisme itu sendiri, karena adalah manusia, sebagai makhluk Tuhan
yang mempunyai ambisi[5].
Bila
dicermati secara mendalam akar penyebab munculnya aksi terorisme sangat rumit
dan kompleks. Berbagai muktifaktorial yang menyangkut masalah transnasional dan
kehidupan politik dunia bisa jadi penyebab dan pemicu terjadinya terorisme.
Secara umum yang terjadi adalah faktor ketidakadilan itu terjadi di berbagai
belahan dunia baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya sehingga memicu
faktor radikalisme dan fundamentalisme yang dipermudah oleh rendahnya pendidikan,
kemiskinan, budaya, dan kehidupan sosial. Faktor tersebut akan memicu
radikalisme dan fundamentalisme seseorang yang berujung pada kekerasan,
ekstrimisme dan terorisme.
Sementara itu, Smelser dalam bukunya “The Faces of
Terrorism: Social and Psicological Dimension” mencoba menjawab pertanyaan apa
yang menimbulkan terorisme, pendukung dan bagaimana mereka berpikir, dan
bagaimana - dan mengapa penanggulangan yang telah dilakukan tidak bekerja[6],
sejalan dengan mekanisme kerja Horgan[7].
Horgan yakin gerakan terorisme lahir bukan sebagai gerakan
sosial, namun sebagai proses yang rentan terhadap benturan psikologis. Gerakan terorisme selalu
dikaitkan dengan arogansi, kebiadaban, korban cedera dan meninggal, namun
realitas lain yang terjadi adalah gerakan politik yang menggunakan terorisme
mahir memanipulasi peristiwa bahkan media, demi keuntungan dan sarana mencapai
tujuan mereka.
Secara jelas Petrus Golose
dalam bukunya “Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh
Akar Rumput” menjabarkan alasan yang memunculkan pergerakan terorisme. Diantaranya
adalah Nasionalis-Separatis yang bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan,
Etnosentrisme yang dilandasi keyakinan adanya penggolongan derajat suatu ras,
Revolusioner yang termotivasi untuk menggulingkan pemerintah yang berkuasa,
Religius yang didasarkan atas keyakinan agama dari aliran garis keras, Ideologi
yakni kepercayaan pada politik tertentu, bahkan gangguan kejiwaan dapat
memotivasi seseorang untuk melakukan aksi terorisme[8].
Neil Smelser mengusulkan satu definisi diantara berbagai
definisi terorisme yang tercipta, sekumpulan orang yang memperhitungkan
kompleksitas, bermuatan politis, tidak konvensional dan dekat dengan kekerasan.
Smelser mengeksplorasi akar penyebab dan kondisi terorisme, dan menguji
ideologi yang menginspirasi dan menjadi kekuatan serta tersebar ke seluruh
dunia. Smelser melihat lebih dekat pada pelaku terorisme itu sendiri, bagaimana
perekrutan mereka, motivasi mereka, pembentukan kelompok mereka, maksud mereka
diantara warga lainnya, dan penggunaan media dalam mengejar agenda mereka. Ia
mempelajari sasaran masyarakat, mengungkap rumitnya dampak sosial dan
psikologis karena harus menghadapi ancaman yang selalu datang dari serangan
teroris sekaligus merespons ketika hal tersebut terjadi. Dia menjelaskan apa
artinya hidup di bawah ancaman terorisme, dan tantangan pose kebijakan dalam
dan luar negeri. Sejauh ini, Smelser menarik temuan terbaru dalam sosiologi,
ilmu politik, antropologi, ekonomi, psikologi, psikiatri, dan sejarah. Obyek
dan tujuan yang dikehendaki Smelser adalah entitas masyarakat secara luas. Smelser juga membahas faktor yang
berkontribusi terhadap penurunan kelompok teroris, ketergantungan oleh
kelompok-kelompok teroris pada publisitas konstan, langkah-langkah yang efektif
dalam melawan terorisme dan dampak terorisme di masyarakat madani. Smelser
menunjukkan hubungan kompleksitas social dan psikologis sebagai akar terorisme
dan sifat sederhana dari pandangan para pemimpin kita. Pada intinya dari
argumennya adalah pendapat bahwa kaum minoritas melihat menimbulkan ideologi
yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya alat menyampaikan keluhan.
