Social Media, Flexing and Why NFT Famous?
Saya baru saja menyaksikan video Youtube Rhenald Kasali dengan judul “Inilah Kaya Boong-Boongan Yang Dipamerkan dan Dipercaya Milenial dan Ditiru Luas”. Sebuah judul yang sangat panjang diantara video lain di platform Youtube. Saya sebenarnya tidak secara sengaja mencari video itu, bahkan saya belum pernah menonton satupun video atau lebih tepatnya saya belum pernah tahu jika Prof Rhenald Kasil punya channel Youtube.
Rhenald Kasali adalah salah satu idola saya, mastermind di
bidang manajemen. Sebuah ilmu yang terkesan sederhana, namun sangat “relate”
dengan segala sendi kehidupan yang kita jalani. Saya teringat, dahulu saya
selalu menyempatkan pergi ke took buku untuk membeli atau setidaknya membaca
sekilas buku-buku yang beliau terbitkan. Re-Code Your Change DNA adalah
salah satu buku yang saya “lahap” habis pada sekitar tahun 2007-2008, itu
berarti sudah lebih dari 10 tahun saya berhenti “mengikuti” beliau. Selain
beliau, terdapat nama-nama seperti Ippho Santoso, Safir Senduk, Jaya Setiabudi,
dan lainnya yang menghiasi imajinasi saya seputar manajemen dan
entepreneurship. Cukup tentang beliau-beliau, saya akan bahas pada kesempatan
lain dengan lebih detail, mengenai kekaguman saya atas pemikiran beliau-beliau
ini.
Kembali kepada video Rhenald Kasali. Secara tidak sengaja,
saya selalu mengangguk sejak dari awal hingga akhir video dengan durasi 20
menit, sebagai tanda bahwa saya setuju dan sependapat dengan topik yang beliau
bicarakan. Beliau membicarakan fenomena baru tentang “Pamer Kekayaan” atau yang
disebut “Flexing”. Ketertarikan beliau dikaitkan dengan studi tentang consumer
behaviour. Lebih spesifik, pembahasan dikerucutkan pada diskusi mengenai
poverty scream vs wealth whisper. Pada era saat ini, media social semacam
menjadi kunci atau senjata pengakuan dunia mengenai strata ataupun posisi
seseorang. Ini terutama terjadi sehubungan dengan adanya fenomena ledakan Orang
Kaya Baru. Mereka menjadi butuh pengakuan atas eksistensinya, meskipun di lain
pihak, sebagai motivasi bahwa semua orang berhak “Kaya”. Kebutuhan akan
pengakuan ini diwujudkan atau setidaknya mendapat dorongan lebih kuat jika dilakukan
melalui media social. Semakin banyak channel Youtube yang membahas mengenai
kemegahan, kekayaan, koleksi barang mewah dan lain sebagainya, sehingga semua
orang secara perlahan terkunci dalam budaya hedonisme. Hal ini berkebalikan dengan
kebiasaan “Orang Kaya Lama”. Mereka yang telah sejak lama mendapatkan previlledge
kemakmuran, cenderung untuk menutupi jati dirinya, “membumikan” style dan gaya
hidupnya, sehingga nyaris tidak perlu ada upaya yang dilakukan untuk menunjukkan
bahwa mereka kalangan berada. Orang yang telah kaya atau benar-benar kaya,
meminjam istilah Rhenald Kasali, malu membicarakan kekayaannya.
Flexing, saat ini telah menjadi trend (saya belum berani
menyebutnya sebagai penyakit). Hal ini semakin menjadi atau menemukan tempatnya,
saat kita berselancar di dunia maya di berbagai platform media social. Si A
menyebut “biasa” saat membelanjakan uang milyaran untuk membeli sebuah mobil sport,
tas branded atau bahkan sebuah jam tangan. Si B berkisah tentang “keisengannya”
membeli barang-barang dengan harga selangit karena “gabut atau mager”. Dan
berbagai kisah hedonism lain, dalam video Rhenald Kasali dijelaskan dalam Teori
Consumption Behaviour sebagai conspicuous consumption atau konsumsi yang
sengaja ditunjukkan kepada orang lain. Saat ini perilaku flexing menjadi
sesuatu yang biasa saja, atas nama memberi motivasi, bagi sebagian besar
kalangan. Hal ini memunculkan potensi pergeseran perilaku dan pandangan hidup
menjadi lebih materialistis. Untuk membuktikan hipotesa ini, perlu adanya
penelitian yang lebih mendalam untuk menangkap potret perubahan perilaku yang
cenderung dianggap negative tersebut. Namun semuanya Kembali kepada pribadi
masing-masing, bagaimana menterjemahkan fenomena flexing ini, apakah menjadi
motivasi memperbaiki diri dan berusaha atau menjadi penonton saja.
Dengan adanya fenomena flexing, terdapat perubahan
penafsiran mengenai “Kaya”. Dahulu kaya diartikan dengan uang yang berlimpah, asset
yang tidak terhitung jumlahnya dan cenderung tidak terekspose. Pada masa itu, orang-orang
tahu bahwa seseorang itu kaya tanpa harus ditunjukkan kekayaannya, bahkan
cenderung untuk “disembunyikan” keberadaanya dari orang lain. Kerendahan hati
ini tidak lagi menjadi budaya bagi kalangan yang baru menapaki strata kekayaan.