Pasca 9/11, Smelser mengambil pandangan bahwa ilmuwan sosial
harus menawarkan pendekatan segar yang menghindari perdebatan politikus
partisan. Beberapa sentuhan yang bagus adalah dia menggunakan pengalaman
pribadi untuk menerangkan isu-isu kunci dan identifikasi tentang sejumlah
'entrapments’. Dunia pasca terorisme, utamanya sejak tragedi 9/11, telah
menguatkan betapa perlunya memperkuat pemahaman mengenai fenomena social dan psikologis.
Bahwa apa yang menurut sebagian besar masyarakat dipandang sebagai akar
penyebab perilaku terorisme, mulai dari ketidakadilan, kekecewaan bahkan
penyakit social pun belum tentu menimbulkan semangat perlawanan menggunakan
kekerasan atau terorisme, pun hal ini juga tidak dapat begitu saja
digeneralisasikan kepada kelompok terror lainnya. Memahami akar terorisme
merupakan hal yang misterius, menyangkut kompleksitas dan paradoks di dalamnya. Setiap kelompok teroris memiliki sifat yang
unik dan harus diteliti dalam konteks budaya serta sejarah nasionalnya sendiri.
Akan sangat tidak bijaksana untuk menganggap karakteristik yang sama terhadap
semua kelompok teroris. Namun dapat digarisbawahi, Teror atas nama apapun
biasanya menghendaki adanya perubahan terhadap kondisi yang ada. Ada dua target
yang berbeda, yakni target kekerasan dan target pengaruh terhadap masyarakat
luas. Tetapi tetap pada kerangka untuk mencapai tujuan-tujuan politik, meski
terkadang juga untuk mencapai tujuan agama. Perbedaan cara pandang terhadap
masalah untuk menyelesaikannya, bisa jadi merupakan alasan kuat para teroris
untuk melakukan perubahan. Bahwa caranyalah dianggap sebagai satu-satunya cara
yang benar. Memahami lebih jauh terhadap terorisme merupakan sebuah kebutuhan
yang penting. Kesalahan anggapan terhadapnya berimplikasi terhadap orang
banyak. Terjadinya proses penuduhan salah satu pihak tak lain karena kurangnya
pemahaman terhadap terorisme itu sendiri. bahkan kalau perlu terhadap
masyarakat itu sendiri.
III.
Kesimpulan
Aplikatif
Dari
berbagai perspektif, aksi teror yang dilakukan oleh mereka dengan demikian
terjadi karena merasa identitas dan kelompok, yang menyangkut hak-hak dasar
mereka terancam. Dengan mendasarkan pada teks-teks keagamaan yang ditafsirkan
sebagai legitimasi ideologis sikap mereka, maka wajar jika kondisi psikologis
mereka selalu merasa terancam, seakan-akan berada dalam situasi perang. Dengan
demikian karakteristik tersebut tidak hanya reaksioner terhadap yang dianggap
mengancam mereka saja, melainkan juga ekstensif dengan mengajak orang-orang
untuk ikut dalam kelompok tersebut. Mereka pun yakin tatanan dunia baru sesuai
dengan keyakinan ideologis mereka tersebut adalah perintah Tuhan, dan upaya
untuk memperjuangkan terwujudnya tatanan tersebut adalah bentuk jihad dan
ibadah yang akan mendapat pahala di akhirat kelak. Selain itu juga sekaligus
merasa telah menyelamatkan orang-orang tersebut ke jalan yang benar dari
ketersesatan. Perkembangan kelompok dari sisi kuantitas pun akan dianggap
sebagai kekuatan untuk melawan hal-hal yang dianggap sebagai pengancam
identitas kelompok mereka, yakni semua nilai-nilai, kultur dan ideologi yang
bertentangan dengan nilai-nilai, kultur dan ideologi mereka.