Setidaknya cenderung untuk tidak mengarah kesana. Ketika seseorang berharap
kaya, sebenarnya yang dibutuhlan adalah untuk “terlihat kaya dan diakui kaya”
oleh orang lain. Gengsi ini mengaburkan teori bahwa orang yang kaya adalah
mereka yang statusnya tidak diwakili oleh apa yang terlihat oleh orang lain. Orang
kaya saat ini selalu habis-habisan untuk memamerkan apa yang dipunyai,
pencapaian apa yang telah diraih, sebagai bentuk pembuktian dan haus akan
pengakuan oleh orang lain. Di kalangan kelas bawah, lecutan ini menjadi
berlipat, membayangkan kemudahan, ketenaran dan berbagai previlledge lainnya
yang didapatkan dengan menjadi kalangan berada.
Bagaimana hubungannya dengan NFT? Non Fungible Token ini
mendadak naik pamor pada masa pandemic. NFT adalah sebuah aset digital yang
berbentuk karya seni ataupun barang koleksi. Karya seni dan barang koleksi
tersebut meliputi lukisan, seni musik, item dalam gim, video pendek, foto,
hingga rekaman suara. Kepopuleran NFT mengekor di belakang cryptocurrencies,
dengan bumbu meme-meme dan cuitan dari sang raja teknologi dan orang terkaya
nomor 1 dunia (setidaknya sampai tulisan ini dibuat) Elon Musk. NFT telah
menggeliat sejak 2014, namun menemukan jalan ketenaran saat pandemic, dimana sebagian
orang kaya memilih untuk “menghabiskan” uangnya dengan mengkoleksi karya seni
digital yang tersedia di NFT. NFT memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah NFT menjamin pembeli untuk memiliki barang yang asli tanpa
ada yang bisa menirunya dan NFT menyertakan suatu sertifikat kepemilikan
sebagai bukti. Namun, kekurangan dari NFT adalah NFT sulit untuk
diperdagangkan. Bagi sebagian orang, konsep kepemilikan seperti ini tidak masuk
dalam pemahaman mereka, bahkan cenderung mengada-ada.
Di Indonesia, kepopuleran NFT ditandai dengan penjualan foto
selfie dalam bentuk digital dan diperdagangkan di dunia digital serta
kepemilikan digital oleh yang dikenal sebagai “ Ghozali Everyday” hingga
mencapai 13 miliar rupiah. Di dunia, harga NFT termahal sebesar 91,8 juta
dollar AS atau setara 1,31 trilliun jatuh kepada karya dengan judul The Merge
oleh Pak. NFT hanya dapat diperjualbelikan menggunakan mata uang crypto atau
digital, biasanya Ethereum. Ethereum adalah sebuah platform komputasi
terdesentralisasi yang digunakan untuk menjalankan program komputer yang
disebut dengan smart contract. Seperti pada Bitcoin, dengan Ethereum siapa pun
dapat melakukan transfer uang digital tanpa bantuan institusi penengah (bank
atau lembaga keuangan lainnya). Secara sederhana, Ethereum sebagai sebuah mata
uang digital yang nilai tukarnya dibentuk berdasarkan kesepakatan di raha digital
tanpa campur tangan institusi tertentu. Oleh karenanya, naik dan turunnya nilai
mata uang ini bergantung pada mekanisme pasar. Saat ini. Nilai mata uang Ethereum
sebesar 46 juta rupiah dan pernah tembus di angka 60 juta. Kembali ke cerita
Ghozali Everyday, “karya seni” digital yang diperdagangkan adalah foto selfie
yang diambil setiap hari sejak tahun 2017. Hanya itu saja. Bayangkan foto
seseorang yang tidak terkenal sama sekali, menjadi berharga bagi orang lain
yang bahkan tidak mengenal pembuat karya tersebut. Uang miliaran rupiah didapat
dari penjual foto selfie, sebuah cara menghasilkan uang yang sangat sederhana.
Metode ini tentu sangat cocok dan “praktis” bagi kalagan millennial saat ini
yang disuguhkan dengan tayangan flexing dan sejenisnya. Generasi yang serba
instan ini tentu sangat tertarik menggeluti bisnis dengan model NFT ini. Tidak perlu
kerja keras namun mudah dan cepat mendapatkan uang. Hal inilah yang menyebakan
NFT menjadi semakin popular dewasa ini, dan fenomena tersebut tidak dapat kita bending
lagi. Hal ini diperkuat dengan belum banyaknya aturan main dan aturan hukum
yang mengikat dalam perdagangan NFT ini.
Kemajuan teknologi seperti pisau bermata dua, positif dan
negatifnya kembali kepada siapa dan bagaimana menggunakan kecanggihan teknologi
dalam hidup sehari-hari. NFT sebagai bagian dari fenomena kemajuan teknologi
telah mendapat atensi dan popular dewasa ini. Sebuah konsep dan metode mencari
penghasilan yang sederhana. Tentu masih terdapat perdebatan mengenai konsep memiliki
hal yang secara fisik tidak berwujud, namun bukan tidak mungkin, kedepan hal
tersebut pada akhirnya akan menjadi suatu hal yang lumrah atau biasa. Flexing
merupakan fenomena lain dari kecanggihan teknologi itu sendiri, utamanya di dunia
medsos. Terdapat pergeseran pengertian kaya, bahwa saat ini orang -orang
cenderung hanya untuk terlihat kaya dan diakui kaya oleh orang lain, sehingga
dia akan mati-matian mempermak media sosialnya sebagai beranda untuk
menunjukkan strata. Apakah flexing, media social dan NFT ini kemudian adalah
hal yang negatif, tentu memerlukan penelitian dan pendalaman lebih lanjut.
Komentar
Posting Komentar