Dengan
merujuk pada karakteristik eksklusif dari gerakan terorisme tersebut, maka yang
paling mungkin dilakukan adalah mewaspadai tiap kelompok atau orang-orang yang
memiliki nalar dan praktik sosio-kultural eksklusif. Namun yang perlu
ditekankan adalah: sikap mewaspadai tidak dapat diartikan sebagai menjauhi
mereka, pun tidak selayaknya memberikan penilaian negatif terlebih dulu. Pada
kenyataannya refleksi dan introspeksi diri telah terbukti menjadi sebab
seseorang keluar dari kelompok jaringan yang berideologi terorisme dan
kekerasan, yakni ketika mereka tersadar dengan sendirinya setelah berpikir
secara kritis dengan refleksi dan introspeksi terhadap nilai-nilai ideologis
dan kultural serta aksi-aksi yang telah mereka lakukan (misalnya adalah kisah
Nasir Abas, 2005).
Setidaknya ada tiga cara yang bisa mengakhiri gerakan terorisme. Pertama,
memutus regenerasi kepemimpinan dan menghilangkan kemampuan memobilisasi pendukung. Tanpa kemampuan untuk
mengartikulasikan visi yang jernih dari tujuan akhir pergerakan kepada para
penerus, kelompok terorisme akan tereliminasikan. Kedua, kelompok teroris tidak
akan selamat tanpa dukungan dari populasi di sekitarnya. Itu termasuk
menyembunyikan buron, menggalang dana, ikut serta dalam persiapan dan eksekusi,
hingga yang pasif berupa ketidakpedulian terhadap tanda-tanda aktivitas terorisme,
menurunnya kerja sama dengan penyidik kepolisian, dan ekspresi dukungan
terhadap tujuan kelompok teroris. Ini tidak akan sulit bila mau berusaha,
karena sebagian besar masyarakat secara alamiah lebih memilih ketiadaan ancaman
terorisme maupun pemberlakuan keadaan darurat dalam kontra-terorisme. Serta
yang ketiga adalah merubah pola pikir atau ideologi seseorang atau kelompok
yang radikal . Langkah ini terbilang sulit dan memakan jangka waktu yang lama.
Pemerintah dan kepolisian RI berulang kali melakukan langkah ini, dan beberapa
kali gagal. Meski demikian deradikalisasi adalah langkah yang efektif untuk
mencegah terjadinya tindak terorisme.
Respons multimedia terkoordinasi semestinya juga
diupayakan sebagai bagian dari operasi kontraterorisme, untuk membentuk public distaste terhadap kelompok
terorisme. Hal tersebut dilakukan dengan memperlihatkan perspektif
korban-korban tak berdosa, ketidaksetujuan terhadap visi kelompok yang
melakukan aksi, sempit dan sesat pikir dari para pendukung dan partisipan
terorisme, dan kesediaan kelompok teroris menghalalkan penjagalan dan
pembunuhan korban-korban sipil. Memutus mobilisasi dukungan terhadap kelompok
terorisme hendaknya juga dilakukan dengan memberikan alternatif yang lebih baik
kepada mereka yang berpikir ingin bergabung dengan terorisme, melalui gerakan
reformasi membersihkan birokrasi, meningkatkan pengeluaran untuk kesejahteraan
dan pendidikan, menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di wilayah-wilayah
yang kurang mendapat perhatian pembangunan.
[1] Ranstorp,
Magnus. 2007. Mapping Terrorism
Research:” State of art,gaps and future direction”. Routledge, New York
[2] United nations Office on Drug and
Crime, http://www.undocs.org/unodc/terrorism-definitions.html dalam Sinai, New Trends in Terorism:
Strengths and Weakness. 2007 pp34
[3] Boaz Ganor The Counter Terrorism
Puzzle: A Guide for Decision Makers dalam Sinai, New Trends in Terorism:
Strengths and Weakness. 2007 pp34
[4] Marc Sageman, Understanding Terror
Network (2004) dalam Sinai, New Trends in Terorism: Strengths and Weakness.
2007 pp40
[5] Hendropriyono, A.M.
2009.Terorisme:Fundamentalis Kristen, Yahudi,Islam. Kompas Gramedia, Jakarta
[6] Smelser,
N.J “The Faces of Terrorism: Social and Psicological Dimension”. Princeton
University Press. 2008
[7] Horgan, John. “The Social and Psychological
Characteristics of Terrorism and Terrorists,” in Root Causes of Terrorism: Myths, Realities and Ways Forward, edited
by Tore Bjorgo. London: Routledge, 2005 pg.44
[8]
Golose, Petrus Reinhard.2009.
Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. YPKIK,
Jakarta
Komentar
Posting Komentar